
Aku pernah menuliskan profil Paroki St. Mikael – Tanjungbalai untuk majalah Menjemaat. Aku memperoleh data dari dua narasumber, seorang tokoh umat dan Administrator paroki.
Baru-baru ini, aku tertegun kala mendapati bahwa riwayat paroki tersebut juga diulas dalam buku “Berbuat Banyak dengan yang Sedikit” karya Pastor Edison R.L. Tinambunan O.Carm. Buku yang diperuntukkan dalam perayaan Lima Puluh Tahun Ordo Karmel berkarya di Sumatera (1965-2015), dengan jelas menuturkan awal sejarah Paroki Tanjungbalai. Aku kira sungguh baik, bila turut kusebar via blog ini.
Semoga ilham dalam buku ini turut diresapi pembaca.
***
Tanjungbalai adalah salah satu Gereja awal di Sumatera bagian Utara setelah Medan dan Kotaraja (Banda Aceh). Pada tahun 1925, Prefektur Apostolik Padang dengan Prefek Mgr. Mathias Brans OFM Cap telah mengetahui bahwa di Tanjungbalai ada orang Katolik walaupun jumlahnya tidak banyak. Untuk memberikan pelayanan kepada mereka, pada tahun 29126 dia pergi ke Batavia (Jakarta) untuk meminta izin langsung kepada pemerintah Belanda untuk mendirikan gereja dan sekolah di kota tersebut.
Pada 10 Oktober 1927, Pastor Marianus Spanjers OFM Cap memulai misi di Tanjungbalai dan sejak saat itu kota ini menjadi sebuah stasi. Dia memulai Gereja dari awal. Untuk sementara, Pastor Marianus harus di tinggal di penginapan sampai sebuah ruangan kecil selesai dibangun pada 6 Desember 1927 untuk tempat tinggalnya.
Satu tahun berikutnya, tepatnya 16 Oktober 1928 Suster dari Dongen tiba di Tanjungbalai yang sebelumnya berangkat dari Belanda pada 31 Agustus 1928. Tidak lama kemudian, pada 30 Oktober 1928, sekolah yang dikelola Tarekat ini sudah dibuka dengan pengajar terseleksi yang berjumlah lima orang. Sekolah ini menangani anak-anak Tionghoa.

Tanjungbalai adalah salah satu kota pelabuhan yang penting pada periode awal abad XX, bersamaan dengan pelabuhan Bagansiapiapi yang sebelumnya telah ada Gereja. Oleh sebab itu, bisa dimengerti bahwa Katolik walaupun tidak berjumlah banyak sudah ada di Kota Tanjungbalai untuk kepentingan perdagangan yang berhubungan dengan kota pelabuhan sekitarnya dan bahkan ke pulau lain. Sebagai kota pelabuhan, banyak penduduk Tanjungbalai memiliki mata pencaharian dengan dagang yang biasanya dikuasai oleh suku Cina. Baru setelah kemerdekaan, heterogenitas terjadi di seluruh daerah.
Dalam perkembangan, Tanjungbalai menjadi paroki pada 1947 dengan nama pelindung Santo Mikael. Paroki ini telah digembalakan Tarekat Kapusin, Xaverian, Projo dan terakhir Karmelit. Para gembala telah bekerja sebaik mungkin untuk umat Tanjungbalai dengan ciri khas mereka masing-masing, walau sempat terganggu karena penjajahan Jepang (1942-1945).

Dalam buku sejarah Tanjungbalai, dijelaskan bahwa ibu kota Kabupaten Asahan dipindahkan dari Tanjungbalai ke Kisaran pada tahun 1968. Dari sejak itu, Tanjungbalai menjadi kotamadya yang dipimpin seorang Walikota. Dengan alasan geografis, pemerintahan dan kemudahan urusan administrasi sipil, Buku Baptis juga dipindahkan dari Tanjungbalai ke Kisaran dan yang tinggal hanya salinan. Sejak tahun 1968, Paroki Tanjungbalai memulai Buku Baptis baru sampai dengan saat ini.
Dalam surat pengangkatan Pastor Paroki No.553/GP/KA/1998 oleh Uskup Agung Medan, Mgr. Alfred Gonti Pius Datubara OFM Cap, tertulis bahwa Ordo Karmel menangani paroki St. Mikael Tanjungbalai sejak 27 Agustus 1998. Pastor Karmelit yang pertama adalah RP Servus Nuwa O.Carm yang pada waktu itu masih bertugas di Perdagangan. Sejak tanggal 30 Agustus 1998, suatu era baru dimiliki Paroki St. Mikael Tanjungbalai karena Ordo Karmel memulai pelayanan untuk pengembangan Gereja. Berdasarkan tabel stasi, perkembangan Gereja bisa dilihat begitu pesat yang pada awalnya hanya beberapa orang saja. Beberapa stasi terdapat di pulau-pulau kecil di Selat Malaka yang harus dicapai dengan kendaraan air.
Sehubungan dengan kerjasama antara Ordo Karmel dan Uskup Agung Medan, maka sejak Juli 2015 Paroki Tanjungbalai akan diserahkan ke Keuskupan dan mengambil pelayanan di Paroki Sta. Lusia – Salak di Pakpak Bharat. Alasan utama “tukar guling” ini adalah karena untuk sementara Ordo Karmel belum bisa menyanggupi untuk menyediakan tenaga gembala di paroki sehingga langkah tersebut adalah jalan terbaik.

