Artikel untuk Materi Presentasi
dalam Literasi Komunikasi Sosial di Paroki St. Yoseph – Tebing Tinggi
Tebing Tinggi, 23 Juni 2019
Pendahuluan
Perkenankan saya memperkenalkan diri. Nama saya, Ananta Bangun. Seorang penulis dan pegawai di Komisi Komunikasi Sosial (KomSos) – Keuskupan Agung Medan. Saya beroleh kesempatan untuk menyampaikan materi ini melalui pihak Paroki Tebing Tinggi dan panitia, yakni Romo Evo OSC.
Suatu kehormatan bisa terlibat sebagai pemateri dalam kegiatan literasi di Paroki Tebing Tinggi ini. Sebab, perihal komunikasi menjadi bagian karya kami.
Melalui perbincangan via Whatsapp dengan Romo Evo, saya mendapati bahwa topik yang hendak dikaji ialah mengenai pemanfaatan media sosial bagi kalangan Orang Muda Katolik di Paroki Tebing Tinggi. Saya coba berbagi seturut pengetahuan dan pengalaman karya di Komsos KAM.
Inter Mirifica & Hari Komunikasi Sosial Sedunia
Sebelum memusatkan perhatian berkenaan tentang ‘etika berkomunikasi di dunia maya’, amat baik menelusur sejenak sejarah Komunikasi Sosial melalui Dekrit Inter Mirifica.
Inter Mirifica atau Dekrit tentang Upaya-Upaya Komunikasi Sosial adalah salah satu Dekrit dari Konsili Vatikan Kedua. Sebagaimana umumnya dokumen-dokumen Katolik, judul Dekrit ini diambil dari baris pertama dokumen, Inter Mirifica (dalam Bahasa Inggris, “Among the Wonderful”) atau “Di Antara yang Mengagumkan” (dalam Bahasa Indonesia, terjemahan awal baris ini adalah “DI ANTARA penemuan-penemuan teknologi yang MENGAGUMKAN, …”).
Istilah “Komunikasi Sosial”, terlepas dari kegunaan umumnya, telah menjadi suatu istilah yang sering digunakan dalam dokumen-dokumen Gereja Katolik untuk media massa. Sebagai suatu istilah, “Komunikasi Sosial” memiliki keuntungan karena konotasinya yang luas, di mana seluruh komunikasi adalah bersifat sosial.
Mungkin hanya sebagian kecil saja dari rohaniwan, biarawan-wati dan umat yang tahu dan pernah membaca dekrit itu. Biasanya yang kita dengar atau yang dibacakan setiap tahun pada Hari Komunikasi Sosial se-Dunia adalah Surat Gembala Paus atau Uskup. Sampai tahun 2019 sudah ada 53 surat gembala dari Bapa Paus tentang Hari Komunikasi Sosial dengan tema yang berbeda-beda. Terkini, Paus Fransiskus menyerukan Surat Gembala “Kita Adalah Sesama Anggota (Ef 4:25), Berawal Dari Komunitas Jejaring Sosial Menuju Komunitas Insani”, pada 24 Januari 2018, yakni di hari peringatan wajib St. Fransiskus de Sales, Santo pelindung Komsos.
Inter Mirifica membatasi diri pada upaya-upaya komunikasi sosial. Di antara penemuan-penemuan itu yang paling menonjol ialah upaya-upaya, yang pada hakikatnya mampu mencapai dan menggerakkan bukan hanya orang perorangan, melainkan juga massa, bahkan seluruh umat manusia; misalnya: media cetak, sinema, radio, televisi dan sebagainya, yang karena itu memang tepatlah disebut media komunikasi sosial.
Gereja menyadari bahwa media komunikasi sosial dapat bermanfaat untuk mewartakan kabar gembira, terutama bila digunakan secara tepat. Namun Gereja juga cemas apabila manusia cenderung menyalahgunakannya. Media berwajah ganda. Konsili mendukung sepenuhnya perhatian dan kewaspadaan Paus dan Uskup dalam perkara yang penting ini. Sekaligus percaya bahwa ajarannya akan berguna tidak hanya bagi umat Katolik, tetapi bagi masyarakat umum.
