
Kondisi sakit dan usia renta adalah bagian dalam kehidupan manusia. Oleh sebab itu, fasilitas Wisma Lansia juga menjadi jamak ditemukan. Bagi kalangan tarekat hidup bakti juga menyediakan tempat khusus ini. Terutama di Ordo/ Kongregasi yang sudah memiliki Imam, Biarawan/ biarawati berusia lanjut. Berikut beberapa tempat Komunitas/ Wisma Lansia dalam liputan Redaksi Menjemaat.
“Sejak awal pembangunan, biara ini ditujukan bagi Imam Kapusin lansia. Maka, di biara ini memiliki banyak kamar. Dalam pemakaian selanjutnya, tidak langsung ditempati oleh para Imam lansia. Di mana biara ini juga menjadi tempat pelayanan oleh Pastor Paroki dan jajarannya. Dan kemudian, juga dimanfaatkan untuk pendidikan biarawan muda,” tutur Pastor Anselmus Mahulae OFM Cap, kala ditemui kru Menjemaat di Biara Kapusin Emaus, Jl. Beringin 3 No.9, Helvetia, Medan, baru-baru ini.
Menurut Pastor Anselmus, baru belakangan ini, biara tersebut mulai ditempati oleh beberapa Imam Kapusin lansia. “Di antaranya, Pastor Hyginus Silaen OFM Cap, Pastor Thomas Saragih OFM Cap, Pastor Raymond Simanjorang OFM Cap, kemudian ada juga Bruder Konstantinus Kudadiri OFM Cap yang kini sedang menjalani perawatan di rumah sakit,” ujarnya, kala ditemui Menjemaat, bersama Pastor Parochus Helvetia, RP. Fiorensius Sipayung OFM Cap dan Pastor Albertus Pandiangan OFM Cap.









Pastor Fiorensius turut menimpali, Biara Emaus ini dibangun untuk biarawan Kapusin lansia dan saudara Kapusin yang tengah menjalani perawatan medis. “Karena ini vital, saat ini sedang diupayakan juga biara dengan tujuan serupa di Pematangsiantar. Kemungkinan akan rampung pada tahun 2023 mendatang,” terang Imam asal Paroki Saribudolok.
Baik Pastor Anselmus dan Pastor Fiorensius, tidak memiliki data rinci perihal sejarah awal berdirinya biara ini. “Sejauh yang saya ingat, dulu tanah biara ini adalah milik FSE. Namun, sebab beberapa pertimbangan, kongregasi FSE lalu menghibahkan kepada Kapusin,” kata Pastor Anselmus. “Sebagai bagian dari komunitas ini, saya merasa senang. Karena selalu ada yang tinggal di rumah. Sekarang, kami di sini ada sekira 17 biarawan. Empat yang bertugas di Paroki, yang lain, ada di percetakan, ada di pendidikan. Artinya tinggal di sini, namun kerjanya di tempat lain.”

Biara dengan ciri senada juga dibangun oleh Kongregasi Fransiskanes Santa Elisabeth (FSE). “Kami menyebutnya Komunitas Santa Anna,” terang Sr. Auxilia Sinurat FSE kala ditemui Menjemaat, belum lama ini. Komunitas yang bertempat di Jl. Bunga Terompet No. 118 Kelurahan Sempakata, Medan dibangun tanggal 23 September 1998, dan diresmikan pada 28 November 1999.
“Penghuni pertama Komunitas Santa Anna adalah Sr. Theodora Saragih FSE (pemimpin komunitas), anggotanya: Sr. Elisabeth FSE, Sr. Sigabertha FSE, Sr. Adriana FSE, dan Sr. Estella FSE,” ucap Sr. Auxilia. “Komunitas Santa Anna ini, penghuni umumnya adalah para suster yang sudah lanjut usia, dengan berbagai ragam kelebihan dan kekurangannya yang setiap kali membuat persaudaraan menjadi lebih akrab dan menyenangkan.”
Penasehat DPU Kongregasi FSE mengatakan, meski telah berusia renta dan mengalami beberapa tantangan fisik, namun para biarawati di komunitas Santa Anna tetap semangat serta setia dalam tugas harian. Terlebih dalam doa-doanya.










“Ketekunan para Suster lansia ini luar biasa terutama dalam devosi-devosi yang setiap hari dilantunkannya demi kongregasi ini, diri sendiri terlebih bagi orang-orang yang memohonkan doa. Seperti Santa Anna yang selalu setia dalam doa dan pengharapannya, sejak perkawinannya hingga akhirnya Allah memberikan dia karunia yang besar dengan memperoleh keturunan , yakni anak perempuan yang sejak dalam kandungan telah terberkati, yang akhirnya menjadi Bunda Yesus Kristus, Sang Juru Selamat Dunia,” katanya.

