Paroki St. Mikael – Tanjungbalai “Akar Bertumbuhnya Gereja-gereja Paroki di Kevikepan Aek Kanopan”


Gereja Paroki Tanjungbalai (kiri) – Sekretariat Paroki Tanjung Balai (kanan bawah)

Tim Menjemaat sempat kewalahan mencari Gereja Paroki St. Mikael – Tanjungbalai. Kami bahkan harus menggunakan aplikasi Google Maps untuk menemukan alamat gereja tersebut. Untunglah, Administrator Paroki Tanjungbalai, RP Yosef Riang Hepat SS.CC menghubungi ponsel kami dan memberi panduan jernih. Jika tidak, kami mungkin kesasar hingga tepi pantai.

“Saya belum menjadi Parokus di sini. Masih Administrator Paroki. Sebab masih belajar mengenali bahasa dan budaya, selagi menunggu Parokus selanjutnya. Saya sendiri sudah dua tahun melayani di Paroki Tanjungbalai,” tutur Pater Yose (sapannya) dengan logat khas Flores.

“Saya tidak bisa lama menemani Menjemaat ya. Sebab sore ini, saya harus menghadiri Syukuran Tahun Baru dengan komunitas umat Katolik suku Karo,” terang Pater Yose saat menyambut kami di Pastoran. Dari penuturan Imam yang pernah melayani di Chile tersebut, kami mengetahui bahwa mayoritas umat Katolik di paroki ini berasal dari lintas suku Batak Toba, Karo, Tionghoa dan lainnya.

Pater Yose mengatakan telah meminta seorang umat sepuh untuk membantu Menjemaat perihal sejarah gereja paroki tersebut.

 

Bermula Pendatang dari Negeri Jiran

Manan Andreas Saragih berpewarakan kekar, meski telah berusia lanjut. Kepada kami, dia mengaku berusia 70-an tahun. “Saya pensiunan guru di SMP Tritunggal Tanjungbalai. Sempat menjadi porhanger stasi selama empat tahun, menjadi anggota dewan paroki selama empat tahun juga,” ungkap suami dari Tiomena br Hutapea.

Andreas mengaku tidak sepenuhnya tahu jejak sejarah Paroki Tanjungbalai, sebab dia sendiri merupakan perantau ke daerah tersebut pada tahun 1967. Namun satu kebanggaan umat setempat adalah, Paroki Tanjungbalai menjadi ‘akar’ tumbuhnya paroki-paroki di kevikepan Aek Kanopan.

Kakek dari 14 cucu ini mengingat jelas, gereja-gereja paroki di Kevikepa Aek Kanopan bertumbuh dari Tanjungbalai. “Saya ingat karena ikut juga dalam perayaan pemekaran dari sini (paroki Tanjungbalai) menjadi Paroki Kisaran, pada tahun 1970. Empat tahun kemudian, dari Kisaran berkembang ke Aek Kanopan, dan dari situ ke Aek Nabara,” terangnya.

“Sebelum menjadi gereja paroki, saya dulu pernah melihat sebuah plank yang menginformasikan awal berdirinya gereja ini pada tahun 1927. Saat itu, Imam yang melayani di sini dari Ordo Kapusin (OFM Cap).”

“Dari Ordo Kapusin, paroki ini kemudian digembalakan oleh Ordo Serikat Xaverian (SX). Kemudian ada satu (ordo) lagi dari Amerika. Tapi saya tidak ingat lagi,” katanya. “Setelah Xaverian, paroki sempat juga dilayani Imam Projo, kemudian dialihkan ke Ordo Karmelit dan sekarang kepada Ordo Kongregasi Hati Kudus Yesus dan Maria (SS.CC).”

Dia menuturkan, ada seorang Imam SX yang dimakamkan di dalam gedung gereja Paroki Tanjungbalai. “Namnya, Pastor Bello Dante SX. Para umat yang senior mengenalnya sebagai Imam yang rela mengemis ke toko-toko China untuk membangun gereja,” Andreas mengatakan, suatu ketika ketika terjadi banjir di SMA Tritunggal Tanjungbalai. “Dia coba perbaiki listrik. Entah mungkin karena genangan air, dia meninggal karena tersengat listrik.”

