“Doa Bapa Kami itu Sungguh Merasuk ke dalam Hatiku”Sr. Maria Raymonda Ginting, Biarawati FSE Pertama asal Indonesia


‘Doa Bapa Kami’ adalah cikal bakal kecintaan Sr. Maria Raymonda Ginting FSE memeluk agama Katolik. “Sewaktu keluarga kami akan pindah dari Djuhar ke Medan. Saat itu, kami sekeluarga masih belum beragama. Namun, beberapa abang dan adik sudah duluan diboyong untuk tinggal di Medan. Adik bungsu saya sudah masuk sekolah dasar kelas Katolik 1 di Hayam Wuruk,” tutur Suster Iting (nama sapaannya) kepada Menjemaat di Biara Komunitas Santo Agustinus, Jalan Bunga Terompet Sempakata, Medan, baru-baru ini.

Satu kali ketika pulang sekolah, si bungsu menyampaikan, baru saja belajar Doa Bapa Kami. “Walau saat itu mengucapkan sambil bermain-main, namun doa itu sungguh merasuk ke dalam hati saya. Saya sangat tertarik dengan doa itu,” ucap Suster Iting, seraya bertekad ingin belajar Doa Bapa Kami jika nanti pindah sekolah dari Djuhar ke Medan seperti adik bungsunya.

Saat akan memasuki kelas 5 Sekolah Dasar, kami sekeluarga bisa pindah dan berkumpul di rumah baru. Biarawati bernama kecil Nusuni Marietta br Ginting berkata, kediaman keluarganya saat itu berada di wilayah Simpang Kampus USU.

“Namun, saya dimasukkan di sekolah dasar negeri. Abang saya, saat itu menjabat Sekolah SMEA di Hayam Wuruk, yang memasukkan saya ke sekolah itu. Di sekolah itu, saya menunggu-nunggu kapan akan diajarkan dan mengucapkan Doa Bapa Kami. Sepulang sekolah saya terus bertanya-tanya dalam hati, kenapa tidak ada Doa Bapa Kami. Demikian perasaan heran dan rindu Doa Bapa Kami saya pendam hingga seminggu lamanya,” katanya mengenang.

Nusuni cilik senang bisa mendapat teman-teman baru di sekolah tersebut, namun hatinya masih sangat rindu untuk diajari mengucapkan Doa Bapa Kami. “Ketika abang saya datang mampir ke rumah, saya lalu mengutarakan perasaan dan keinginan untuk pindah saja dari sekolah negeri. Alasannya tentu saja karena ingin belajar Doa Bapa Kami,” ujarnya. “Mulanya abang saya membujuk, agar menamatkan pendidikan di sekolah negeri tersebut. Ketika nanti masuk Sekolah Menengah Pertama, barulah akan masuk Sekolah Katolik.Tapi saya tetap bersikeras. Saya bertanya, di mana saya bisa belajar Doa Bapa Kami.”

Oleh karena Nusuni masih kukuh pada keinginannya itu, maka orangtua pun memindahkan dia ke sekolah Katolik di Jalan Sriwijaya, Medan. “Saya pun senang karena akhirnya bisa diajari Doa Bapa Kami. Tahun berikutnya, saya pun pindah lagi ke Sekolah Katolik di dekat Gereja Hayam Wuruk.”

“Di sekolah tersebut, saya semakin senang. Sebab saya bisa masuk ke gereja. Walaupun sebenarnya saya belum mengerti sama sekali tentang Katolik, tapi saya sering ke gereja. Duduk di sana, memperhatikan banyak calon suster. Terutama pada hari Sabtu, ketika mempersiapkan bunga di altar untuk misa hari Minggu.”

Suster Iting bersama Sr. Auxilia Sinurat, FSE

Benih Panggilan Mulai Bertumbuh

Kebiasaan Nusuni kerap mengunjungi Gereja Hayam Wuruk kemudian diamati Suster Kepala Sekolahnya. “Suster itu, orang Belanda. Dia kemudian berkata kepada saya, bahwa ada pelajaran (kursus) untuk dibaptis.

