Mungkin beberapa teman sudah pernah mendengar cerita ini. Tapi, aku tuliskan saja lagi, agar mudah memahami apa yang dimaksudkan dalam tulisan ini.
“Syahdan. seorang guru menulis hasil perkalian matematika bilangan 7 (tujuh), sebagai berikut:
7 x 1 = 7
7 x 2 = 14
7 x 3 = 21
7 x 4 = 29
7 x 5 = 35
7 x 6 = 42
7 x 7 = 49
7 x 8 = 56
7 x 9 = 63
7 x 10 = 70
Sontak seisi kelas menjadi ribut karena ada satu perkalian yang keliru dijawab sang guru. Namun, setelah meminta para murid agar tenang, dia lalu berkata: “Apa yang kuajarkan pada hari ini kelak akan kalian hadapi.”
“Perhatikan bahwa saya hanya membuat satu kesalahan, namun sembilan yang lain benar. Namun, demikian lah kelak dunia akan memandang kalian. Meski telah berbuat banyak tindakan benar, namun satu kesalahan yang kalian perbuat, akan mudah dan selalu diolok-olok dunia.”
Aku sempat mengira diriku adalah orang paling tidak berguna di dunia ini, karena begitu banyaknya kesalahan yang pernah kubuat. Dari perkara kecil, hingga kesalahan yang menimbulkan kerugian besar bagi perusahaan tempatku bekerja dahulu.
Karena kesalahanku, aku juga kehilangan kepercayaan (trust) dan hubungan karib dengan beberapa insan. Dan ini tentu sangat aku sesali. Tetapi, tentu saja, dampak dari kelalaian ini tak bisa lagi kuperbaiki seperti semula. Ibarat ‘nasi sudah jadi bubur‘.
***
Mulanya aku mengira cara untuk menyelesaikan masalah ini adalah ‘mengurangi sesedikit mungkin kesalahan’ atau kalau bisa adalah ‘jangan pernah buat kesalahan.’ Akan tetapi semua itu keliru, setelah membincangkannya dengan beberapa sahabat yang kuanggap mentor dan juga dari buku-buku bagus, jawaban sebenarnya adalah: ‘bagaimana diriku memandang kesalahan itu sendiri.’
Jika sebelumnya, aku takut akan melakukan kesalahan, kini aku membulatkan tekad bahwa: “aku harus berani berbuat, agar berhasil. Karena kegagalan ada untuk menopang keberhasilan.”
Cara berpikir yang baru ini juga mempengaruhi bagaimana rekan atau insan melihat kegagalan yang kubuat. Aku tentu tak mengelak telah membuat kesalahan (dengan memohon maaf), namun berjanji untuk memperbaikinya sesegera mungkin, dan (bila ada) sesuai saran dari rekan atau insan tersebut.
Aku pikir, ini adalah keahlian bermasayarakat (sosialisasi) yang kurang diajarkan dalam lembaga pendidikan hingga keluarga. Entah karena latar belakang apa, sepertinya kita malah diajarkan untuk menertawai dan mencemooh kegagalan setiap orang yang kita lihat. Namun, di sebuah kesempatan lain, kita semua sama-sama sepakat: “kesempurnaan hanya milik Tuhan.”
Pernah terlintas dalam benakku, jika saja aku memiliki kemampuan percaya diri seperti ini sejak mula sekolah, tentu hasilnya mungkin berbeda. Tetapi cepat saja kutepis cara pikir itu. Kenapa? Pertama, kenyataannya adalah aku tak bisa mengulang lagi waktu. Bahkan dua detik yang lalu sekali pun. Kedua, itu sama saja aku mengingkari apa yang telah kupelajari tentang ‘berani berbuat, tanpa takut salah‘ tadi. Bukankah, pada dasarnya, hidup ini adalah proses?