Menurut Andreas, tugas Pater Bello saat itu adalah mensensus umat Katolik di paroki ini. Saat pendataan tersebut, akhirnya gereja bisa membuat Kartu Keluarga. “Dan dia juga yang membuat kring atau lingkungan pada saat itu. Setiap 30 KK, harus ada 1 kring.”

Menurut Andreas, awal mula umat Katolik di daerah pesisir tersebut adalah pendatang dari negeri Jiran. “Mungkin dari Malaysia atau Singapura. Yang pasti, mereka adalah umat etnis Tionghoa. Dari umat perdana ini kemudian bertumbuh semakin banyak hingga lintas suku, seperti Toba, Simalungun, Karo dan lainnya,” katanya, seraya menambahkan bahwa peristiwa ‘Gerakan Tiga Puluh September’ (Gestapu) pada tahun 1965, turut mempengaruhi bertambahnya jumlah umat Katolik saat itu. “Saat awal saya menjadi umat di paroki ini, dampak itu masih terasa. Karena setiap penduduk diwajibkan menganut agama resmi di Indonesia.”

Semasa menjadi pengurus harian Gereja, Andreas mengaku ada suka dan duka yang dialaminya. “Salah satu saya ingat ketika peralihan gembala dari Projo ke Ordo Karmel. Pada masa itu, tahun 1993-2000, paroki kami tidak memiliki gembala,” katanya. “Beberapa umat yang tinggal di daerah jauh tentu tidak mendapat informasi tersebut. Saat datang ke paroki untuk memohon sakramen perkawinan, misalnya, mereka terpaksa pulang dengan tangan kosong. Karena, memang tidak ada Imam yang melayani di paroki di masa itu.”

RP Yosef Riang Hepat SS CC

Berbagai Tantangan Itu Akhirnya Jadi Kecintaan

Walau baru beberapa tahun melayani di Paroki Tanjungbalai, Pater Yose mengaku senang dan kerasan di kota pelabuhan tersebut. “Mulanya memang ada beberapa tantangan yang saya hadapi dan rekan Imam di paroki ini. Seperti jarak gereja paroki dengan gereja stasi yang terpencar dan berjarak jauh. Namun, tantangan itu akhirnya jadi kecintaan,” katanya kepada Menjemaat.

Menurutnya, situasi geografis tersebut berdampak pada partisipasi awam di Paroki Tanjungbalai. “Jika di paroki lain, partisipasi awam bisa digalakkan. Tetapi di sini, masih sangat bergantung pada Pastor,” katanya memaklumi bahwa mayoritas umat-umat stasi di lingkup Paroki Tanjungbalai bergantung dari hasil tani maupun melaut. “Misalnya, dalam masa pra paskah, banyak umat yang sulit turut kegiatan gereja. Karena sudah masuk musim padi berbuah. Sementara di bulan Agustus, setelah panen, mereka mulai menanam benih padi yang baru.”

Tantangan lainnya adalah sulit mengumpulkan para pengurus, terang Pater Yose. “Karena tidak semua memiliki kendaraan, dan tempat yang jauh. Kalau di sini ke stasi-stasi harus naik sepeda motor, susah kalau naik mobil. Karena berada di tempat-tempat yang jauh, kami para pastor harus berangkat sehari atau lebih sebelum kegiatan di gereja Stasi. Hal baiknya adalah kami bisa menetap di rumah umat. Sehingga kami bisa bercengkerama dengan umat setempat.”

Dalam masa bersama dengan umat tersebut, Pater Yose mendapati bahwa pengajaran akan sakramen perlu diajarkan lebih dalam lagi. “Mungkin dulu-dulu penekanannya pada hukum gereja atau peraturan umum menggereja, namun pada sisi sakramen agak kurang. Maka sekarang, kami coba lakukan hal tersebut. Misalnya, kemarin di tahun kerahmilan ilahi berupa aksi pengakuan dosa. Sebab di sini ada juga umat yang sudah 15 – 20 tahun belum mengaku dosa. Dan sekarang kita sudah mulai,” ujarnya.

Salah satu pengalaman berkesan bagi Pater Yose, adalah setiap kunjungan ke rumah umat. “Para umat senang dikunjungi Pastor. Khususnya anak-anak, karena orangtua mereka akan potong ayam. Mereka senang bisa makan besar bersama keluarga dan Pastor. Hehehe.”

(Ananta Bangun)