
Berngap Sinuhaji adalah pegawai di Rumah Doa Jericho dan juga dipercaya sebagai Ketua Dewan Pastoral Stasi Rambung Baru (Paroki Bandar Baru). Dalam kolom ini, dia mengisahkan tantangan yang hampir menggoncang imannya dan sang Istri, Inganta br Keliat. Berikut penuturannya kepada Menjemaat pada Senin (13 Mei).
***
Kami menikah pada 18 Agustus 1994. Sebagaimana pasangan suami istri lainnya, kami juga merindukan kehadiran anak di tengah bahtera keluarga baru ini. Namun hingga tahun ke-empat pernikahan, kami belum juga beroleh karunia tersebut. Segala cara sudah kami tempuh, bahkan ke tempat perobatan yang tak selaras iman Katolik.
Saat itu saya sudah bekerja di Rumah Doa Jericho – Bingkawan. Salah satu penanggungjawab rumah doa ini, Sr. Aloysia membantu kami agar diperiksa oleh dr. J.S. Kolman. Selama masa perobatan, karena ditemani Suster, dokter tidak pernah mengenakan biaya. Kami hanya memberi hasil pertanian dari ladang sebagai ganti.
Pada suatu hari, Istri saya dibawa menjalani operasi pengangkatan kista di RS Elisabeth Medan. Tapi operasi pengangkatan kista tersebut tidak memberikan hasil positif. Bahkan, dokter Kolman sampai menyarankan kami untuk mencoba bayi tabung.
Kemudian saya konsultasi dengan Pastor Corrado OFM Conv. (Parochus Paroki Bandar Baru masa itu). Dia menasehati agar saya tidak menempuh cara itu. “Tuhan pasti tunjukkan jalan,” ucapnya memberi peneguhan, seraya menitipkan firman Allah dari nats Kitab Surat Yakobus.
Selama delapan tahun kemudian, kami berdua sillih berganti menjalani perobatan kampung maupun medis. Suatu hari, kami mendapat informasi bahwa ada seorang pastor di Paroki Tigabinanga yang bisa membantu masalah seperti kami alami. Saya lupa namanya. Dalam satu kesempatan, saya menelepon pastor tersebut untuk memohon bantuan. Dia hanya menganjurkan agar kami – suami istri – berdoa novena.
Kami pun tekadkan untuk berdoa novena selama 40 malam, tidak sembilan. Dalam perjalanan waktu, kadang saya sendiri berdoa sebab Istri tak kuasa menahan kantuk. Kadang saya berlinang air mata saat berdoa sendiri saja.
***
Setelah kami menuntaskan Doa Novena 40 malam, keesokan harinya kakak saya dari Pulau Kampe (daerah provinsi Aceh) datang ke tempat tinggal kami di Kampung Keci-keci (Stasi Bingkawan, terletak di atas Rumah Doa Jericho). Dia mengajak agar kami lekas ikut dia ke tempat tinggalnya, sebab ada orang yang bisa membantu masalah kami.
Awalnya saya ragu. “Ah, tidak usah lah,” jawab saya. Namun, kakak tidak menyerah membujuk, dan kami pun luluh. Kami terpaksa membawa surat pengantar, karena pas peristiwa GAM. Kebetulan yang membuat obat tersebut adalah komandan Brimob di sana. “Mudah-mudahan, dalam masa tiga bulan sudah ada hasil,” katanya.
Setelah tiga bulan masa perobatan, dia menyarankan agar kembali dokter. Dokter pun kemudian bingung, ketika mendapati bahwa ibu telah mengandung. “Sudah positif,” katanya.
Namun, ‘pukulan’ penderitaan belum juga berakhir. Putra pertama (Mario Romanta Sinuhaji) kami lahir dan hidup di dunia hanya hingga usia satu setengah bulan. Dia kembali ke pangkuan Bapa. Dalam masa pencobaan berat ini, saya merasa dikuatkan firman Allah dalam Kitab Surat Yakobus, yang pernah dititipkan mendiang Pastor Corrado. Sementara Istri hanya bersungut-sungut. “Inikah balasan atas usaha kita selama ini,” kerap diucapkannya.
Selepas masa duka, Istri mengusulkan agar kami pindah dari kampung Keci-keci. Kami pindah ke Rambung Baru (Stasi Rambung Baru) pada Maret 2003. Di tempat baru ini lah, kemudian lahir anak kami Bastanta (tahun 2004) serta kedua adiknya. Kini kami sudah dikaruniai tiga anak. Dua laki-laki dan satu perempuan.
Perjuangan dan iman sungguh mewarnai kehidupan keluarga kami. Ini membuat saya sungguh bersyukur bila dipercaya turut menjadi pengurus Gereja. Saya takut menolak, sebab telah banyak karunia yang kami peroleh. Itu sering menguatkan saya, sebagai Kepala Keluarga, pekerja di Rumah Doa Jericho dan juga Pengurus Gereja.
Sebagaimana dituturkan kepada Menjemaat (Ananta Bangun)