catatan: Berikut ini adalah hasil liputan untuk kolom suplemen majalah Menjemaat edisi November 2020. Father James Bharataputra, SJ telah beberapa kali meminta untuk menuliskan perihal momen momen 50 tahun imamat dirinya beserta Pastor Leo Joosten OFM Cap. “Kami berdua adalah misionaris luar negeri terakhir yang berkarya di keuskupan ini, ” tuturnya memberi landasan untuk usul liputan tersebut. Aku juga setuju.
Setelah diskusi dengan rekan redaksi, kemudian aku memohon wawancara dengan kedua sosok Imam yang kukagumi tersebut. Meski wawancara terpisah, keduanya juga saling menghormati dan mengagumi juga. Liputan ini sangat terbantu dengan buku biografi kedua misionaris tersebut. Kukira sangat baik jika kebiasaan menuliskan biografi ini diteruskan oleh para Imam lainnya.
Berikut kusimpan liputan tersebut di blog ini sebagai pustaka. [file PDF bisa diunduh di sini.]

Pahat Kecil di Tangan Tuhan
Dalam buku biografi dirinya (berjudul: Pastor James Bharataputra, SJ: “Misionaris Sejati dari India untuk Indonesia”), Pastor James mengutip doa John Henry Cardinal Newmann:
“Allah telah menciptakan aku untuk melakukan karya-karya pelayanan tertentu bagi-Nya. Dia telah menyerahkan kepada-ku beberapa hal yang tidak Dia serahkan kepada orang lain.
Aku adalah sebuah mata rantai dalam rencana-Nya, sebuah pengikat relasi antara khalayak orang. Allah tidak menciptakan aku sia-sia, maka aku akan melakukan yang baik, aku akan melakukan karya-Nya.”
Rektor Graha Maria Annai Velangkanni tersebut mengaku bahagia sebab diutus berkarya sebagai sarana alat bagi Tuhan. “saya menjadi pastor Jesuit bukan untuk melaksanakan kehendak dan cita-citaku sendiri melainkan untuk melaksanakan kehendak-Nya,” katanya dalam satu bincang dengan Menjemaat. “Jika Tuhan yang memegang tangan saya, maka kapanpun saya mau belum tentu saya bisa melepaskannya. Tuhan yang memegang tangan saya, maka Tuhan yang bisa melepaskannya kapanpun Tuhan mau,” kata Pastor James.

Dengan berbagai pengalaman, karya misionaris dan perjalanan hidupnya di Indonesia, Pastor James laksana pahat untuk menyelesaikan satu patung indah. Pastor James merasakan dirinya hanyalah pahat kecil di tangan Tuhan. “Allah adalah Sang Pemahat, aku ini hanya sebuah pahat kecil di tangan-Nya.”
Demikian keyakinan Pastor James akan penyelenggaraan ilahi dalam kehidupannya. Seperti hal nya yang diyakini oleh Pastor James dalam doa ‘The Prayer’ oleh John Henry Cardinal Newmann dan menjadi motto hidupnya sebagai berikut: “Aku punya misiku. Aku adalah sebuah mata rantai, sebuah pengikat besi relasi antara khalayak orang. Aku percaya penuh akan Dia, apa pun aku ini.”
“Demikian juga 50 tahun saya berkarya di sini bukan rencana saya, tapi rencana Tuhan,” ucapnya. “Saya yakin setelah sekian tahun berkarya di Keuskupan Agung Medan. Ini sungguh istimewa bagi saya, bahwa sangat jarang seorang pastor bertahun-tahun diberikan kepada keuskupan.”
Menurut Imam asal India, dirinya tidak pernah berkarya untuk karya khas Serikat Yesus. “Serikat Yesus mempersiapkan saya, dan mempersembahkan itu kepada gereja lokal. Setelah itu, saya tidak pernah ditarik lagi. Dan Uskup juga melihat bahwa Tuhan pakai saya di tempat ini, dan karya-karya nyata itu dia bisa rasakan. Di Medan, Banda Aceh, Pematangsiantar dan kini Medan lagi. Dan ini semuanya adalah karya Tuhan.”
“Sekarang Graha Maria saya tinggalkan sebagai kelanjutan dari misi saya. Karena itu saya desain sedemikian rupa, iman saya ditaruh sebagai isi. Maka setiap orang datang ke sini bisa mengenal karya keselamatan dia dari gambar, tulisan dan sebagainya.”