“Apakah mau kamu belajar?” tanya Suster Kepala Sekolah.

“Mau,” jawab Nusuni dengan cepat.

Bagi Nusuni, pelajaran kursus tersebut tidak sulit, sebab sebelumnya sudah diajari di sekolah. “Akhirnya, saya pun dibaptis. Maka, saya pun resmi menjadi umat Katolik bersama adik bungsu saya. Sementara bapak, ibu dan beberapa saudara belum menganut agama.”

Beberapa masa setelah diterima resmi sebagai umat Katolik, Suster Kepala Sekolah bertanya pada Nusuni ingin menjadi apa kelak. Dengan spontan dia menjawab, “Aku mau menjadi suster.”

Melihat semangat Nusuni, Suster kemudian menyampaikan kepada Pastor Paroki Hayam Wuruk, yang juga berasal dari Belanda. Suster melihat dia bisa menjadi calon biarawati di kongregasi mereka kelak. Maka, Pastor pun kemudian menemui bapaknya, Ngian Ginting.

Dalam perbincangan mereka, Pastor bertanya apakah dia mau anaknya menjadi Suster. Karena kebingungan, bapak Ginting bertanya balik apakah yang dimaksud Pastor adalah tenaga kesehatan di rumah suster.

“Bukan, pak,” jawab Pastor. “Suster itu tidak kawin.”

“Wah. Di rumah juga bisa tidak kawin,” ucap orangtua Nusuni. Kemudian, Pastor tersebut pun pulang. Menurut Suster Raymonda, mungkin Pastor merasa kesulitan berbincang dengan bapaknya, karena bahasa Indonesia Pastor itu masih ‘berpasir-pasir’

Karena upaya Pastor pertama mandek. Maka, Pastor Maximus Brans OFM Cap mencoba lakukan pendekatan kedua. “Kebetulan, Pastor Brans mahir berbahasa Karo, karena sebelumya pernah melayani di Paroki Kabanjahe. Seingat saya, saat itu saya akan menamatkan pendidikan sekolah dasar. Dan dalam pemikiran saya, saya sudah bisa mendaftar masuk menjadi seorang suster,” kata Suster Raymonda.

Dalam perbincangan, katanya, Pastor Brans tidak membahas tentang memasukkan saya ke biara Suster. Melainkan tentang iman, dan mendorong agar orang tua saya mau menjadi umat Katolik.

Dengan terus terang, bapak Ngian Ginting mengatakan belum setuju kalau anaknya menjadi seorang suster. Namun, dia menyatakan, bersedia dan tertarik menjadi umat Katolik. Dia meminta agar setahap demi setahap diajari menjadi umat Katolik.

***

Ketika tamat sekolah dasar, orang tua Nusuni mulai bertanya hendak masuk di sekolah mana. Tapi dia menolak, karena sangat ingin menjadi seorang Suster. Mereka pun kaget dengan pilihannya. Sebab itu bukan hal lazim dalam keluarga besar.

“Saya bersikukuh, hanya ingin menjadi suster. Keluarga pun terus membujuk-bujuk. Namun, saya tidak berubah pikiran. Akhirnya, kedua orang tua pun memasukkan saya ke tempat usaha tukang jahit milik sanak famili di Pancur Batu. Dengan harapan setelah setahun di sana, saya akan mau masuk sekolah menengah pertama nantinya,” ucap Suster Raymonda, seraya melanjutkan, setelah beberapa masa di usaha jahit ini, keinginannya menjadi seorang suster masih belum pudar.

Jalan merintis hidup bakti Sr. Raymonda mulai tumbuh, ketika mendapat informasi untuk penerimaan posisi seperti asisten perawat di Rumah Sakit Elisabeth. Abang Nusuni pun menyampaikan agar dirinya mendaftar ke lembaga tersebut. “Abang saya mengatakan, di tempat tersebut menerima tamatan SD dan nanti akan mendapat ijazah setara SMP. Mendengar penuturan itu, bapak saya pun menyetujui. Karena menurutnya, suster semestinya hanya di Rumah Sakit.”

