
Menjemaat tertarik menuliskan profil Gereja Paroki Sta. Lusia – Salak kala meliput Bakti Budaya Pakpak Bharat 2018, pada Minggu (21 Juli). Acara yang dipadukan bersama Hari Jadi Kabupaten Pakpak Bharat ke-XV, dimulai dengan pemberkatan gedung Pastoran Paroki Salak, kemudian kirab ribuan umat Paroki Salak dari Pastoran menuju Lapangan Napasengkut. Momen tersebut semakin istimewa kala Uskup Agung Medan, Mgr. Anicetus B. Sinaga OFM Cap membacakan Surat Keputusan (SK) Pengangkatan Status Kuasi Paroki Sta. Lusia Salak menjadi Paroki mandiri.
Buku “Berbuat Banyak Dengan yang Sedikit: Lima Puluh Tahun Ordo Karmel Berkarya di Sumatera 1965-2015” tulisan RP Edison Tinambunan O. Carm kembali menjadi rujukan untuk menuliskan riwayat awal gereja paroki ini. Di samping itu, Menjemaat juga mewawancara Pastor Rekan Paroki Salak, RP Kardiaman Simbolon O. Carm.
***
Dalam buku karya tulis RP Edison O. Carm dituturkan, Salak adalah ibu kota Kabupaten Pakpak Bharat yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Dairi pada 28 Juli 2003. Mayoritas penduduk adalah masih suku Batak Pakpak dengan bahasa Pakpak. Suku lain masih tergolong sedikit di daerah ini, hanya terdapat di daerah tertentu saja. Salak dijadikan kabupaten untuk memacu perkembangan karena daerah ini termasuk satu daerah yang belum berkembang di Sumatera Utara.
Jalan masuk ke Pakpak Bharat praktis hanya dari Sidikalang, walau ada usaha untuk membuka jalan dari Parlilitan, kabupatan Humbang Hasundutan. Mata pencaharian masyarakat adalah kemenyaan, nilam, kopi dan pertanian lainnya. Bisa dikatakan bahwa pertumbuhan ekonomi daerah ini sangat labil.

Perkembangan Gereja juga bisa dikatakan sangat labil. Walaupun demikian, Keuskupan Agung Medan (KAM) telah memutuskan untuk menjadikan Salak sebagai Kuasi Paroki pada 11 Agustus 2011 dengan pelindung Santa Lusia yang dimekarkan dari Paroki Sidikalang.
Selama periode status Kuasi Paroki, Salak masih tetap dilayani para Pastor dari Sidikalang, sambil KAM melobi beberapa Tarekat untuk melayani Kuasi Paroki ini, salah satu adalah Konventual. Setelah berdialog antara Ordo Karmel Komisariat Sumatera dan Uskup Agung Medan, Mgr. Anicetus Sinaga OFM Cap, maka disepakati bahwa pada bulan Juli 2015 Ordo Karmel Komisariat Sumatera akan melayani Paroki Santa Lusia Salak secara resmi. Sehubungan dengan kerja sama ini dan karena alasan kekurangan tenaga, maka Ordo Karmel Komisariat Sumatera mengembalikan Paroki Tanjungbalai ke KAM. Oleh sebab itu, para Karmelit yang seharusnya berkarya di Tanjungbalai, dialokasikan ke Paroki Salak.

Tantangan & Harapan bagi Paroki Sta. Lusia – Salak
Menurut Pastor Rekan Paroki Sta. Lusia – Salak, RP Kardiaman O. Carm, tantangan pelayanan di paroki tersebut cukup banyak. “Diantaranya adalah sumberdaya manusia yang ada di Pakpak Bharat belum cukup mumpuni. Terutama soal katekese dan pastoral. Karena itu banyak hal masih di dikerjakan oleh pastor. Para pengurus yang ada belum cukup pengetahuan iman dan kemampuan untuk berpastoral,” ujarnya.
Pastor Kardiaman juga menyorot karakter untuk maju belum terlalu tertanam. “Banyak umat masih merasa ingin bagitu saja, kalaupun hendak maju tapi jangan sampai berkorban. Ini soal mindset dan karakte yang ada.”
“Tantangan berikut adalah soal bahasa Pakpak yang belum umum dipakai dalam liturgi. Selain ketersediaan bahan penunjang, juga tidak banyak yg bisa dan mau untuk menyiapkan liturgi berbahasa Pakpak.”

Berkenaan dengan pembangunan Pastoran, Imam Karmelit menyampaikan bahwa proses pembangunan sejauh ini sudah hampir selesai. “Tinggal finishing. Namun meskipun sudah selesai pastoran tentunya sudah harus dipikirkan pembangunan aula atau ruang pertemuan yang lebih luas,” katanya.
Dia mengatakan, setelah pembangunan pastoran ini ada harapan bahwa umat semakin percaya diri akan identitas sebagai katolik di Pakpak Bharat. “Selain itu pelayanan pastoran dan sistem yang lebih efektif tentu bisa dilakukan dengan adanya pastoran dan kantor paroki ini. Dengan pelayanan dan sisitem yang baik, diharapkan umat terlayani dengan baik.”
Menurutnya, pelayanan Imam Karmelit di tempat ini harus disadari sebagai misi lokal. “Meskipun paroki ini berada di ibukota kabupaten, namun melihat kondisi masyarakat dan umat khususnya, boleh dikatakan bahwa pastoral para Karmelit bisa dimasukkan sebagai misi. Soal dana, katekese liturgi dan pengetahuan imaN masih sangat tertinggal. Karena itu sebenarnya keuskupan juga harus menyadari hal ini, agar kemudian paroki ini bisa maju dalam iman,” pungkas Pastor Kardiaman.
(Ananta Bangun)