Bersyukur Rayakan Emas Imamat
Dalam nukilan buku (berjudul: “Tidak ada Alasan untuk Mengeluh, 50 Tahun Bekerja di Sumatera Utara”) tanda peringatan Imamat 50 Tahun-nya, Pastor Leo Joosten menulis:
“Pada pemberangkatan ke Indonesia saya berpisah sebagai redaktur majalah misi CC. Saya berencana untuk tetap menjadi koresponden CC dari Sumatera. Dalam wawancara perpisahan yang dilakukan oleh redaktur yang baru, yaitu Martien van Grinsven, saya mengatakan antara lain: “Saya mungkin adalah salah satu daripada misionaris terakhir yang berangkat ke Sumatera. Karena itu saya pernah mengatakan kepada Pastor Gonzalvus: “Karena saya misionaris terakhir, saya boleh mungkin buat lebih banyak dari pada misionaris yang lain!” Karena saya adalah selalu untuk menjadi seorang pastor yang aktif dalam tugas pastoral tetapi sekaligus juga memajukan sosial – ekonomis masyarakat di daerah misi. Mungkin saya menganggap itu sebagai petualangan. Hal itu bukan sebuah pilihan hari ini atau kemarin.”
Pastor Leo mengatakan, dirinya juga hendak membuat karya yang meningkatkan perekonomian umat di negara berkembang (tempatnya bermisi). “Saya merasa penting bekerja di negara yang sedang berkembang supaya bisa saya ikut memperbaiki sedikit struktur ekonomi negara itu, mengurangi jarak antara orang kaya dan miskin, keadilan untuk setiap orang adalah salah satu pesan yang terpenting dari Injil.”
Dia menambahkan, “Bahkan juga di Nederland juga bisa memperjuangkan keadilan. Tetapi saya merasa terpanggil untuk pergi langsung ke negara yang sedang berkembang untuk turut serta memperbaiki kehidupan masyarakat.”

Menilik kembali perjalanan imamatnya, Imam Kapusin asal Belanda ini bersyukur telah menapak ke masa emas imamat. “Termasuk pengalaman saat tiga kali hampir saja meninggal karena kecelakaan. Sekali dalam peristiwa nahas kapal kami tenggelam dihempas angin badai di Danau Toba, kemudian ketika mobil kami terguling di satu perkampungan, dan juga ketika pesawat yang saya tumpangi (dalam perjalanan ke Roma) disambar petir. Hahahaha.”
Ketika ditanyakan perihal momen perayaan emas imamat senada dengan Pastor James Bharataputra SJ, Pastor Leo mengatakan, “Saya hormat kepada Pastor James, sebab dia bisa berbaur dengan misionaris Belanda ketika berkarya di Paroki Hayam Wuruk. Saya juga terkesan dengan karya Pastor James membangun Velangkanni. Terutama membangun tempat yang mendorong orang berdoa. Maka, patut digelar satu perayaan untuk menghormati karya beliau di Keuskupan Agung Medan.”

Maranatha, Peristirahatan Terakhir
Saat merayakan double jubileum (60 tahun dalam Serikat Yesus dan 50 tahun di Indonesia), Pastor James mengaku terkesan akan hadiah dari Uskup (saat itu) Agung Medan, Mgr. Anicetus B. Sinaga OFM Cap. “Saya dapat satu hadiah dari Mgr. Anicetus Sinaga, dia mengatakan, nanti jika Pastor James meninggal maka dia akan dimakamkan di Graha Maria.”
“Tapi dia ingin persetujuan dari Propinsial Jesuit. Saya pun meminta, jika saya mati tidak perlu dibawa ke Jawa untuk dimakamkan. Saya punya propinsi, yang sah sebenarnya di propinsi India, di Indonesia saya hanya adopsi. Propinsi di India sudah beri izin, namun propinsi di Indonesia belum mengizinkan.”
Pastor James mengatakan, lebih suka mati di tengah-tengah orang yang saya layani. “Ketika Mgr. Anicetus mengatakan hadiah tersebut, saya memikirkan sebuah taman yang kemudian diberi nama Taman Maranatha, yang dibangun pada tahun 2018. sebagai tempat penantian.Lahan kuburannya sudah siap, tinggal korek dan kasih masuk petinya.”

Kembali ke Belanda atau Tinggal di Indonesia?
Kembali ke Belanda atau tinggal di Indonesia merupakan pertanyaan batin, yang sudah dihadapi banyak misionaris sebelum saya. Kalau lebih dari 40 tahun bekerja di Indonesia, maka sudah banyak rekan Imam dan kenalan. Tetapi jika kembali ke Belanda, saya tentu dengan berat hati berpisah dengan mereka semua.
Kembali ke Belanda juga bukan perkara mudah, karena rekan Imam sudah di sana sudah berusia uzur. Bahkan, ada seorang rekan Imam yang saya kenal akhirnya malah kembali lagi ke Indonesia, karena kondisi tersebut.
“Pada tahun 2018, saya cuti pulang kampung ke Belanda, dan di sana saya memimpin ekaristi. Saya hampir tidak mengenali satu pun orang-orang di situ, karena nyaris 50 tahun menjadi misionaris.”
Guardian biara Kapusin Tillburg menulis surat kepada Pastor Leo: “Kalau kamu mau pulang, jangan harap bisa melakukan pastoral di sini. Sebab usia kamu yang sudah lansia.”
“Oleh karena itu saya memilih menjadi pastor asisten di Berastagi selama saya masih dapat melakukan pekerjaan pastoral seperti mengunjungi orang sakit, memimpin misa lingkungan dan lainnya daripada pulang ke Belanda,” tuturnya.
Pastor Leo sendiri mengutip petuah Santo Fransiskus Assisi sebagai mantra imamatnya: “Berbahagialah hamba yang tidak menganggap dirinya lebih baik apabila ia dipuji dan dihormati orang, daripada apabila dipandang hina, bodoh dan nista. Sebab seperti apa nilai seseorang di hadapan Allah, begitulah nilai orang itu dan tidak lebih.”



