Seusai satu liputan di Kabanjahe, Menjemaat turut dalam Ibadat Ekaristi di Stasi Sta. Theresia Avilla – Raya (Paroki St. Fransiskus Assisi – Brastagi). Saat ibadat selesai, kami meminta kepada tokoh umat setempat, Betlehem Ketaren untuk menulis profil stasi ini untuk dimuat di majalah resmi Keuskupan Agung Medan. Walaupun menaruh minat tinggi dalam dunia tulis-menulis, Betlehem enggan mengiyakan. “Lebih baik jika Menjemaat yang menuliskan, agar saya tidak seperti mencitrakan diri saya sendiri,” katanya menjelaskan. Kami menyanggupi dan mengajukan wawancara. Berikut penuturannya.
Sejarah Berdirinya Gereja Stasi Raya
Sejarah Gereja Katolik Stasi Raya tidak terlepas dari karya pastoral seorang “pastor partikulir” Paulus Pantek Sembiring dari Buluh Naman. Ia disebut sebagai “pastor partikulir” baik oleh umat maupun oleh pastor pada jamannya, karena selalu mempunyai waktu menemani pastor bermisi ke kampung-kampung terlebih ke daerah Munte dan Tigabinanga.
Pada tahun 1971, beliau juga rajin datang ke Desa Raya, Berastagi terlebih dengan kehadiran dua cucunya dari putri pertamanya R. br. Sembiring dan menantunya G. Ketaren. Ketika didaulat memberi nama, kepada kedua cucunya itu langsung diberi label (nama) Kristiani: Betlehem dan Jerusalem. Pada tiap-tiap kedatangannya, Paulus Pantek Sembiring selalu membawa serta cucu pertamanya “berminggu” di Berastagi (yang kala itu berstastus stasi) guna “merayu” putri dan menantunya untuk mengikutinya masuk Katolik. Namun ironisnya, sang putri menolak. “Saya tidak mau masuk Berita Simeriah sebelum kami punya rumah!” demikian jawabnya dengan tegas waktu itu.
Dengan motivasi dari sang “pastor partikulir” kemudian pada tahun 1973 selesailah pembangunan rumah sederhana, idaman keluarga Ketaren tersebut. Pada saat itu ada kebiasaan, sebelum dimasuki secara adat, rumah baru dijaga dengan beberapa anggota keluarga tidur disitu setiap malamnya. Sang empunya rumah ternyata tidak tenang tidur menjaga rumah itu, karena dalam perasaan maupun mimpinya selalu ada “Imbo siluman” (semacan Gunduruwo) mengganggu. Tidak hanya si tuan rumah yang terganggung, tetapi juga para tetangga. Para tetangga meminta dengan tegas agar rumah itu dibongkar saja, karena sejak berdiri membuat tidurnya tidak pernah tenang lagi.
Hal tersebut membuat G. Ketaren dan R. br. Sembiring menjadi sangat gusar. Namun mengingat biaya besar untuk membangu rumah tersebut, mereka bersiteguh tidak membongkarnya, tetapi memasukinya dengan adat dan juga dengan doa dari sang “pastor partikulir. Demikianlah dilaksanakan, dan di luar dugaan, selain keluarga dan tetangga kembali tenang tidurnya seperti sedia kala, tatkala mendengar katakese dari sang “pastor partikulir”, semua yang hadir pada acara rumah baru yang dilaksanakan pada tanggal 31 Maret 1973 itu ramai-ramai minta diajari untuk masuk Katolik.
Dengan permintaan Keluarga Besar G. Ketaren itu, Paulus pantek Sembiring menyampaikannya kepada Pastor Licinius Fasol OFM Cap sebagai pastor paroki “Tanah Karo” (ketika itu) dan menyambutnya dengan baik. Pastor Lici sendiri sering adatang memberi pengajaran di Jambur Desa di hadapan warga desa, dan semakin banyak pula yang tertarik dengan Gereja Katolik. Beberapa orang yang sebelumnya sudah Katolik namun tidak aktif karena belum ada “Perpulungen” langsung bergabung ke himpunan itu. Pada tahun 21 Juni 1974 penerimaan Sakramen Baptis secara massal dilaksanakan oleh Pastor Yustinus Tambunan OFM Cap dibantu oleh Adat Sembiring Berahmana (Bp. Nirwan Berahmana) dan Carin br. Purba (Nd. Nirwan Berahmana) sebagai Bapa dan Ibu Serani.
