MENEMUKAN DAN MERAWAT WARISAN TOLERANSI BERAGAMA


Paus Fransiskus telah mengadakan kunjungan bersejarah ke Uni Emirat Arab (UEA) pada 3 Februari 2019. Hal ini menjadi tonggak sejarah dalam dialog antaragama dan membuka pintu-pintu untuk pembicaraan tentang toleransi yang perlu didengar oleh seluruh dunia. Paus menegaskan bahwa “iman kepada Allah mempersatukan dan tidak memecah belah. Iman itu mendekatkan kita, kendatipun ada berbagai macam perbedaan, dan menjauhkan kita dari permusuhan dan kebencian.”

Selanjutnya, pada 4 Februari 2019 di Abu Dhabi Paus Fransiskus bersama Imam Besar Al-Azhar, Sheikh Ahmed el-Tayeb telah menandatangani “The Document on Human Fraternity for World Peace and Living Together.” Dokumen Abu Dhabi ini menjadi peta jalan yang sungguh berharga untuk membangun perdamaian dan menciptakan hidup harmonis di antara umat beragama, dan berisi beberapa pedoman yang harus disebarluaskan ke seluruh dunia. Paus Fransiskus mendesak agar dokumen ini disebarluaskan sampai ke akar rumput, kepada semua umat yang beriman kepada Allah.

Salah satu butir yang tertuang dalam dokumen ini adalah: butir: “Dialog, pemahaman dan promosi luas terhadap budaya toleransi, penerimaan sesama dan hidup bersama secara damai”. Majalah Menjemaat edisi Maret 2020, hendak menggali pemahaman/ penghayatan butir tersebut dari pengalaman lintas keyakinan sejumlah narasumber. Di antaranya dua Imam Katolik dan beberapa tokoh agama non-Katolik.

***

RP Alexander Silaen OFM Cap

Hidup saling bersinggungan dengan masyarakat non-Katolik pernah dialami RP. Alexander Silaen, OFM Cap dan RP. James Bharataputra, SJ. Walau berbeda tempat, keduanya memetik pelajaran berharga dalam karya di tengah penduduk beragama Muslim.

“Saya (menjalani) study Islamologi di Kairo Mesir dan Roma Italia. Di Kairo saya tinggal di lingkungan Islam tentu saja, walau memang interaksi dengan mereka tidak terlalu banyak karena keterbatasan bahasa dan juga kesibukan kampus. Namun demikian banyak hal yang saya dapat dengan berada bersama mereka, watak mereka, sensus religiosus mereka, bagaimana kota itu sunyi sampai dengan jam 10.00 kalau hari jumat tiba,” tutur Pastor Alex kepada Menjemaat via surel.

Namun, menurut Pastor Alex warga setempat sangat hormat dengan pendatang. “Saya tidak merasa takut atau terancam, kecuali hanya sekali. Pada waktu itu saya mau mengikuti HR. St. Fransiskus Assisi di salah satu paroki yang digembalakan oleh ordo OFM. Nah, saya dengan polosnya berjalan ke tempat perayaan, sekitar 1.5 KM dari kediamanku, dengan mengenakan jubah cokelatku yang pertama kali kupakai setelah 4 bulan di sana. Orang-orang pada melihatku dan sekelompok anak muda meneriaku aku hahaha jujur sempat takut aku,” katanya mengenang.

“Dosen saya hampir semua beragama Islam tetapi mereka baik-baik kepada kami. Dan bahkan mereka itu sering juga membahas dan menyatakan ketidak setujuan mereka dengan kelompok-kelompok Islam tertentu yang katakanlah fundamentalis.”

Sementara Pastor James mengaku, saat berkarya di Paroki Hati Kudus Banda Aceh (sekira tahun 1990) juga tidak mengalami tantangan berat. “Pada masa itu, Aceh tengah menjalani masa DOM. Kondisi ini, saya kira, membuat peluang terjadinya perlakuan intoleransi menjadi amat kecil,” ujarnya kepada Menjemaat, pada Kamis (6 Februari 2020).

“Saya senang mendapati sudah ada Yayasan Pendidikan Katolik (YPK) Budi Dharma di Banda Aceh. Sehingga tugas berikutnya, saya tinggal mengembangkan cakupan pelayanan dari TK ke SD, SMP hingga SMA,” katanya.

