ALLAH MENJADI AYAH DAN IBU DALAM HIDUPKU


Aku menemukan sebuah artikel kisah yang pernah dimuat di majalah Keuskupan Agung Medan, MENJEMAAT. Yakni, kisah iman Sr. Garylin SOSFX. Dengan senang hati, kumuat tulisan ini di blog pribadi, yang kini menjadi ‘lumbung’ aneka artikel. Kiranya kelak bisa menjadi bahan naskah buku contoh feature.

Sr. Garylin dalam kegiatan Upacara Nasional HUT RI – 17 Agustus 2017 di Graha Maria Annai Velangkanni
Saya kehilangan Ibu saat beranjak remaja. Ia meninggalkan keluarga kami, demi memperoleh nafkah lebih besar di luar negeri. Cobaan ini menjatuhkan saya, secara pribadi dan keimanan. Namun, sosok Ayah menguatkan saya. Bahkan saat saya memilih mengabdikan hidup bagi Allah. Hingga kemudian, saya mendapati setiap kejadian dan pengalaman hidup merupakan rancangan Tuhan. Berikut kisah saya tersebut.

 

Saya lahir pada 9 Januari 1989 di Sitio Kawayan, Masiag Bagumbayan – Provinsi Sultan Kudarat. Bagi pembaca Menjemaat mungkin asing dengan nama tempat tersebut. Benar, sebab kota dan provinsi itu berada di Filipina. Tepatnya di Pulau Mindanao. Bagumbayan sendiri dikenal sebagai sumber ekspor komoditi nanas dan pisang.

Orangtua dan keluarga sempat khawatir ketika saya dilahirkan oleh Ibu, Evelyn Aman Funtilon. Sebab mereka mendapati tubuh mungil saya membiru dan tak menunjukkan gerak-gerik kehidupan. Graciano Funtilon, Ayah saya, bahkan nekat berupaya memberi nafas buatan dengan menghembus udara ke hidung saya. Tak lama, Ayah lalu bernazar bila saya diberi kesempatan hidup, maka ia siap berkenan kelak putri sulungnya ini akan diserahkan pada Tuhan. Selang 15 menit kemudian, saya didapati menangis dan bergerak laiknya bayi normal. Oleh orangtua, saya pun diberi nama Garylin Aman Funtilon.

Namun, pengalaman ajaib tersebut tak pernah dituturkan oleh Ayah, Ibu atau keluarga lain yang menyaksikan. Mungkin mereka mahfum bila saya masih kecil dan belum jua mengerti tentang ihwal tersebut. Bahkan beranjak usia masuk TK, orangtua menitipkan saya pada Bibi di Cotabato City, Mindanao pada tahun 1994. Hingga saya masuk Sekolah Dasar (SD) pada tahun 1998 masih di Cotabato City, keluarga kami seolah melupakan pengalaman ajaib tersebut.

Di tengah masa sekolah SD, Ayah memutuskan untuk memboyong keluarga, bersama ibu dan empat adik kandung (Gylin Funtilon, Gideon Funtilon, Grace Funtilon dan Ghea Funtilon) dari Sitio ke Cobatabato. Ia pun menjual sejumlah peralatan yang biasa ia gunakan mengolah ladang. Keputusan itu sendiri diambil karena surutnya penghasilan bertani di Sitio. Dalam benaknya, Ayah berharap dapat meraih rezeki di tempat bertani yang baru seperti di Cotabato.

Sayangnya perekonomian keluarga kami tak kunjung membaik. Kondisi tersebut membuat Ibu goyah. Kepada Ayah, Ibu mengatakan hendak pergi mencari nafkah ke Yordania. Negeri yang sangat jauh dari Filipina. Meskipun ditentang, namun Ibu memilih pergi. Meninggalkan suami dan anak-anaknya yang masih kecil. Saat itu, saya sendiri masih berusia 12 tahun dan bersiap hendak mendaftar masuk Sekolah Menengah Atas (pada masa itu, kurikulum pendidikan di Filipina tidak mengenal Sekolah Menengah Pertama atau SMP. Jenjang SMA dan SMP digabungkan dalam masa studi empat tahun).

Saya sungguh terpukul menghadapi cobaan ini. Kepercayaan diri dan iman saya jatuh hingga titik nadir. Namun, Ayah selalu menenangkan kami dengan nasihatnya. Ia pun mengajar. saya agar mampu mengurus empat adik kandung saya, selama ia mengurus ladang. Meski kerap mengeluh, saya terus jalani peran Ibu meski tak sepenuhnya berlangsung baik. Semisal, pada satu kali adik saya yang ke-tiga bertanya: “Ibu ada dimana? Kenapa tidak berada di rumah?” Dengan menahan tangis, saya jawab sekenanya: “Ibu pergi ke Gereja. Nanti kalau sudah pulang, pasti jumpa.” Adik saya lalu mengangguk dengan polosnya.