Dekrit ini mendorong semua putera dan puteri Gereja perlu memanfaatkan secara efektif media komunikasi sosial dalam aneka karya kerasulan. Para gembala perlu menggunakan media ini untuk pewartaan Injil. Para awam diminta memberi kesaksian tentang Kristus melalui media dan menyumbangkan jasa-jasa mereka di bidang teknis, ekonomi, kebudayaan dan kesenian bagi kegiatan pastoral Gereja.
Media adalah Pesan
Ada satu risalah yang kerap dijadikan acuan kala membahas media komunikasi — meskipun sudah sangat lawas/ lama, yakni “Understanding Media The extensions of man” karya Marshall McLuhan.
Salah satu bagian risalah tersebut yang kerap dikutip : ‘The Medium is the Message’ atau bisa diterjemahkan ‘Media adalah Pesan’. Untuk memahaminya, kita perhatikan ‘penemuan bola lampu’ sebagai contoh. Sebelum bohlam ditemukan, manusia terbiasa tidur pada saat malam hari nan gelap. Namun, habitus tersebut berubah drastis, pasca bola lampu digunakan secara luas. Banyak orang tetap melakukan kegiatan di malam hingga subuh.
Dampak senada juga dapat ditemukan pada media internet. Paus Fransiskus pernah mengatakan bahwa internet merupakan karunia zaman. Berkat internet, manusia di seluruh dunia bisa terhubung dengan mudah, cepat, dan hemat. Berkat internet, limpahan pengetahuan juga tersaji banyak untuk kita ambil.
Internet, sebagaimana penemuan lampu, juga telah mengubah hidup manusia. Secara khusus perubahan tersebut paling dirasakan dalam segi berkomunikasi dan mengolah informasi. Sebagaimana sisi mata uang, keunggulan internet serta perubahan yang dibawanya memiliki sisi baik dan buruk.
Tadi (dalam halaman ke-2) telah disebut bahwa pastoral Komsos dicanangkan karena Gereja cemas manusia menyalahgunakan media. Tidak bisa dipungkiri bahwa teori “Komunikasi adalah tindak menyampaikan pesan” telah berkembang menjadi “Komunikasi adalah tindakan mempengaruhi”. Tujuan tersebut sangat tampak dalam khasanah ‘bisnis’ dan ‘politik praktis’.
Kecemasan Gereja bukan mengada-ada. Tindakan mempengaruhi via hoax (berita palsu) dan hate speech (ujaran kebencian) bahkan menjadi ‘kue’ bisnis, seperti terungkapnya Saracen. Kita pun mendapati bahwa kedua teknik (hoax & hate speech) juga digunakan dalam gerakan radikalisasi. Secara umum, teknik tersebut berhasil karena kebanyakan pengguna Internet (khususnya media sosial) Indonesia masih gagap. Ini disebabkan ada lompatan besar dari budaya tutur/ lisan ke budaya chatting (bincang) dan sharing (asal sebar), tanpa membudayakan kebiasaan membaca penuh pemahaman (reading comprehensive).
Jika kita cermat membaca di Alkitab, hoax sebenarnya telah lama terjadi di masa silam. Perhatikan, kisah Yusuf yang dituduh memperkosa Istri Potifar. Bahkan, Imam-Imam Kepala yang menuduh Yesus telah menghujat Allah. Kini, siasat menyebarkan berita palsu menyalahgunakan media komunikasi seperti Internet. Perlu juga diketahui bahwa Gereja Katolik di Indonesia pernah juga menjadi sasaran hoax.

Misalnya, selama bulan Oktober 2016, nama Uskup Agung Jakarta sekaligus Ketua Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Mgr. Ignatius Suharyo beredar viral di pesan Whatsapp dan Blackberry Messenger, bahkan menghiasi media sosial Facebook. Di mana, Mgr. Suharyo diisukan telah diangkat Kardina oleh Paus Fransiskus. Nyatanya, berita itu hanyalah hoax.