Dalam pandangan Pastor James, pemerintah Aceh mendukung pelayanan pendidikan di sekolah ini, malah mengirim guru subsidi. “Salah satunya seorang bapak yang baik, bernama pak Yusuf. Tanggapan baik tersebut lahir karena mereka memahami lembaga pendidikan tidak membawa-bawa simbol agama. Akan tetapi, mereka tidak berkenan memasukkan anak-anaknya ke sekolah Katolik di Banda Aceh. Terkecuali, dari kalangan pendatang yang merantau atau dinas di Aceh. Meskipun beragama Muslim, mereka senang anak-anaknya memperoleh pendidikan berkualitas di sekolah kita.”

Memperhatikan ganjaran baik dari lembaga pendidikan ini, Pastor James kemudian berniat mengembangkannya di stasi-stasi. “Sebab saya perhatikan umat di stasi, tidak ada kegiatan nyata untuk menyatakan kesaksian iman mereka. Hanya sekedar ikut misa yang dipimpin seorang Imam, itu pun belum tentu sekali dalam sebulan, lalu kembali pulang ke rumah lakukan rutinitas rumah tangga.”

“Maka, saya pikirkan harus ada kegiatan yang melibatkan umatnya menunjukkan karya nyata gereja. Ini hanya bisa lewat pendidikan. Kalau buka klinik, tidak dikasih izin. Hal sama juga terjadi, ketika hendak buka layanan sosial lainnya. Lalu, saya mulai bersama-sama buka semacam tempat kursus atau les. Itu bermula ketika pesta perak stasi Takengon, pada tahun 1985. Saya utus guru subsidi dari Banda Aceh untuk membantu pengajaran. Kemudian, saya terus membujuk umat agar memasukkan anak-anak mereka. Akhirnya tempat kursus ini berkembang, dan menarik perhatian masyarakat Aceh di Takengon. Bahkan berkembang hingga diakui pemerintah ke tingkat SD, SMP dan SMA.”

Rektor Graha Maria Annai Velangkanni RP James Bharataputra SJ

Meneruskan Warisan Dokumen Abu Dhabi

Pastor James dengan jujur mengakui belum membaca Dokumen Abu Dhabi secara menyeluruh. “Hanya saja, melihat kembali jejak pengalaman sebelumnya, bahwa bagi seorang beriman, dialog tidak pernah ada masalah. Menurut saya, kehadiran kita di tengah mereka sudah menjadi kesaksian selaku umat Kristen. Bahwa kita bisa hidup bersama, tanpa saling mengganggu,” terang Imam Jesuit.

“Dengan membuka layanan pendidikan, kita bisa mendidik kaum muda dari latar belakang keyakinan berbeda. Mereka akan melihat dengan sudut pandang berbeda. Yakni, melihat gereja itu mendidik anak-anak mereka. Iman mereka tidak akan terganggu. Maka, kita tidak perlu menegaskan ciri khas Katolik. Apa yang kita berikan bermutu, tentu baik bagi kemanusiaan,” ucap Pastor yang kini melayani sebagai Rektor Graha Maria Annai Velangkanni di Medan.

Sementara bagi Pastor Alex, upaya dialog Gereja Katolik di KAM dengan keyakinan hendaknya dibenahi lebih baik lagi. “Saya katakan demikian berdasar pada hubungan antar-agama yang ada sekarang dan berdasar pada apa yang sudah dilakukan KAM selama ini. Yang namanya dialog antar-agama yang sesungguhnya dilakukan bersama atas kesadaran berdialog kan sesungguhnya belum ada? Belum ada langkah-langkah konkrit dan terencana untuk berdialog yang rancang dan dijalankan oleh umat KAM,” terang Imam Kapusini.

Menurutnya, “upaya” dialog yang sudah dilakukan KAM selama ini lebih pada aksidental saja, misal kalau ada event-event tertentu. “Seksi HAK sebagai corong KAM dalam hal ini, sejauh saya lihat program mereka tahun 2020 ini, sudah semakin menyasar agama-agama lain kendati sasaran utamanya masih lebih pada umat katolik sendiri, lingkup intern. Ke depan KAM harus berani membuat program yang menyentuh langsung umat yang non-katolik. Masih harus kerja keraslah.”

“Harapan saya sih, kita katolik harus pro-aktif untuk berbuat. Tidak ada alasan untuk tidak atau menunda karena Yesus datang membawa damai ke dunia ini dan Gereja kita semakin mendorong kita untuk menjalin toleransi ini,” tuturnya. “Paus kita Fransiskus sangat concern dengan hal ini. Langkah awal yang bisa kita lakukan adalah mendekati untuk menjalin relasi dengan sebanyak mungkin mereka yang terbuka bekerja sama untuk mewujudkan toleransi ini. Orang-orang yang belum terbuka dengan hal itu jangan disasar dulu dan jangan diperhitungkan sebagai penghalang.”