Sebelum ada gereja, perkumpulan kecil itu beribadat di rumah-rumah umat. Pernah di rumah G. Ketaren, di rumah Rastel br. Sinuhaji dan juga di rumah R. Gurusinga (kakek dari Pastor Alfred Fernando Gurusinga OFMCap). Pada saat itu sering juga datang guru-guru agama dan suster-suster dari Kabanjahe, Bp. Ponis Sembiring dari Ajibuhara maupun Ngerajai Sitepu dari Berastagi menyemangati dan mengajari katekumen baru. Stepanus Terima Ginting, guru Seminari Menengah Siantar, pada masa tugasnya juga sering mengadakan aksi panggilan di kampung halamannya ini.
Pada tahun 1991, pada masa Parochus Kabanjahe, RP Gabriel F Tobing, didirikanlah gereja sederhana berukuran 9 x 12 meter di tanah berukuran 13 x 20 meter. Para umat dan juga oleh warga desa merasa kagum pada rumah ibadah itu walaupun sederhana dan belum rampung bagian interiornya. Sebab semua itu berkat sebagai jerih payah dari 30 KK. Meskipun tidak ada plafon, tidak ada mimbar, tidak ada sakristi. Altarnya dibuat sebagai bonus dari pemborong, terbuat dari papan bekar cor. Namun umat sangat kental dengan kekompakan dan kerukunannya.
Pada tahun 1997, dengan didaulatnya angkatan muda sebagai pengurus Seperti Ganevo Ginting, Betlehem Ketaren, Usaha Perangin-angin, Set Surbakti, Yosida br. Pinem, Helmi br. Sinukaban dan teman-teman yang lain yang kemudian menyusul seperti: Lerianna Victoria br. Ketaren dan Sri Emma br. Ginting, selain liturgi, katekese, nyanyian dan mazmur, serta -rapat mulai dibenahi kualitas dan kuantitasnya dengan masukan-masukan dari kursus-kursus maupun talenta serta pengetahuan dari kaum muda tersebut. Pembangunan interior seperti plafon, mimbar, sakristi serta lemari arsip maupupun pakaian liturgi diadakan, demikian juga eksterior Gereja berupa pembangunan pendopo dan pagar gereja secara bertahap diselesaikan. Kehadiran pengurus di sermon-sermon, kurus-kursus dan keterlibatan umat pada perayaan-perayaan rayon maupun paroki, membuat stasi perlahan namun pasti, berkembang jumlah umatnya dan juga berkembang pengetahuan kekatolikan maupun dalam kehidupan menggereja.

Pembangunan Gedung Gereja St. Theresia Avilla Sekarang
Pada 2005, Paroki Brastagi dibentuk sebagai pemekaran dari Paroki Kabanjahe. Parochus pada masa itu, RP. Ignatius Simbolon OFM Cap juga menempuh kebijakan pemekaran lingkungan di Stasi dalam wilayah Paroki Berastagi. Termasuk di Stasi Raya, yang sebelumnya hanya 1 lingkungan dimekarkan menjadi 4 lingkungan. Bila pada awalnya pada tahun 1974 jumlah umat hanya 33 KK saja, sekarang ini telah berjumlah 115 KK, yang berada pada 4 lingkungan: St. Yohannes Pemandi, St. Yakobus Rasul, St, Maria Vianney dan St. Maria Magdalena.
Walau pada awalnya dianggap kurang mengikat tali persatuan secara stasi, namun ternyata melejitkan kehadiran umat ke gereja dan juga ke doa lingkungan. Gereja lama tidak tidak cukup lagi menampung kehadiran pada ibadat mingguan rutin, umat walaupun dibentangkan tikar di jalan perarakan. Apalagi pada pesta pemberkatan perkawinan, pembangunan gereja baru sangat dibutuhkan.