Kita mungkin pernah bertanya: mengapa hoax bisa muncul di Internet?
Berbeda dengan prosedur kerja jurnalis — yang melewati koreksi/ verifikasi pewartaan informasi menurut hirarki reporter – redaktur – hingga pemimpin redaksi — pewartaan informasi atau pendapat di oleh pengguna media sosial hampir tidak ada tindakan koreksi dari pihak ke-dua. Sehingga kemungkinan informasi tersebut menjadi hoax sangat besar. Terutama saat hendak berbagi (sharing) informasi yang dibuat pengguna media sosial lainnya. Sebagai misal, coba perhatikan cuplikan video Merry Riana ini. [kuncinya adalah tonton hingga habis/ adegan terakhir]
Sebagai konsumen informasi di media sosial, sungguh baik memiliki keterampilan mengidentifikasi hoax. Berikut ciri-ciri berita palsu:
- Menciptakan kecemasan, kebencian, permusuhan, dll
- Sumber tidak jelas, dan tidak ada yang bisa dimintai tanggung jawab atau klarifikasi
- Pesan sepihak, menyerang, dan tidak netral atau berat sebelah
- Mencatut nama tokoh berpengaruh atau pakai nama mirip nama media terkenal
- Memanfaatkan fanatisme atas nama ideologi, agama, suara rakyat
- Memberi penjulukan (name calling)
- Judul dan pengantarnya provokatif dan tidak cocok dengan isinya
- Minta supaya dishare atau diviralkan
- Menggunakan ar gumen dan data yang sangat teknis supaya nampak ilmiah dan dipercaya
- Manipulasi foto dan keterangannya
- Artikel yang ditulis biasanya menyembunyikan fakta dan data serta memelintir pernyataan narasumbernya
- Ditulis oleh media yang tidak jelas alamat dan susunan redaksinya
Nasihat Praktis: OMK Bijak Menggunakan Media Sosial
Setiap orang perlu menyadari bahwa jejaring sosial di dunia maya bukanlah ruang privat/ pribadi, melainkan ruang publik. Ruang ini ditata oleh kode etik dan aturan. Di antaranya UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. UU ITE ini sendiri telah direvisi dan diperbarui dengan terbitnya UU No. 19 tahun 2016.
Internet tak bisa dilepaskan dari gaya hidup anak muda zaman sekarang. Menurut survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2017, sebanyak 49,52 persen pengguna internet di Tanah Air adalah mereka yang berusia 19 hingga 34 tahun.
Dari suvei tersebut, bisa disimpulkan bahwa kawula muda perlu memahami kiat bijak menggunakan media sosial. Ini agar mereka bisa nyaman dan aman selama menggunakan layanan internet tersebut.
Sejak adanya internet, Gereja selalu berupaya mendorong pemanfaatannya untuk melayani perjumpaan dan membangun solidaritas antar pribadi. Tantangannya adalah, mendorong orang untuk menemukan kembali hasrat terdalam pribadinya yang tidak ingin terpuruk dalam kesendirian.
Permasalahan hoax telah mendorong perhatian Gereja Katolik. Sebagaimana kita dapati dalam pesan Paus Fransiskus di Hari Komunikasi Sosial Sedunia tahun 2018, mengangkat tema: “Kebenaran itu akan Memerdekakan Kamu” (Yoh 8:32) Berita Palsu dan Jurnalisme Perdamaian”.
Paus Fransiskus, dalam surat gembala Hari Komsos Sedunia tersebut, menilai hoax amat efektif, terutama karena mampu mengelabui seolah-oleh berita yang benar dan masuk akal. “Kita semua tanpa kecuali bertanggungjawab menangkal berita palsu. Ini bukan tugas gampang, karena informasi sesat berakar pada retorika menyesatkan yang dengan sengaja dibuat sedemikian ringkas dan kadang-kadang memanfaatkan mekanisme psikologis yang mengelabui,” demikian disampaikan Paus.
