Akun dan Gajah
Sejak pandemi melanda, aku mulai gemar melirik gempita dunia video. Terutama di media YouTube, TikTok, Snack dan sebangsanya. Memang asyik, karena lockdown, kerinduan melihat sesama bisa dituangkan di situ.
Gereja juga telah masuk dalam arus ini. Ibadah digelar secara streaming, menjadi hal lazim. Khotbah dan Katekese pun menjamur. Tentu umat yang dulu haus akan hal-hal ini terpuasakan lah dahaganya.
Tidak ada kata terlambat, untuk masuk dalam sukacita Internet. Demikian juga bagi Gereja. Maka, sungguh menarik saat mendapati banyak akun bertema “Katolik” juga berseliweran dalam dunia maya. Mulai dari yang ditangani kalangan awam, biarawan/ biarawati hingga klerus.
Tujuan lahirnya akun-akun ini, bila ditanya secara spontan, bisa beragam. Ada yang memang meliriknya sebagai media yang mudah dan murah meriah. Ada pula (sembari malu-malu) melirik peluang cuan atawa duit dari iklan.
Yap! Tantangan masa pandemi yang paling menindih adalah sulitnya menemukan alternatif nafkah. Cuan dari iklan media internet seperti rumus baru yang mencerahkan, terutama ketika di sekeliling lebih bergema isu PHK, bangkrut hingga melambungnya harga barang dagangan.
Buktinya ada nama-nama yang bisa meraup hingga miliaran rupiah dari usaha yang mulanya adalah semacam hobi ini. Sepertinya, kegiatan yang dilakukan pun cukup mudah: “buat rekaman nan sensasional, kemudian lepaskan ke rimba maya. Setelahnya berdoa khusyuk, semoga banyak yang menonton hingga komentar”.
Mantra ‘sensasional’ cukup sulit diramu ke dalam konten video a la Gereja Katolik. Mungkin menunggu momentum, semisal ada Imam atau hirarki terpapar Covid-19. Ada pengalaman lucu juga dalam ihwal itu, tatkala seorang biarawan sampai (katakanlah) mencuri cuplikan rilis info uskup terpapar covid. Tentu saja, tujuannya demi mengejar rating tontonan di kanalnya.
Gajah yang Obesitas
Tak perlu penelitian atau diskusi berat guna menggelitik pikiran, bahwa kerumunan akun-akun Gereja Katolik jika disatukan bakal punya daya besar.
Ide utamanya: umat punya satu rujukan + aliran cuan iklan sangat mungkin lebih deras. Satu rujukan adalah sifat dalam Gereja Katolik. Yakni, hanya satu petuah yang dipegang dari Bapa Suci Paus.
Cuan iklan dari satu kanal utama juga bukan hal muskil. Banyak contoh bisa ditiru. Stasiun televisi melakukannya, demikian juga dari kalangan industri hingga tokoh terkenal.
Lalu mengapa ide itu sepertinya sulit terwujud? Kiranya titik lemah ada pada penyatuan seluruh akun-akun itu. Sebab akan menggembung seperti gajah, dengan sifatnya yang lambat. Sementara dunia Internet seperti ‘pesta sensasi tanpa henti’. Setiap detik selalu menyeruak kabar-kabar viral.
Karakter industri media Internet juga sangat condong individualis. Tak ada syarat menyertakan persetujuan Kepala Lurah, Pastor Paroki hingga Surat Sakramen buat pendaftaran. Sehingga ‘kuantitas adalah segalanya’ sangat tampak di sini.
Individu atawa perorangan tersebut kebanyakan melebur ke dalam ‘pesta’ internet, memang karena suka. Mudah dan murah meriah, yang disebut sebelumnya, adalah bumbu micin agar menggaet lebih banyak insan untuk membagikan info apa saja. Mulai dari hal-hal religius, prestius hingga lekuk tubuh sembari berjoget.
Padahal, jika saja ada niat memberi hati secuil, akun-akun yang berhasil meraup cuan besar, menanam investasi serius. Berupa uang untuk promosi, menyewa jasa analis, hingga membuat perencanaan matang untuk konten edisi berikutnya.
Akun-akun itu ada yang berupa gajah (namun berhasil karena punya satu saujana nan jernih), dan ada juga berupa kelinci ramping nan lincah. Akun gajah yang obesitas, umumnya dimiliki kalangan birokrat. Insan di dalamnya juga seperti kuda delman yang perlu dilecut agar bisa bergerak.
Dari peristiwa ini juga kita bisa memilah ‘cinta’ dan ‘suka’. Adjektiva ‘suka’ kerap berumur pendek dan goyah seturut selera zaman. Tiada komitmen dan pengorbanan sungguh untuk itu.
Mencinta, adalah terus menabur kasih bahkan hingga terluka. Sebagaimana Bunda Maria yang ‘jantungnya dihujam sebilah pedang’, saat menyaksikan Tuhan Yesus wafat di kayu salib. Seperti dinubuatkan oleh si orang saleh, Simeon.
Turut dalam dunia Internet sepertinya masuk arus zaman. Seolah tak ada ruang, sesempit apa pun, untuk karya cinta Allah. Benarkah? Ihwal yang pasti adalah mengikuti jalan Tuhan adalah selalu melawan arus zaman dunia ini.