Umat Stasi Raya kemudian seia-sekata membangun gereja baru dengan modal hanya Rp. 11.000.000 saja pada tahun 2011. Dengan kegigihan panitia mengumpulkan tanggungan maupun sumbangan umat serta dengan beberapa kali mengadakan pesta pengumpulan dana, pada tahun 2015 Gereja baru dengan biaya 800 juta-an itu dapat diselesaikan pada masa RP. Moses Elias Sitomorang, OMFCap jadi pastor paroki dan diresmikan oleh Mgr. Em. Pius Datubara pada 08 Mei 2016 dengan pesta yang sangat meriah (Pemberkatan Gereja dan Paska Rayon San Damniano).

Pertumbuhan & Tantangan
Menurut Betlehem, seorang dari Stasi ini telah menjadi pastor, yakni RP. Paskalis Pedoritman Surbakti, OFM Conv yang kini bertugas sebagai pastor paroki St. Yohannes Paulus II Namo Pencawir. “Sementara ayah RP. Alfred Fernando Gurusinga, OFMCap sendiri, Hemat Gurusinga berasa dari Stasi ini,” katanya. “Dua orang dari stasi ini sedang menjalani studi biarawan dan juga imam diosesan yakni: Marianus Enos Surbakti (Kapusin) dan Egy Ridona Tarigan (Projo).”
Para pengurus aktif membekali dirinya baik dari sermon-sermon, kursus-kursus maupun dari Sekolah Porhanger/Sekolah Kader Pastoral. Tercatat, Betlehem Ketaren, Ganevo Ginting, Ocen Oktavianus Tarigan dan Riantonius Tarigan sebagai alumnus Sekolah ini baik gelombang I, II maupun III. Guru-guru Agama alumnus STP Delitua dan Malang seperti Gemawati br. Bukit, Helmi br. Sinukaban Cintaras br Ginting juga memberikan pengabdiannya guna pengembangan hidup menggereja di stasi ini.
Kala ditanya mengenai ciri khas pastoral di Stasi Raya, Betlehem menilai karya pastoral di stasi Raya tentu saja tidak terlepas dari visi dan misi Keuskupan Agung Medan maupun visi dan misi Paroki St. Fransiskus Asisi Berastagi, menjadikan Gereja sebagai Oase bagi seluruh umat, bagi semua orang dan bagi seluruh ciptaan.
“Sekarang ini, Ciri khas Pastoral nampaknya terarah pada pengembangan lingkungan baik sebagai Komunitas Basis Gereja maupun sebagai saluran informasi dan program-program yang perlu dilaksanakan umat dalam mewujudkan Keluarga Rukun,” kata dia.

Betlehem mengatakan, Umat St. Theresia Avilla Stasi Raya kebanyakan mencari nafkah sebagai petani bunga Krisan. “Pengelolaan usaha ini memerlukan perhatian dan waktu relatif sibuk. Karenanya, gaya menggereja disini persis sama dengan di kota. Begitu Perayaan ibadat selesai, umat langsung seketika meninggalkan gereja, tanpa banyak lagi basa-basi atau sapa-sapa.”
“Bila ada hari-hari besar atau hari-hari sembahyang Cina atau Budha, umat banyak berkutat dengan usaha bunganya sehingga kehadiran di gereja atau di tempat perayaan lain menjadi menurun drastis. Kesibukan di ladang juga membuat umat relatif kurang kehadirannya pada pertemuan-pertemuan lingkungan, apalagi bila pertemuan itu dianggap kurang dikelola dengan cukup baik dan bermutu. Umat cenderung lebih suka “dibebani” tanggungan/sumbangan daripada kehadiran,” imbuhnya.
Dia melanjutkan, pertemuan sesama umat yang paling memungkinkan yakni pada pasar Bunga yang ada 4 kali seminggu di desa ini. Senin dan Kamis di Jambur Desa, Rabu dan Sabtu di jalan besar Berastagi-Kabanjahe dekat RS. Efarina Etaham Desa Raya.
Diwawancara terpisah, Ketua DPS Stasi Raya, Ganevo Ginting menyatakan harapan pertumbuhan iman umat tetap menjadi perhatian utama. “Tentunya upaya ini harus dimulai dari tingkat lingkungan. Kiranya setiap lingkungan dapat bersatu dan bekerjasama. Nilai-nilai ini tentu saja akan sangat membantu Stasi Raya,” tutur Ganevo kepada Menjemaat.
(Ananta Bangun)