Smart Phone with Paper Cut Social Media Icons in Speech Bubble
Baru-baru ini sejawatku sedang heboh membahas ‘subscriber’ atawa pelanggan. Jumlah besar pelanggan menjadi ukuran keberhasilan nan menyenangkan. Ini membuatku teringat pada masa awal ikut berkecimpung di dunia blogging.
Kala itu, rasanya sungguh keren bisa menjadi sosok yang mempengaruhi banyak orang dengan media blog. Belakangan, gairah ini juga menular dengan media sosial yang kugunakan seperti: Facebook, Twitter dan Instagram. Tapi beberapa bincang dengan sosok yang kukagumi mengubah pendapatku ini.
Seniorku itu mengatakan, media hendak lah ditempatkan sesuai perannya. Yakni, menjadi sarana untuk saling berkomunikasi. Saling menyapa, dan hingga berbagi pendapat. Karena itu, dia kurang suka media sosial yang tak menjembatani fungsi ini dengan baik. Seperti media sosial berbagi foto yang boleh tidak follow atawa mengikuti balik sesama pengguna aku medsos tersebut. “Jadi, buat apa punya media kalau ngomong sendiri dan orang lain membalas via komentar, tanpa diladeni. Kalau begitu kan percuma,” katanya. Aku manggut-manggut.
Aku sendiri ragu dengan fenomena “mencapai puncak dengan sangat cepat” lebih baik daripada “mencapai puncak dengan proses bertahap”. Bukankah semudah dan selekas itu juga tren akan gugur. Gelang power balance, batu akik, sepeda fixie dan banyak tren lain yang telah berlalu begitu saja.
Namun, tidak seperti menulis yang bagai “perjuangan di dunia sunyi”, tren mengejar pelanggan memang sungguh menyenangkan karena bisa ramai-ramai turut dalam sebuah pesta. Tak banyak yang mau ‘melawan arus’. Mungkin karena itu rasul hanya berjumlah belasan.