Sr. Garylin SOSFX dan Sr. Elpiana Barus SOSFX diabadikan bersama keluarga Katolik di Museum Letjen Jamin Ginting – Desa Suka, Karo

Ibu Kembali, Namun …

Roda waktu bergulir hingga empat tahun sepeninggal Ibu. Walaupun dengan penghasilan seadanya, Ayah mampu membiayai studi SMA saya hingga tamat. Kala itu saya sudah menginjak usia 16 tahun. Karenanya kami sungguh kaget mendapat kabar dari Ibu akan pulang pada Maret 2005.

Di satu sisi saya sungguh senang dan rindu untuk berjumpa kembali. Namun, perasaan marah karena ditinggalkan sekian lama lebih menguasai emosi saya. Ayah dengan sabar menenangkan dan membujuk saya dan adik-adik menjemput Ibu di bandara. Dengan berat hati, saya mengiyakan. Setiba di rumah, Ibu memberi kami uang, pernak-pernik, bahkan ponsel. Saya seolah kehilangan Ibu. Ingin rasanya mengatakan bahwa kami tidak butuh semua materi-materi itu.

Pada April 2005, saya memilih untuk menjadi biarawati di Kongregasi Suster Oblate of Santo Fransiscus Xaverius (SOSFX). Keputusan itu saya ambil dengan pertimbangan bahwa Ibu telah kembali dan saya tak ingin membebankan Ayah. Meskipun saat itu terpendam juga keinginan mendaftar ke jurusan IT di salah satu kampus swasta.

Saat mengetahui telah bergabung di SOSFX, Ibu menolak keras upaya saya menjadi klerus. Saya kemudian menyampaikan alasan dan pertimbangan. Namun, Ibu tetap bersikukuh. Bahkan ia mengatakan hendak pergi lagi ke Yordania untuk memperoleh lebih banyak nafkah. Saya sungguh sedih. Apakah saya harus mencabut komitmen untuk menjadi biarawati SOSFX? Apakah saya harus kembali mengisi peran Ibu hanya demi mendapatkan materi duniawi?

Di sisi lain, Ayah tetap mendukung saya menjadi Suster di SOSFX. Tak hanya memberi kata penyemangat, ia juga menceritakan kembali pengalaman ajaib ketika saya dilahirkan dulu. “Nazar Ayah kini telah digenapi,” katanya tenang. “Adik-adikmu juga kini sudah besar. Jangan merisaukan kami. Kamu telah menjadi milik Allah. Karenanya, teguhkanlah hatimu untuk berkarya atas nama-Nya.”

Ibu pun tetap pada rencananya untuk pergi bekerja ke Yordania. Namun, sebelum ia berangkat. Ayah berhasil mendamaikan kami. Dalam pendapatnya, kami tak akan tenang menjalani rencana kami masing-masing tanpa damai antara Ibu dan anaknya. “Ayah tidak berhak menahan ibumu, bila itu memang sudah menjadi niatnya. Kita mesti ikhlas. Bagaimanapun juga ibumu telah dewasa dalam memilih jalannya sendiri. Begitu juga kamu saat memutuskan bergabung ke SOSFX,” kata Ayah.

Saya dan Ibu luluh dengan penuturan Ayah. Dan kedamaian menjalani peran sebagai biarawati pun benar saya peroleh. Kami kerap berkomunikasi via telepon atau sekedar berkirim surat. Baik pada Ibu dan Ayah yang bersama adik-adik di Cotabato, Mindanao. Kabar terakhir saya terima, Ibu akan kembali ke Filipina tahun 2018 nanti.

Bagi saya, nilai-nilai pengalaman ini merupakan rancangan Tuhan. Saya menjalani ikhlas dan bahagia melakukan peran saya kini. Bahkan, ketika ditugaskan hingga ke Medan, Sumatera Utara – Indonesia. Bersama dua sahabat Suster SOSFX yang berasal dari Sumatera Utara, kami turut membantu di Graha Annai Maria Velangkanni, Medan.

Cobaan yang menerpa menjadikan saya pribadi yang tangguh. Meskipun terpisah jauh dengan keluarga, saya yakin Allah tetap menunjukkan kasih-Nya bagi Ayah dan adik-adik. Sebagaimana pernah disampaikan Ayah pada saya bahwa Allah telah menjadi Ayah dan Ibu dalam hidupku.

 

////// Sebagaimana diceritakan Sr. Garilyn Aman Funtilon, SOSFX kepada Menjemaat (Ananta Bangun)