Suster Raymonda mengatakan, “Saat itu Suster Kongregasi Fransiskanes Santa Elisabet (FSE) masih orang Belanda semua. Ada beberapa gadis pribumi di asrama, yang diajari bagaimana merawat orang sakit. Dulu disebut PP (pembantu perawat).”

Selama tinggal di asrama tersebut, saya selalu berdoa ke kapel di RS Elisabeth. Para Suster Belanda tersebut pun tidak melarang atau bertanya. Mungkin mereka menyadari bahwa saya sangat tertarik berdoa di kapel.  

Satu saat, ketika akan bersiap menjalani ujian kelulusan, seorang Suster menyampaikan kepada Nusuni, bahwa ada penerimaan Suster Fransiskanes Santa Elisabeth (FSE) di novisiat di jalan Slamet Riyadi, Medan. “Saya mengatakan, orang tua saya pasti tidak setuju. Dengan diizinkan orang tua bisa pendidikan dan tinggal di asrama RS Elisabet pun sudah membuat saya senang,” ucapnya.

Namun Suster tersebut menganjurkan, agar Nusuni menemui dan menyampaikan hal tersebut ke orangtuanya. “Kebetulan saat itu mereka sedang di kampung Djuhar. Walau berat, saya pun mengiyakan anjuran suster belanda tersebut. Setiba di kampung, saya utarakan niat tersebut. Dan mamak saya langsung mengatakan tidak setuju. Saya pun mendiamkan, tidak melawan. Dan saat kembali ke Medan, saya pun tidak menyampaikan jawaban orangtua saya kepada suster. Kebetulan suster juga tidak bertanya hingga beberapa hari.”

Ketika tiba masanya penerimaan novisiat, Suster Belanda kembali membujuk Nusuni untuk masuk. Dia pun menyampaikan jawaban orangtuanya. “Sudah lah. Kamu coba saja dulu,” kata suster tersebut.

“Saya sempat kaget. Bagaimana ini masuk suster bisa coba-coba. Akhirnya, dengan memberanikan diri, saya ikut masuk novisiat. Saat itu kami ada lima orang suster novis FSE,” kata Suster yang memasuki masa postulan pada 4 Oktober 1956.

“Setelah masuk novis, kami pun mulai memakai jubah. Satu kali saat kami berjalan kaki menuju kapel, ternyata saya dilihat seorang sanak famili yang sedang belajar bahasa Belanda di frateran. Dia kaget. Dan memberitahukan hal tersebut kepada orang tua saya.”

Orangtua Nusuni pun sangat kaget mendengar berita itu. Keesokan harinya mereka datang, dan memaksa dia untuk meninggalkan biara. Namun, dia menolak. “Begitulah upaya orangtua saya agar keluar dari biara ini, terjadi berkali-kali. Saya bertekad untuk tidak pulang. Karena jalan hidup saya sekarang sudah menjadi suster. Pernah satu kali mereka coba menjodohkan saya dengan impal (saudara ipar). Namun, saya kembali menolak. Mamak saya lalu menangis. Tapi herannya saya tetap bisa kuat,” ujar Sr. Raymonda tertawa geli mengenang peristiwa tersebut.

Kalau kamu menderita, kami lebih menderita

Satu kali ketika selesai masa novis, Sr. Raymonda pun memasuki tahap profesi pada 1 Agustus 1959. Tak lama kemudian, dia jatuh sakit hingga terpaksa menjalani opname di rumah sakit. “Orangtua saya pun mengetahui hal ini dari orang lain, dan menjenguk ke RS. Mamak saya pun marah-marah karena menganggap pihak suster tidak baik, karena tidak mengabari perihal saya sakit,” katanya, sambil menambahkan bahwa saat itu semua keluarganya sudah dibaptis menjadi umat Katolik oleh Pastor Maximus Brans OFM Cap di Hayam Wuruk.

Pada satu hari, setelah berkali-kali mencoba membujuk Sr. Raymonda meninggalkan biara, orangtuanya datang ke biara FSE di jalan Slamet Riyadi. Menurutnya, di momen ini lah pengalaman yang paling menguatkan semangat hidup panggilannya.

