Satu keluarga (Ayah, Ibu, dan tiga anaknya) bersama-sama menuliskan sebuah buku sarat ilham. Judulnya: “Tuhan Tidak Tuli”. Mereka menuliskan pengalaman iman, selama membesarkan dan hidup dengan si bungsu, Yahya A. Tioso yang bergelut dengan penyakit tuli (sulit mendengar).
Buku ini sungguh bagus. Oleh karenanya, aku ingin coba menggali bagaimana satu keluarga ini bisa ‘keroyokan’ menuliskan sebuah buku. Lebih tepatnya, bagaimana belajar menulis dari mereka.
Menulis Apa yang Dialami/ Diketahui
Setelah rampung membaca buku “Tuhan Tidak Tuli”, bisa didapati hanya si sulung, Grace Suryani, gemar menulis buku. Kita bisa ketahui dari empat (cover) buku yang disematkan pada halaman akhir buku (hlm. 160).
Pasangan suami-istri, Stephanus Junianto dan Ratna Pudyastuti, dan dua anak lainnya, Elisabet Listiyanti, Yahya Tioso, dan juga istrinya, Monika Yuliana, belajar menulis dengan menyampaikan apa yang mereka alami dan ketahui.
Tentu sulit bagi mereka menuliskan perihal bagaimana mengasuh anak penderita tuli, jika mereka tidak mengalami sendiri. Setiap istilah, kiat dan gejolak iman bisa dituturkan dengan lancar, karena ‘mereka mengalami sendiri’.
Di kalangan wartawan, menuliskan pengalaman satu sosok bisa dilakukan dengan wawancara dan pengamatan langsung. Dari hasil perbincangan dan melihat langsung beberapa kegiatan narasumber, si jurnalis bisa menuliskan sebuah cerita menarik atau penting.
Fokus
Aku mendapati para penulis di buku ini, kerap mengulang frasa sebagaimana judulnya: “tetapi, Tuhan tidak tuli.” Mereka fokus menekankan bahwa Tuhan selalu mendengar setiap doa permohonan manusia ciptaan-Nya.
Setiap mereka mengalami tantangan berat – terutama orangtua maupun anaknya, Yahya – Tuhan setia mendengar doa permohonan mereka.
Dan juga penulis mengisahkan setiap tantangan tersebut sebagai ‘anugerah’ agar selalu menengadahkan pandangan dan harapan pada Tuhan semata.
Kata Kunci
Keluarga penulis jeli memilih kata kunci untuk dituturkan dalam buku ini. Seperti mantra, kata kunci tersebut juga disampaikan dalam video profil Yahya, dan membuat keseluruhan cerita terhubung baik.
Semisal, dalam sinopsis kedua orangtua Yahya mengawali dengan pertanyaan – gambaran gejolak batin mereka.
“Kami percaya Tuhan itu baik dan mengasihi kami. Akan tetapi jika Tuhan begitu baik, mengapa Dia mengizinkan Yahya, anak kami (laki-laki satu-satunya), dilahirkan tunarungu? Awalnya, seakan-akan kami melihat masa depan yang suram dan kesulitan-kesulitan yang menghadang. Maka, kami berusaha mengatasinya sendiri dengan segala cara yang kami ketahui.
Namun, ternyata semuanya sia-sia. Hingga akhirnya kami menyadari bahwa pertolongan kami hanya ada di dalam Tuhan yang menciptakan langit dan bumi. Ya, setiap kali raksasa persoalan itu datang menghadang, kami hanya bisa berseru serta berdoa kepada-Nya. Dan, di situ terbukti bahwa …
Tuhan Tidak Tuli.
Ataupun ketika Yahya dan orangtuanya menelisik sabda Allah dalam Alkitab. Ketika hendak mencari jawaban, mengapa dia terlahir dengan tantangan seberat itu. Dan pencarian mereka tertumbuk pada kitab Yohanes 9:1-3:
“Waktu Yesus sedang lewat, Ia melihat seorang yang buta sejak lahirnya. Murid-murid-Nya bertanya kepada-Nya: “Rabi, siapakah yang berbuat dosa, orang ini sendiri atau orang tuanya, sehingga ia dilahirkan buta?” Jawab Yesus: “Bukan dia dan bukan juga orang tuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia.”
Dan banyak lagi kata kunci dengan semangat sama dijalin ke dalam kisah Yahya di buku ini.

Berdoa, dan Mulai!
Seorang teman pernah berujar, dirinya mulai gemar menulis setelah diberitahu satu mantra: “Menulislah!”. Aku kira mantra itu sungguh benar. Keluarga penulis buku ini semestinya memulai ‘perjalanan’ merajut aksara dengan doa dan mulai menulis.
Tidak ada kiat lebih jitu selain memulai saat ini. Tidak tahu bisa disiasati dengan bertanya maupun wawancara. Guy Kawasaki, bahkan dengan puitis, menggambarkannya,”Penulis hendaknya menyayat nadi dan membiarkan kata-kata mengalir dalam bukunya.”
Aku tertarik mengutip kata mutiara seorang tokoh, Winston Churcill: “Writing a book is an adventure. To begin with it is a toy and an amusement. Then it becomes a mistress, then it becomes a master, then it becomes a tyrant. The last phase is that just as you are about to be reconciled to your servitude, you kill the monster and fling him to the public.”
Terjemahan bebas: “Menulis buku adalah sebuah petualangan indah nan menegangkan. Ketika memulai, Anda melihatnya sebagai mainan menyenangkan. Lalu dia menjadi nyonya, dan kemudian menjadi tuan, hingga akhirnya sesosok tiran. Dan, tepat pada tahap akhir pengabdian tersebut, Anda membunuh monster tersebut dan melemparnya ke tengah masyarakat.”
(Ananta Bangun)