Dia melanjutkan, dalam membangun toleransi, kita harus mengenal terlebih dahulu agama-agama lain, karena kalau keinginan untuk mengenal saja tidak ada bagaimana mungkin ada keinginan untuk berdialog dan membina toleransi berdasarkan agama?

“Jadi saya berharap umat katolik itu terbuka mempelajari sedikit banyak tentang agama Islam sebagai langkah awal untuk membangun toleransi. Misalnya, andailah ada seorang muslim yang tidak suka dengan kita, atau menganggap kita tidak suka dengan mereka atau agama mereka, mungkin ketidaksukaan itu adalah titipan dari dari orang lain. Lalu saat kita berjumpa dengan dia, kita ungkapkan pengenalan atau kekaguman kita pada satu poin kecil saja dari iman atau agama mereka, pastilah pada saat itu dia akan menganggap kita teman, dia tidak akan memusuhi kita lagi karena kita menunjukkan pengenalan dan kepedulian kita kepada mereka. Sesimpel itu sebenarnya menjalin relasi dan membangun dialog,” katanya menerangkan.

Pemahaman tersebut, dia mengakui, telah diperoleh semasa mengenyam pendidikan Arabic and Islamic Studies di P.I.S.A.I, Roma, Italy. “Belajar di PISAI memberikan kepada saya panorama umum dan lengkap tentang Islam. Tentu yang pertama Bahasa Arab. PISAI meletakkan dasar metode belajarnya kepada bahasa, berprinsip bahwa tidak mungkin mempelajari dan mengenal Islam dengan baik tanpa mengenal bahasa Arab. Maka memang sekolah kami sangat menekankan faham yang baik akan bahasa tersebut.”

 

Tanggapan Tokoh Lintas Keyakina Perihal Toleransi Beragama

  • Tokoh Umat Muslim, Din Syamsuddin

Din Syamsuddin menyambut baik pembahasan tentang toleransi ini dan menganggapnya sebagai pilar kehidupan dunia yang majemuk. Menurut Din, pengembangan kemajemukan menuntut beberapa prasyarat, antara lain (a) pengakuan akan kemajemukan, (b) kesediaan untuk hidup berdampingan secara damai, (c) toleransi, dan (d) kerja sama.

Toleransi, lanjut Din, adalah sikap dan pandangan mengakui bahwa di antara anasir masyarakat majemuk ada persamaan dan ada perbedaan. “Toleransi adalah menghargai perbedaan disertai tenggang rasa terhadap perbedaan itu,” kata seperti dikutip dalam rilis yang diterima Republika.co.id, Selasa (10/12).

“Jadi unsur jalan tengah yang pemahamannya, pengertiannya sama dengan agama lain. Toleransi lebih kepada menerima perbedaan, bahkan dianggap sebagai sunatullah hukum, kemajemukan,” kata Din Syamsuddin.

“Dalam Islam ada ungkapan ‘lakum dinukum waliyadin‘. Tapi itu sering dipahami secara pasif, bagimu agamamu, bagiku agamaku. Kalau pemahaman aktif, (maknanya) kalaupun kita beda, namun harus sama-sama kita hargai, kita sama-sama makhluk ciptaan Tuhan,”ujar Tokoh PP Muhammadiyah.

Konferensi tentang toleransi di Abu Dhabi, menurut Ketua Dewan Pertimbangan MUI ini, membawa pesan kuat dan relevan dengan bangsa Indonesia yang memiliki kemajemukan. “Untuk menjaga keutuhan, kerukunan, dan persatuan maka toleransi merupakan prasyarat mutlak. Dengan demikian, toleransi bukan sekedar kemungkinan, tapi adalah keniscayaan,” ujarnya.

Namun, Din  mengingatkan, agar tidak ada satu kelompok yang mudah mengklaim paling toleran dan kelompok lain intoleran.”Klaim sepihak yang bersifat subyektif seperti itu justeru akan merusak iklim toleransi yang ada,” tuturnya.

 

  • Pendeta GBKP, Miron Yedija Sitepu

Pendeta di Gereja Batak Karo Protestan, Pdt. Miron Yedija Sitepu mengatakan, gereja GBKP memiliki tata gereja dan juga doktrin-doktrinnya. “Gereja GBKP itu bersikap netral kepada agama-agama lain maupun politik. Kemudian sangat diharuskan menjalin keterbukaan, baik di masyarakat, khususnya antar agama maupun antar gereja,” ungkap ayah dari satu anak ini kepada Menjemaat, Jumat (21 Februari 2020) melalui wawancara ponsel.

