Dia kerap disalin rupa sebagai dunia maya. Berseberangan dengan dunia nyata, Internet adalah jagat tak nyata. Namun, di dunia ini lah kini semakin banyak insan menapak. Terutama semasa wabah virus mencengkeram dunia nyata itu sendiri.
Kita semestinya berada di rumah demi menghindari tulah ini menghinggapi raga banyak insan. Tetapi otak kita sudah terbiasa dalam ragam kegiatan. Belajar, bekerja, belanja hingga bincang dari yang berbobot sampai ngawur. Maka, ke sana (Internet), lalu kita sepenuhnya memindahkan aktivitas tadi.
Sungguh menarik kala ada ujaran, akankah kita bisa sepenuhnya kembali ke cara lama usai pandemi ini? Bagaimana rupa adab sekolah tanpa saling bertemu sapa secara nyata? Demikian juga dalam lingkungan kerja, atau bahkan hingga ibadah.
Manusia adalah mahluk yang cenderung beradaptasi dengan perubahan. Sebenarnya jejak menghidupi dunia maya itu sudah tampak, walau masih samar-samar. Dan kita memandangnya di tingkatan kasta masyarakat atas atawa elite. Dan sekarang, covid-19 seperti sebuah genta yang dihentak keras-keras untuk lekas memulainya.
Dunia maya, sebagaimana sering disebut-sebut, punya remah-remah yang agak menjijikkan. Yaitu, keraguan. Kita ragu apakah yang tersaji di depan kita adalah karya nan jujur. Kita tak sepenuhnya yakin wajah terpampang di layar bukanlah topeng di balik hati bengis.
Selain itu, lema ‘tanpa batas’ juga mengajarkan pikiran jadi rakus. Kita tak puas melahap sajian dengan porsi tertentu, sebagaimana didapati dalam buku atau media cetak. Otak kita tiada henti memindai dan menafsirkan rupa-rupa kabar di dunia maya itu.
Namun, demikian telah digariskan jalan zaman ini. Menolaknya serupa berjalan menentang arus sungai deras. Lagi pula manusia adalah mahluk pembelajar, sembari menekuni akan ditemukan kebijakan baru untuk mencegah kita semakin lumpuh. Tak baik lah kiranya menyalah-lahkan saja, meski sudah sering kita menatapi adegan itu. Bukankah sudah sebaiknya, untuk menyalakan lilin (terang).