Selain komunitas bagi Imam, Biarawan/ biarawati lansia, sejumlah Kongregasi juga membuka Wisma Lansia bagi kalangan awam. Salah satunya, Wisma Lansia Mary Home di Berastagi yang diasuh oleh Kongregasi Suster-suster Fransiskus Dina (SFD).
Kepada Menjemaat, Sr. Godelifa Sinaga SFD menjelaskan, bahwa dasar pendirian Wisma Lansia Mary Home adalah karya Kongregasi SFD dalam menyebarkan pelayanannya lewat karya kesehatan.
“Para suster SFD menyelamatkan jiwa-jiwa yang sedang menderita sakit dengan penuh perhatian dan cinta kasih. Yayasan Kesehatan SFD bernaung di bawah dua (2) Yayasan, yaitu Yayasan Cinta Kasih Rafael yang membawahi seluruh unit kesehatan yang ada di Sumatera Utara dan Tigaraksa,” katanya melalui bincang video call, seraya mengimbuhkan bahwa Mary Home dibangun pada 24 Agustus 2019.
“Yayasan Kongregasi Suster-suster Fransiskus Dongen yang membawahi seluruh unit kesehatan dan social yang ada di Kalimantan dan Jawa Tengah. Selain itu Kongregasi juga memiliki sebuah Apotek bernama “Apotek Cinta Kasih Rafael” yang berada di Kabanjahe. Masyarakat umum boleh melakukan pembelian obat dengan harga terjangkau.”
Bukan Hal Mudah
Pastor Albertus Pandiangan mengaku, telah berkomunitas di Biara Kapusin Emaus sejak 4 Oktober 2017. “Yakni, setelah operasi amputasi kaki saya di Rumah Sakit di Penang, Malaysia,” katanya. “Sebelumnya saya melayani di Paroki Hayam Wuruk. Tetapi karena kaki saya diamputasi, maka perlu istirahat dan di sini tempatnya sangat cocok. Karena tempatnya datar.”
Dia melanjutkan, kini setelah bisa berjalan, dirinya tidak lagi menjalani tugas tetap. “Meski demikian, saya masih bisa membantu di sana sini. Membantu di paroki ini (Helvetia), ataupun dari paroki lain, untuk memimpin misa arwah atau pengurapan orang sakit, saya layankan hingga sekarang.”
Imam Kapusin tersebut mengatakan, sekarang dia sudah bisa berjalan, “kalau naik tangga altar sudah bisa tanpa bantuan jika hanya dua atau tiga anak tangga. Di atas itu, saya perlu bantuan tongkat atau penyangga.”
Pastor Albertus tak menampik, butuh beradaptasi di komunitas Biara Emaus. “Karena pada awalnya sudah biasa di Pastoran. Beda dengan komunitas biara. Dan ragam orang juga luar biasa. Ada orang tua, ada yang perlu ditemani, ada yang kerja di paroki, ada yang kuliah. Dan ada yang kerja di unit lain. Memang ini komunitas istimewa. Karena keragaman tersebut.”
Namun, imbuhnya, mungkin bagi orang-orang tertentu sulit menyesuaikan ritme atau kerja sesuai aturan biara. “Karena di biara harus disiplin dan teratur. Kini dalam rutinitas sehari-hari, pada pagi hari saya memiliki kesempatan untuk membaca surat kabar atau buku. Kemudian lanjut mempersiapkan khotbah tertulis yang akan dikirim melalui Facebook. Kegiatan ini memaksa kita untuk mengisi waktu. Walaupun saya tidak ada tanggung jawab di Paroki. Sehingga terisi waktu itu dengan baik.”
Berkenaan peringatan Hari Orang Sakit oleh Gereja Katolik, kata Pastor Albert, meninggalkan kesan dalam dirinya. “Sebelum pindah ke komunitas di Biara Emaus ini. Dulu di Paroki Hayam Wuruk, saya sering mengunjungi orang-orang sakit. Dengan mengantar komuni kepada orang sakit, saya selalu mengatakan kepada para umat yang dikunjungi, agar tetap semangat dan selalu mengandalkan Tuhan selama masa sakit.”
“Ternyata ketika saya mengalami sakit, saya juga harus taat akan nasihat-nasihat yang pernah saya ucapkan dulu,” ucap Pastor Albert.
Tantangan juga dialami oleh Sr. Godelifa SFD dalam pastoral kaum lansia di wisma Mary Home, Berastagi. “Layanan ini dibuka mengingat pastoral bagi lansia masih belum ada di sekitaran wilayah Kabupaten Karo,” katanya. “Namun, pandangan masyarakat setempat masih belum sepenuhnya berkenan untuk menempatkan orangtuanya atau saudaranya di Mary Home. Ada semacam kesan tidak berbakti. Atau tidak peduli.” “Sementara, kita di sini memberikan perhatian dan perawatan khusus bagi orang lansia. Dengan demikian, kesehatan mereka dapat dijaga sepenuhnya. Dan karta pastoral bagi lansia ini juga selaras dengan motto Kongregasi SFD: “Dalam kesederhanaan dan kasih yang tulus dan kreatif kami siap melayani.”,” ucapnya biarawati yang menjabat Ibu Rumah atau Home Ministra Wisma Lansia Mary Home.