
Tulisan ini disunting dari hasil praktik kelompok pada Training Menulis Fakta bagi Redaksi Ralinggungi beberapa waktu lalu di Kabanjahe. Beberapa kutambahkan dari saat wawancara dengan bapa Betlehem Ketaren untuk media majalah online Lentera. Kiranya tulisan ini bisa menjadi rujukan saat kelak ada niat untuk membuat sebuah buku kenangan ataupun rupa kegiatan mulia serupa.
***
Pewartaan via media di Keuskupan Agung Medan tidak melulu berbasis bahasa Indonesia. Kerinduan akan bahasa daerah, juga menghadirkan media pewartaan dengan bahasa daerah. Beberapa di antaranya adalah: majalah Parbarita (bahasa Batak Toba) dan majalah Ralinggungi (bahasa Karo). Kedua majalah ini tersebar, baik di dalam hingga luar lingkup KAM, menyasar para umat yang akrab dengan bahasa daerah tersebut.
Pada 2007, Ralinggungi mulanya dirintis sebagai warta Paroki St. Fransiskus Assisi – Berastagi yang digarap oleh umat setempat, Betlehem Ketaren bersama seorang Frater Topper (kala itu), Fr. Paulus Silalahi OFM Cap.
Betlehem mengaku, mulai ‘larut’ dalam dunia media saat sejumlah karya tulisnya mulai dimuat beberapa tabloid/ majalah setempat. “Sebelum di Ralinggungi, saya ada menulis di majalah daerah seperti Sora Sirulo dan juga majalah Budaya Karo.Saya lihat hampir setiap tulisan yang saya kirim tidak banyak yang dikoreksi, wah bisa juga ini. Sehingga memunculkan semangat saya. Hehehehe.”
Pengalaman-pengalaman tersebut mendorong Betlehem untuk menggagas sebuah media cetak khusus bagi umat Paroki Brastagi. “Ketika itu ada Frater Paulus Silalahi OFM Cap (kini Pastor Rekan di Paroki Saribudolok) yang sedang menjalani masa TOP (Tahun Orientasi Pastoral) di paroki ini. Kami berdua mengusulkan pada Pastor Paroki (saat itu), RP Ignasius Simbolon OFM Cap, bagaimana jika kita membuat sebuah warta Paroki Brastagi. Usulan itu disambut baik dan hangat.”
“Saat rembug pemberian nama media pewartaan ini, saya mengusulkan dua ide: Aloling dan Alinggungi,” ujar Betlehem. “Para pengurus kemudian sepakat memilih Alinggungi, sebab termasuk suku kata bahasa Karo yang lebih tua dan jarang didengar. Dengan memilih kata Alinggungi ini, diharapkan bisa menjadi jalan untuk melestarikannya. Arti dari kata Ralinggungi itu sendiri adalah gema. Peran dari media juga adalah menggemakan atau mewartakan”
Sebagai media dengan karakter pewartaan gereja Katolik, majalah Ralinggungi mewartakan ajaran-ajaran pokok gereja. Konten tersebut umumnya berupa surat gembala dari Uskup Agung Medan, Mgr. Anicetus Sinaga OFMCap. Di samping itu, Ralinggungi juga menawarkan rubrik berupa tema liturgi tahunan serta liputan ragam peristiwa seputar gereja KAM.
Seiring waktu, lingkup majalah Ralinggungi kemudian meluas pada wilayah Kevikepan St. Yakobus Rasul – Kabanjahe. “Ini terjadi saat Pastor Ignasius diangkat menjadi Vikep Kabanjahe. Sehingga cakupan pembaca Ralinggungi masuk ke sembilan paroki di bawah Kevikepan Karo,” jelas Betlehem.

Jatuh Bangun
Sebagaimana riwayat media pada umumnya, majalah Ralinggungi juga mengalami jatuh bangun. Majalah berbahasa Karo ini juga pernah tidak terbit, tepatnya pada kisaran tahun 2014-2016. Senjakala tersebut disebabkan terganjalnya sirkulasi bahan tulisan dan dana. Hal ini juga memperlihatkan bahwa kesadaran dan minat umat masih sangat kurang terhadap keberadaan majalah ini.
“Selama periode majalah Ralinggungi tidak terbit banyak umat yang komplain maupun bersungut-sungut,” tutur Betlehem. “Puji Tuhan, ketika Pastor Karolus Sembiring OFM Cap menggantikan Pastor Ignas sebagai Vikep Karo, majalah kita ini pun semakin diperluas menjadi majalah Keuskupan Agung Medan berbahasa Karo.”
Vikep Yakobus Rasul – Kabanjahe, RP. Karolus Sembiring OFMCap dan didukung oleh Staf Redaksi kembali menghidupkan media ini. Cara yang ditempuh adalah memasukkan Majalah Ralinggungi ke dalam bagian Komisi Evangelisasi KAM. Kebetulan, Pastor Karolus merupakan Ketua Unit di komisi tersebut.