“Gereja GBKP terus diupayakan menjalin silaturahmi, dengan menghadiri setiap ada acara-acara dan perayaan-perayaan besar keagamaan. Apabila ada yang mau memeluk agama Kristen selalu diminta Surat Pernyataannya agar apabila dikemudian hari ada pihak-pihak yang keberatan gereja tidak diberatkan,” tutur Pendeta yang kini melayani di gereja GBKP Putaran Kabanjahe Kecamatan Tiga Panah.

“Bila terjadi situasi konflik antar umat beragama, secara pribadi menurut saya hal ini sangat memprihatinkan. Kalau terjadi masalah yang serius kearah persoalan antar umat beragama biasanya kami serahkan kepada pihak yang berwenang.”

Dia mengatakan, pihaknya kerap dilibatkan dalam musyawarah desa. Khususnya, dalam perayaan-perayaan besar keagamaan terjalin saling menghormati. “Semisal, waktu Natal bersama selalu mengundang agama lain termasuk agama muslim. Begitupun sebaliknya kalau muslim perayaan kurban mereka mengundang agama non muslim,” kata suami Helen br Ginting.

 

  • Tokoh agama Buddha, Bhikku Dhirapuñño

 “Bagi saya, berbicara tentang toleransi di Sumatera Utara adalah hal yang cukup menarik dan dapat menjadi salah satu contoh bagi umat beragama di daerah lain. Wilayah Sumatera Utara terdiri dari berbagai etnis, agama dan kebudayaan yang berbeda-beda, namun sejauh ini sikap menghargai antar umat beragama tergolong masih baik,” terang Y.M. Bhikkhu Dhirapuñño

Namun, dia menambahkan, perkembangan teknologi informasi juga menjadikan masyarakat dengan mudahnya mengakses kabar berita yang beredar baik itu kabar berita yang berdasarkan fakta maupun hoax (berita bohong) dan kemudian menjadi awal berkembangnya kelompok-kelompok yang mulai saling membenci hanya karena mempercayai berita-berita bohong. “Hal ini juga disebabkan karena kurangnya pemahaman dalam penggunaan teknologi informasi secara baik dan benar.”

“Berkenaan dengan gerakan-gerakan toleransi, hal sederhana yang telah kami jalani di Sumatera Utara terutama di kota Medan dan sekitarnya selama beberapa tahun belakangan ini adalah KOPI TOLERANSI. KOPI TOLERANSI merupakan salah satu upaya sederhana, dimana anak muda dari berbagai latar belakang agama, etnis dan budaya yang berbeda-beda berkumpul untuk saling mengenal, berdiskusi dan belajar bersama. Kegiatan yang dikemas dengan tema millennial ini umumnya mengambil lokasi di café maupun tempat ngopi bersama dengan suasana yang kental akan rasa kekeluargaan.”

Menurut Bhikku Dhira Dhirapuñño, amat dibutuhkan kesadaran untuk menumbuhkan toleransi beragama. “Jika kita semua mau menyadari, saya kira tidak akan terlalu sulit untuk membentuk diri. Menyadari bagaimana agar diri kita bisa nyaman dalam hidup ini, maka kerukunan dan toleransi dengan mudah kita rasakan. Mengapa begitu? Sebab zaman telah menjalani webur walaupun beribu pulau, banyak suku, bahasa, adat, agama, kepercayaan yang majemuk, sejarah dengan jelas mencatat bahwa bangsa Indonesia mampu hidup rukun, damai, harmonis dan bersatu, belum lagi ditambah dengan budayanya yang beragam. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai budayanya.”

 

(Editor: Ananta Bangun | Reporter: Sr. Dionisia Marbun, SCMM, Rina Barus, Jansudin Saragih & Ananta Bangun)

One thought on “MENEMUKAN DAN MERAWAT WARISAN TOLERANSI BERAGAMA

  1. JIPS KELANTAN says:

    Assalamualaikum & Selamat Pagi, Mohon Kunjungi Blog Kami Untuk Mendapat Maklumat Tentang Al-Quran Mendahului Sains Dan Lebih 70 Blog Gerbang Ilmu Agama Terbaik :
    10 PERKARA YANG ALLAH SWT SEMBUNYIKAN
    https://jipskelantan88695409.wordpress.com/2020/09/06/10-perkara-yang-allah-swt-sembunyikan/
    Sama2 Kita Berkongsi Pahala Jariah Dengan Menyebarkan Bahan2 Agama Yang Bermanfaat, Mohon Para Sahabat Follow Blog Kami Dan Beri Pandangan Berguna, Terima Kasih.

    Like

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.