
Namaku adalah Mudain Harianja, suami dari Bunga Uli br Sidabutar. Aku kerap disapa Op. Nani, namun namaku kerap juga dikaitkan dengan usaha dagang roti yang kujalankan di Tuktuk, yakni Harianja Paroti (bapak Harianja penjual roti).
Menjemaat tertarik hendak menuliskan bagaimana kisah hingga aku berkenan menyumbang tanah tugu (milik keluarga) untuk areal pembangunan gedung baru Gereja Paroki St. Antonio Maria Claret Tomok Simanindo kini. Berikut saya tuturkan mula kisah tersebut.
Sejak muda saya sudah mulai melebur dalam kegiatan menggereja. Walaupun belum menikah, saya telah dipercaya memangku peran vorhanger di Stasi Tomok (sebelum pemekaran). Seingatku, saya adalah vorhanger ke-tiga, dan ada sekira 25 tahun lamanya saya menjabat peran tersebut.
Setelah lama dirindukan, pada 29 Oktober 2006, Tomok akhirnya ditingkatkan statusnya menjadi usai pemekaran dari Paroki Parapat. Pastor Sintus CMF, seorang Imam asal Flores, menjadi parochus pertama untuk paroki baru kami ini. Ketika mendapati tempat ibadah kami selama ini, Pastor Sintus menilai perlu memperluas areal hingga 18 atau 20 meter agar bisa menjadi gereja paroki.
Seluruh pengurus Gereja Paroki Tomok pun dengan semangat mencari areal tanah yang baru. Namun sayangnya beberapa kali gagal, karena sebagian besar penduduk setempat enggan menjual tanah keluarganya. Kabar perihal kegagalan ini, sebaliknya malah menyulut semangat umat di Stasi Ambarita dan Tuktuk untuk mendorong Pastor Paroki agar memindahkan lokasi Gereja Paroki dan Pastoran ke wilayah stasi mereka. Alasannya, mereka bisa menjamin areal tanah untuk kedua gedung tersebut.
Niat umat dari kedua stasi tersebut menimbulkan perdebatan. Saya dan pengurus Paroki Tomok bersikukuh bahwa Tomok adalah tempat yang lebih ideal untuk mendirikan Gereja Paroki dan Pastoran, sebab desa ini merupakan gerbang menuju Pulau Samosir jika bertolak dari Parapat. Saya bersyukur, Pastor Sintus menerima argumentasi itu. “Tomok adalah pintu gerbang ke pulau ini dari Parapat. Jadi, kenapa harus kita lupakan pintu gerbang ini?” katanya. Tetapi, Imam Klaresia tetap mengingatkan bahwa untuk berjalannya pastoral di Paroki, harus ada areal tanah yang cukup luas. Sementara tempat ibadah dan sarana pastoral yang saat itu, dianggap tidak bisa.

Aku Memberikan Tanah Tugu-ku
Proses pencarian areal tanah yang baru di Tomok kembali kami laksanakan. Namun, sebagaimana sebelumnya, hasil yang diperoleh tetap nihil. Karena tetap kesulitan membeli tanah untuk pembangunan gereja paroki Tomok, kemudian aku memutuskan untuk memberi tempat tugu-ku, yang lebih luas sedikit, untuk memenuhi kebutuhan areal tanah tersebut. Karena tanah tugu, itu berarti kelak saya akan dikubur satu areal dengan gedung Gereja Paroki Tomok.
Khawatir akan dampak di masa mendatang, Pastor Sintus bertanya kepadaku, apakah kelak tidak masalah jika tempat tugu berada satu komplek dengan gereja paroki. “Di samping itu, jangan juga sampai terjadi percekcokan di tengah keluarga kami kelak.”
Aku pun menjawab, bahwa sudah ada sertifikat tanah dari yang kuberi buat gereja ini. Jawaban tersebut pun menenangkan hati Pastor Sintus. Dan dia lalu susul bertanya, berapakah kiranya harga tanah tersebut. Aku pun menjawab: “Yah, Pastor. Jika Gereja Paroki Tomok jadi didirikan, maka saya merasa sungguh bersuka cita. Hanya itu lah yang ada dalam fikiranku.”
Pastor Syntus pun tertawa saja. Kami sepakat bahwa penentu harga diserahkan pada pihak pastor saja. Perjuangan mendirikan gedung baru Gereja Paroki masih belum berhenti, proses pembangunan berlangsung cukup lama. Sempat juga saya menuturkan kekhawatiran kepada Parochus sekarang (RP Kristian CMF), apakah saya masih bisa melihat gedung gereja baru paroki kami. Namun, Pastor Kristian meneduhkan hatiku bahwa Tuhan tentu akan menghadirkan kesempatan indah tersebut.
Pada Minggu (9 September), momen indah tersebut akhirnya terwujud juga. Uskup Agung Medan, Mgr. Anicetus B. Sinaga OFM Cap memberkati gedung gereja baru Paroki Tomok dengan perayaan misa syukur. Dalam acara tersebut, aku dipercaya mengalungkan bunga tanda penghormatan kepada Mgr. Anicetus.
Saya masih terkesan dengan homili Uskup dalam Ekaristi tersebut. Dia menyampaikan, bahwa Gereja ini dibangun untuk meningkatkan keimanan umat, jangan hanya dijadikan simbol tapi harus menjadi tempat kita bersekutu dengan Tuhan. Bagi saya sendiri, menyaksikan perkembangan iman umat di Paroki Tomok sejak mula hingga kini, sudah menjadi satu kebahagiaan dan kebanggaan tersendiri. Terutama mengingat kala awal menjadi pengurus gereja di masa muda dahulu.
Sejak menjadi Katolik, saya bersama keluarga bersukacita untuk memberi bagi Gereja. Pastor atau Suster, sejak dulu, kerap singgah bahkan menginap di rumah keluarga kami, sebelum melanjutkan karya pastoral mereka di sini.
Saya merasakan sukacita tersebut berbuah menjadi karunia Tuhan. Saya memiliki delapan anak, lima laki-laki dan tiga perempuan. Mereka semua telah menjalin rumah tangga masing-masing dengan sehat dan sejahtera. Dan tentu saja, tak bisa saya abaikan bagaimana kasih setia Istriku, Bunga Uli br Sidabutar dalam mendampingi suami tatkala bekerja mencari nafkah maupun berkarya untuk gereja. Semua karunia ini mustahil ada tanpa berkat Tuhan.
(Sebagaimana diceritakan kepada Ananta Bangun) /// ditulis untuk majalah resmi Keuskupan Agung Medan, MENJEMAAT