Dengan terobosan tersebut, Majalah Ralinggungi mendapat subsidi dari Keuskupan Agung Medan. Waktu subsidi ini berlaku sekitar lima tahun, dan setiap tahunnya dana subsidi dikurangi. Diharapkan bahwa setelah lima tahun disubsidi, Majalah Ralinggungi sudah bisa menjadi Majalah yang mandiri, artinya oplah cetak meningkat dari tahun ke tahun.
Kini, majalah Ralinggungi merupakan rutin terbit setiap bulan. Pada edisi pertama, majalah Ralinggungi awalnya dicetak sebanyak 500 exemplar. Seiring perjalanan waktu, jumlah eksemplar meningkat. Teranyar, oplah majalah ini sudah dicetak hingga 1.000 eksemplar. Majalah Ralinggungi sudah berhasil menggaet sebanyak 700 pelanggan tetap.

Harapan & Tantangan
Pastor Karolus teringat pernah juga melebur dalam media pewartaan gereja berbahasa Karo sebelumnya. Yakni majalah Ersada. “Di masa itu majalah Ersada (dalam bahasa Karo berarti: bersatu), dikelola oleh para Frater yang berasal dari Tanah Karo,” dia mengenang. “Namun majalah ini hanya terbit beberapa tahun saja. Hal ini disebabkan oleh jumlah frater yang berasal dari Tanah Karo yang minim. Di samping itu, minat dari para fraternya tidak selalu ada.”
Nah, bagaimana dengan Ralinggungi sendiri ke depannya?
Menurut Betlehem, harapan terbesar dari penerbitan majalah Ralinggungi dalam bahasa Karo agar masyarakat setempat bisa lebih mudah memahami tentang pewartaan yang ingin disampaikan.
“Sehingga bisa tercapai dua tujuan sekaligus yang merupakan visi Majalah Ralinggungi. Yakni: pertama, untuk menggemakan ajaran gereja Katolik ke tengah masyarakat. Dan kedua, sebagai bentuk inkulturasi gereja terhadap budaya budaya dan bahasa Karo,” ujar pria yang menjadi penerjemah buku Youcat ke dalam bahasa Karo.
Dia menyampaikan, komunitas umat Katolik – yang mayoritas berbahasa Karo – juga memberi apresiasi kepada Ralinggungi. “Media ini dinilai sangat penting sebagai media pewartaan, karena membantu para pengurus menambah wacana pemikiran, khotbah dan berkatekese dalam bahasa Karo.”
Hanya saja, Betlehem tidak menutupi bahwa kalangan umat anak muda kurang menaruh minat. “Mereka bilang, majalahnya kok berbahasa orang-orang tua,” katanya sembari tersenyum geli. Dari lontaran komentar itu, awak redaksi Ralinggungi tengah merencanakan edisi ke depan akan menyemat tanda kurung berisi terjemahan bahasa Indonesia bagi mereka. “Langkah ini tentu baik, agar menjaga generasi muda tidak meninggalkan budaya asalnya.”
Dia juga mengakui, Redaksi Ralinggungi kerap kewalahan memenuhi kuota tulisan maupun liputan untuk setiap edisi. “Tak dipungkiri bahwa Redaksi Ralinggungi membutuhkan partisipasi seluruh umat Katolik di KAM dan nasional untuk memenuhi jatah minimal penerbitan konten per bulannya,” imbuh ayah dari satu putri dan tiga putra.
Bila tertarik untuk berbagi wawasan maupun liputan, kata Betlehem, boleh bisa mengirim ke redaksi Majalah Ralinggungi via email ke: ralinggungi@yahoo.com & komisievangelisasikam@gmail.com. “Batas akhir pengiriman atau deadline adalah tanggal 20 setiap bulannya,” kata dia.
“Saya merindukan lebih banyak elemen-elemen yang sangat berkompeten untuk terlibat mengembangkan peran Ralinggungi,” katanya. “Tantangan paling utama, kita kekurangan personil yang memiliki hobi yang sama (menulis). Masalah itu ada karena memang banyak teman yang kurang hobi menulis.”
Dia teringat, Uskup Agung Medan, Mgr. Anicetus B. Sinaga OFM Cap pernah berkata: Perkembangan umat Katolik di KAM sungguh signifikan. Pertumbuhan mencapai seribu orang per tahunnya. “Beberapa di antaranya ada di Lawe Desky, Lau Baleng dan Deli Tua. Daerah ini masih mayoritas umat Katolik berbahasa Karo. Nah, tanpa pendekatan dan peneguhan yang terus-menerus ini bisa menjadi bumerang, mereka bisa saja ‘pindah ke lain hati.’ Di titik ini lah hendaknya media turut menampilkan perannya,” kata Betlehem menjelaskan.
(Tim Redaksi Ralinggungi)