Menurut saya, Dekrit Inter Mirifica, Pesan Paus Fransiskus dalam Hari Komunikasi Sosial Sedunia serta buku “Pedoman Penggunaan Media Sosial” adalah rujukan yang baik untuk nasihat praktis ‘Bagaimana sebaiknya saya selaku umat Katolik memberdayakan media sosial?’ (Terlalu sempit jika dipaparkan dalam satu materi ini)
Uskup Agung Jakarta, Mgr. I. Suharyo mengatakan, seluruh pemangku Gereja hendaknya turut berperan dalam ranah Internet (termasuk media sosial). “Media sosial merupakan pembaruan bentuk saja, mengikut perkembangan zaman; tidak untuk ditolak, melainkan untuk dikelola secara bijak,” sebagaimana ditulis Mgr. Suharyo dalam buku “Pedoman Penggunaan Media Sosial” oleh Tim Komsos KWI.
Dalam kegiatan ini, saya senang hati untuk berbagi sebuah karya pastoral dalam komunikasi: menulis. Yang saya maksud ‘menulis’ adalah menyebarkan pewartaan Allah melalui tulisan. Mengapa tulisan masih tetap berdaya kuat dalam pewartaan? Jawaban paling lugas adalah Alkitab. Coba kita bayangkan bagaimana jadinya pewartaan sabda Allah jika disampaikan secara lisan sejak zaman dahulu kala.
Walaupun Alkitab telah rampung dituliskan, namun menuliskan kesaksian atau sekedar menyebarkan peneguh iman dari firman Allah di dalam kitab suci masih sangat relevan. Bahkan, media Internet justru semakin memudahkan upaya tersebut. Kita bisa memanfaatkan Facebook, Blog (seperti Blogspot dan WordPress), bahkan Instagram dan Twitter (dengan jumlah teks tertentu). Semua media tersebut gratis digunakan dan tidak berbatas waktu.
Mari tuliskan kesaksian, pelayanan Gereja hingga sabda Allah paling mengena dalam sanubari hati. Kita hendaknya mengimbangi jumlah berita palsu dengan berita perdamaian di dunia maya. Sebagaimana Yesus yang mewartakan Kerajaan Allah di tempat orang ramai berkumpul.
Saya teringat pada sebuah ilustrasi, karakter “Lalat vs. Lebah”. Lalat, sebagaimana kita tahu adalah hewan yang senang mencari tempat kotor dan sarat penyakit, juga sering menyebarkan penyakit tersebut dengan hinggap di sembarang tempat. Sementara lebah adalah hewan yang senang mencari bunga-bunga harum dan menyerap sari tanaman untuk menjadi madu. Salah satu makanan yang kaya gizi bagi mahluk hidup.
‘Pergilah, Kamu Diutus.’ ‘Amin.’
Penggalan kalimat di atas sering kita dengar sebelum mengakhiri perayaan Ekaristi. Dalam arti, pewartaan Kerajaan Allah belum lah usai. Dan, tentu saja, bukan hanya tugas kaum biarawan/ biarawati. Kita semua dipangggil untuk menjalankan peran tersebut, dapat dilakukan dengan menyebarkan berita perdamaian melalui dunia maya. Jika belum tahu, kita dapat saling berbagi pengetahuan dengan diskusi atau pelatihan.
Terima kasih untuk rahmat Allah, sehingga artikel ini dapat rampung dituliskan. Dan juga dukungan dari Paroki St. Yoseph – Tebing Tinggi, Panitia dan keluarga. Kiranya Tuhan selalu mencurahkan berkat-Nya dalam pastoral komunikasi sosial ini. Amin.

Ananta Bangun
Penulis/ pegawai Komisi Komsos KAM
e-mail: anantabangun@gmail.com
blog: anantabangun.wordpress.com
Paper artikel ini bisa diunduh di sini.
File presentasi bisa diunduh di sini.