Bapak Ngiian mengatakan, “Nak. Kami sudah berkali-kali meminta kam pulang. Dengar baik-baik. Orang kawin ada yang cerai, dan ada yang terus mempertahankan perkawinannya. Aku memang tidak pernah menjalani hidup (panggilan) seperti ini. Tapi, aku tahu suster ini ada janjinya. Maka, suatu saat kalau kamu harus pulang (karena meninggalkan hidup panggilan). Maka, kamu menderita. Tapi kami lebih menderita.”

Bapak Nngian meminta agar Sr. Raymonda menetapkan hatimu. “Benar-benar kamu ingin menjadi suster atau tidak. Kalau tidak, maka mari kita pulang bersama.”

“Saya terharu dan terkesan, karena belum pernah sebelumnya bapak saya berkata demikian. Dengan tenang, saya menatap wajah orang tua saya dan bibik saya. Dan berkata, “Iya. Saya mau menjadi suster.”,” ujarnya.

“Tapi ingat ya. Kalau kamu menjadi suster, tekuni menjadi suster. Jangan nanti bikin malu keluarga,” ucap Sr. Raymonda meniru nasehat bapaknya.

Ketika mengantar pulang, diam-diam Sr. Raymonda melirik dari balik pintu gerbang, dan mendengar suara ibunya yang marah kepada si bapak. Namun, bapak Ngian kemudia menenangkan dan mengajak pulang Ibu Madosa Tarigan.

“Akhirnya iman dan semangat panggilan saya pun semakin kuat. Tentu saja, dalam hidup panggilan selalu ada tantangan berat. Satu saat ketika mengalami masalah, saya merasa tergoda untuk keluar. Saya pun teringat akan bapak dan ibuku. Bahwa kalau saya merasa malu meninggalkan jalan panggilan ini, maka mereka akan lebih malu. Juga lebih menderita.”

Selalu Ceria dan Bersemangat

“Saya bersyukur dan bahagia bisa menjadi biarawati FSE, terutama karena menjadi biarawati asal Indonesia yang perdana menjalani hidup panggilan di kongregasi ini. Dari empat rekan suster yang masuk novis bersama saya, akhirnya hanya dua yang tetap menjalani panggilan di FSE,” kenang biarawati yang mengikrarkan Kaul Kekal pada 1 Agustus 1965.

Bagi Sr. Raymonda sungguh banyak pengalaman menarik, baik suka-duka, dalam pelayanan di ‘ladang Tuhan’. “Salah satu pengalaman yang menarik adalah ketika turut menemani pelayanan misi pertama Imam Konventual dari Italia di Delitua. Bisa dibilang ini adalah pengalaman pertama saya ikut melayani bagi umat Katolik suku Karo. Meski saya dari Djuhar, namun sebelumnya saya lebih banyak di Medan dan kota lain. Saya senang membantu para pastor tersebut, karena umumnya bahasa Indonesia mereka masih ‘berpasir-pasir’ apalagi bahasa Karo.”

“Bisa saya membantu orang, saya sangat senang. Itu yang menarik bagi saya,” terang Suster yang memilih motto kaul: “Tuhanku dan s’muanyaku segalanya untuk Tuhan.”

Menurut Sr. Raymonda, dirinya tak ada ‘resep’ khusus untuk selalu ceria dan bersemangat. Bahkan dirinya masih senang ditempatkan di komunitas Santo Agustinus bersama suster-suster muda FSE. “Memang dari sononya. Saya ini anak nomor lima dari enam bersaudara. Walau anak pertama tidak pernah kulihat, karena dia wafat semasa saya sangat kecil. Saya merupakan anak periang. Karena dimanja oleh dua abang saya. Selain itu, dalam keluarga saya tidak pernah mengalam susah hati,” pungkas Suster yang telah merayakan pesta emas pada 1 Agustus 2009.

 (sebagaimana dikisahkan kepada Ananta Bangun)

// ditulis untuk majalah Menjemaa edisi Februari 2022

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.