
“Melihat sisi terang“. Frasa itu bagai kue hangat yang baru dikeluarkan dari oven. Siap untuk dikunyah gigi dan lidah, lalu menjalar ke seluruh jaringan saraf tubuhku. Kemudian citarasa itu tersimpan kekal dalam salah satu bilik sel abu-abu.
Kelak, setiap kali ada tantangan yang seolah menjungkalkan diriku dari tempat berpijak, frasa itu akan berdentang seumpama lonceng: “Hayo, coba lihat sisi terang nya.”
Lalu-lintas semakin macet. Sisi terang: aku hendaknya lebih disiplin untuk bangun dan berangkat lebih awal. Bukankah dengan demikian, bisa tiba lebih awal di tempat kerja. Napas dan pikiran juga punya waktu menyatu agar fokus bekerja.
Harga-harga semakin membubung. Sisi terang: sejak aku belum lahir pun, peristiwa ini sudah kerap terjadi. Talentaku yang lain, bisa kuberdayakan untuk menambahi nafkah. Aku juga semakin menambah jejaring dan tanggung jawab dalam lingkup lebih luas. Memang semakin letih, tapi fisik yang letih untuk bekerja, masih lebih bahagia daripada pikiran yang letih karena memilih diam menyerah.
Dengan melihat sisi terang, aku menjadi aktif. Bukan reaktif. Melihat sisi terang, aku bertindak alih-alih takut gagal. Ketakutan itu sendiri merupakan kegagalan yang menyedihkan.
gambar dipinjam dari: https://www.lovethispic.com/