
“OFMCap” tertera di dua harian lingkup Sumatera Utara, Analisa dan Sinar Indonesia Baru. Embel-embel dari Ordo Saudara Dina Kapusin tersebut menjadi pembahasan menarik di sejumlah media sosial. Perkaranya, singkatan nama ordo tersebut disematkan pada rohaniwan yang bukan Imam Kapusin. Terlebih, pada tokoh nasional seperti Ketua Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Mgr. Ignasius Suharyo.
Jika si reporter dari kedua harian tersebut bukan umat dari Gereja Katolik, mungkin patut dimaklumi kekeliruan seperti ini bisa terjadi. Namun, dari pengalaman penulis sendiri, dari kalangan umat Katolik sendiri juga belum semua mafhum akan khasanah Gereja-nya.
Satu pengalaman unik tatkala meliput KAM Youth Day di Pangururan – Samosir. Ketika sedang asyik berbincang, seorang OMK berujar: “Nah, itu Uskup sudah datang!”. Ketika aku ikut melirik ternyata yang dimaksud adalah Vikep Pangururan, RP. Nelson Sitanggang, OFMCap (kalau yang ini memang benar Imam Kapusin. Hehehehe). Mungkin si OMK mengira setiap Imam yang pakai sabuk merah jambu sudah pasti seorang Uskup.
Dalam catatan ini, ada dua nilai patut mendapat perhatian: “Literasi Gereja Katolik” dan “Verifikasi”. Media pewartaan Gereja Katolik sangat baik ikut menyisipkan pengetahuan mengenai khasanah gereja. Semisal, hirarki hingga tradisi dalam Gereja Katolik. Semakin banyak informasi ini disebar — baik di media cetak, elektronik hingga online — maka semakin besar kemungkinan Literasi Gereja Katolik diterima masyarakat.
Secara khusus pewartaan di media online atau daring, informasi dalam media ini akan memudahkan banyak insan untuk menelusur saat ingin verifikasi informasi terkait Gereja Katolik. Bila saja reporter SIB menelusur nama “Ignasius Suharyo” di salah satu mesin pencari (seperti Google), kemungkinan besar dia bisa memuat nama dan gelar Uskup Agung Jakarta tersebut dengan benar.


Dalam jurnalistik, ‘verifikasi’ adalah ritual yang penting. Sebab seorang peliput sangat rentan menerima informasi keliru. Jurnalis senior Tempo, Bagja Hidaya menjelaskan dalam satu tulisan bahwa kelalaian memverifikasi, yang membuat keliru menanggapi kasus Ratna S.
Cek dan ricek memang berat. Terutama bagi media yang berlomba memberi berita terbaru. Di media online kekeliruan tersebut memang bisa dikoreksi dengan cepat, cukup melalui laman web admin. Sementara media cetak dan elektronik perlu memberi halaman/ siaran ralat pada edisi berikutnya. Namun, terlalu sering meralat juga melunturkan kepercayaan publik.
//// tulisan ini merupakan pendapat pribadi