AKU TULIS YANG KUTAHU


Copyright: http://www.pexels.com

Alasan awal saat mempelajari keahlian apa pun adalah belum memiliki waktu, dan persiapan. Dalih ini juga sering kudapati kala memberi pelatihan menulis. Ada semacam dugaan bahwa penulis adalah seorang yang punya banyak waktu untuk membaca, berdiskusi dan menulis di ruang sunyi. ‘Kekayaan’ itu memang kerap kita lihat dalam cuplikan sinema.

Aku pernah terkekeh, ketika bapa Budi Soetedjo, pendiri dan pimpinan Lembaga “Indonesia Menulis”, mengatakan: “Meskipun saya sudah banyak menulis. Bukan berarti kerjaan saya hanya duduk dan menulis. Saya juga dijejali banyak tugas dan tanggung jawab lho. Memangnya, saya ini pengangguran yang cuma menulis melulu.”

Konten atau isi karya tulis sebenarnya bukan perkara sulit saat belajar menulis. Kunci pertama dalam menulis adalah: Aku tulis yang kutahu. Apa sajakah itu? Tentunya dari pengalaman ataupun buku-buku yang dibaca, hingga buah perbincangan (termasuk juga wawancara) dengan sesama.

Menuturkan pengalaman adalah karya tulis terbaik bagi insan yang tengah belajar menulis. Sebab, kisah tersebut hanya diketahui oleh satu orang. Yakni, si penutur itu sendiri. Dia mengetahui setiap bagian hingga konflik, keseruan atau kelucuan dari cerita tersebut.

Coba kita perhatikan penuturan pengalaman dalam buku Dale Carnegie: “Sukses Berkomunikasi”,  mengisahkan bagaimana seorang muridnya di kelas pidato (saat itu belum ada istilah kelas presentasi). Gay K belajar untuk berbicara di depan khalayak untuk pertama kali. Pak Gay ini tidak pernah berpidato di hadapan umum sebelum dia mengikuti kursus pidato yang diadakan Carnegie.

Gay merasa ketakutan. Dia khawatir bahwa pidato mungkin sebuah seni yang sukar dipahami yang tak mampu dilakukannya. Akan tetapi, di sesi keempat kursus tersebut, saat dia berbicara tanpa persiapan, dia membuat pendengar tersihir. Gay diminta berbicara tentang “Kekecewaan Terbesar dalam Hidup Saya.” Gay pun memberi pidato yang begitu menyentuh. Sulit bagi orang-orang yang mendengarkan untuk menahan air mata mereka. Bahkan, Carnegie nyaris tidak dapat membendung air mata yang menggenangi matanya. Ini yang dituturkan Gay:

Kekecewaan terbesar dalam hidup saya adalah saya tidak pernah mengenal cinta seorang ibu. Ibu saya meninggal saat saya baru satu tahun. Saya dibesarkan oleh beberapa bibi dan kerabat lainnya yang begitu larut dengan kehidupan anak-anak mereka sehingga tidak memiliki waktu untuk saya. Saya tidak pernah tinggal lama dengan salah satu dari mereka. Mereka selalu muram melihat saya datang dan merasa senang saat saya pergi. Mereka tidak pernah menunjukkan ketertarikan kepada saya atau mengasihi saya. Saya tahu saya tidak diinginkan. Bahkan saat saya masih kecil saya dapat merasakannya. Sering kali saya menangis sampai tertidur karena merasa kesepian. Keinginan terdalam di lubuk hati saya adalah memiliki seseorang untuk membaca buku rapor saya. Namun, tidak ada yang melakukannya. Tidak ada yang peduli. Saat masih kecil yang saya inginkan hanyalah kasih sayang — dan tidak ada yang pernah memberikannya kepada saya.

***

Apakah Gay menghabiskan waktu sepuluh tahun untuk mempersiapkan pidato itu? Tidak. Dia menghabiskan waktu dua puluh tahun. Dia mempersiapkan dirinya untuk menuturkan itu saat dia menangis sampai tertidur saat dia masih kecil. Dia telah mempersiapkan dirinya untuk pidato itu ketika hatinya terasa sakit saat tidak ada yang memintanya untuk menunjukkan rapor dari sekolah. Tak heran dia dapat membahas topik itu. … . Dia tak perlu memompa semua memori dan perasaan itu. Dia tidak perlu berusaha keras menyampaikan pidato itu. Yang harus dilakukannya adalah membiarkan perasaan dan memori yang dikuburnya muncul kembali ke permukaan seperti minyak bumi dari sumur.

Dalam beberapa pelatihan menulis bagi Aspiran Kongregasi Suster Santo Yosef (KSSY), pendekatan “Menuliskan Pengalaman” sungguh efektif. Sebagaimana pak Gay, peserta pelatihan dengan lancar menuliskan kisah-nya masing-masing. Mereka bisa menuliskannya sebab telah menguasai/ mengetahui aspek cerita tersebut.

 

(Ananta Bangun)

— tulisan ini juga berdasarkan pengalaman dalam memberikan pelatihan menulis, membaca buku dan hasil beberapa perbincangan dengan sesama.