
Gereja Sungguh Peduli Bermedia. Frasa itu menggantung di langit fikiranku, dalam perjalanan dari Medan menuju Kabanjahe. Ranum, dan siap dipetik sebagai ‘bahan bakar’ untuk peserta dalam Pelatihan Menulis di kota tersebut, pada Sabtu (22 September) lalu. Tepatnya di kantor Vikariat Episkopal St. Yakobus Rasul – Kabanjahe.
Aku ditemani Istri, Eva Susanti Barus, menjadi pemateri dalam pelatihan yang dimaksudkan untuk penggemblengan aktivis penulis bagi majalah Ralinggungi. Redaksi majalah Keuskupan Agung Medan berbahasa Karo tersebut, tak memungkiri kerap kesulitan memenuhi kuota konten untuk menerbitkan majalah setiap bulannya. Gagasan yang muncul: mari buat pelatihan menulis!
Vikep Kabanjahe (yang juga mengampu Pelindung di Redaksi majalah Ralinggungi), RP. Karolus Sembiring OFM Cap menyampaikan tujuan training ini untuk membina jurnalis-jurnalis baru. “Para peserta dari Kevikepan Kabanjahe, telah kita mintakan utusan masing-masing Paroki sebanyak 3 orang. Belum termasuk, beberapa undangan dari pihak sekolah,” ujarnya dalam kata sambutan.
“Kiranya para peserta pelatihan dapat menjadi insan-insan yang akan meneruskan kabar-kabar sukacita Gereja ke tengah dunia,” imbuh Pastor Karolus seraya menjelaskan jika setiap peserta rutin meliput dan mengirimkan setiap kegiatan paroki ke majalah Ralinggungi ataupun media Katolik lainnya, tentu akan diperoleh banyak konten.
Majalah Ralinggungi punya sejarah yang mulanya digagas bapa Betlehem Ketaren dan seorang calon Imam (pada masa itu, sedang menjalani masa TOP di Paroki Brastagi), Frater Paulus Silalahi OFM Cap. Ini adalah media yang melawan arus. Umumnya, masyarakat di Karo punya kegemaran berkomunikasi lisan daripada tulisan dan membaca. Gereja menyadari bahwa budaya, nilai serta sejarah bisa perlahan luntur bila hanya berkutat di dunia bincang saja.

Menulis Fakta
Saat membawakan materi, aku menyampaikan bahwa ‘menulis’ adalah proses belajar tiada henti. Artinya, aku juga masih belajar untuk menulis dengan baik. Aku berbagi pengalaman menulis di media selama ini, yang kiranya bisa memberi inspirasi bagi para peserta.
Aku menuturkan, “Menulis Fakta” adalah sebuah keahlian menyampaikan laporan berdasarkan fakta bukan pendapat pribadi. “Jika kita sebut “Menulis Berita” cenderung hanya dikaitkan dengan dunia jurnalistik. Padahal, para peserta di sini tentu berasal dari beragam profesi. Menulis Fakta bisa diterapkan di berbagai latar belakang. Semisal, kalangan guru bisa memanfaatkan keahlian ini untuk membuat laporan pengajaran selama satu semester/ tahun. Ataupun praktisi keuangan dapat menerapkannya untuk membuat laporan investigasi tentang mengapa satu unit usaha mereka kolaps atau bangkrut,” ujarku.
Aku menambahkan, Tulisan Fakta yang bagus tentu diawali bahan tulisan yang cukup atau banyak. Hal tersebut bisa dicapai dengan merumuskan terlebih dahulu Angle (sudut laporan). “Sisi apa yang hendak kita fokuskan dalam penulisan? Tentu saja kita akan memusatkan seluruh pertanyaan wawancara agar nanti hasil tulisan tidak menyeberang ke sana – ke mari,” aku menambahkan.
Aneka pertanyaan wawancara dapat dirangkum dengan jelas dengan membuat ToR (Term of Reference) terlebih dahulu.”Jika reporter langsung ke lapangan tanpa ToR yang lengkap dan jelas, bisa dipastikan hasil laporannya tidak akan fokus.
Usai menjabarkan beberapa kiat untuk “Menulis Fakta”, aku meminta para peserta membentuk kelompok dan langsung mempraktikkan kegiatan reportase. Ada dua pilihan tema untuk masing-masing kelompok. Yakni, membuat tulisan fakta tentang “Profil Gereja Paroki SPM – Kabanjahe” dan “Profil majalah Raliggungi”.
Aku mendorong mereka untuk berlatih langsung ke lapangan. Dan tidak takut membuat kesalahan dalam berlatih, sebab itu artinya para peserta semakin baik untuk menguasai keahlian menulis.

