
Genfest 2018 di Manila telah berakhir. Genfest merupakan pertemuan kaum muda setiap enam tahun yang ingin memperlihatkan kepada dunia bahwa persaudaraan universal, sebuah dunia yang bersatu, adalah sebuah cita-cita yang berharga untuk dihidupi. Selama bertahun-tahun, Genfest telah menjadi festival yang kaya akan ide-ide, pemikiran-pemikiran dan aksi-aksi yang menginspirasi ribuan kaum muda untuk mengubah hidup mereka, masa depan mereka dan akhirnya mengubah dunia.
Genfest diselenggarakan di WTC Metro Manila tanggal 6-8 Juli 2018. Genfest ke – 11 ini merupakan Genfest yang istimewa karena Genfest yang pertama kali diselenggarakan di Asia. Sepuluh Genfest sebelumnya diselenggarakan di wilayah Eropa. Sebanyak 6000 kaum muda hadir dari komunitas-komunitas Focolare yang tersebar di lebih dari 100 negara di seluruh dunia.
Ribuan kaum muda ini digerakkan oleh gagasan tentang kesatuan dengan berbagi pengalaman-pengalaman, partisipasi dalam berbagai workshop, melakukan aksi social di antara orang-orang dari berbagai budaya, ras dan asal yang berbeda, di antara Kristen dari berbagai denominasi dan orang-orang dari berbagai agama dan keyakinan yang berbeda.
Mengambil tema “Beyond All Borders”, Genfest Manila 2018 ingin mengajak kaum muda untuk mengalami pengalaman melintasi budaya-budaya dan tradisi-tradisi, menemukan praktek-praktek hidup yang terbaik, cara-cara dan kegiatan yang akan membantu kaum muda untuk mencapai perubahan yang berkelanjutan dan menyadari bahwa setiap orang adalah anggota dari sebuah keluarga kemanusiaan meskipun berbeda-beda.
Lebih dari 100 workshop dan forum diadakan dengan narasumber dari local dan internasional untuk berbagai topic seperti ekonomi, perdamaian, ekologi, pendidikan, seni, media dan politik. Kaum muda juga diikutsertakan dalam program Hands for Humanity sehingga mereka melihat langsung keadaan di tepi kota dengan melakukan aksi yang nyata seperti memberi makan di Yayasan Bukas Palad, membersihkan komunitas dan tepi pantai, interaksi dengan orang buta, tuli dan lansia, mengolah sampah menjadi uang, mengunjungi Mabuhay Buddhist Temple, mengunjungi komunitas Muslim di Manila.
Kisah yang terkait dengan kaum muda yang hidup di tengah suasana migrasi dan pemisahan menjadi hal penting pada Genfest ke – 11 ini. “Saat ini, sangat sedikit diketahui tentang orang-orang yang dibatasi oleh larangan-larangan dalam kehidupan sehari-hari, tentang mereka yang dibatasi oleh tembok-tembok, dengan rasa yang tidak berdaya dan perasaan ingin diselamatkan.” Demikian disampaikan oleh pembawa acara dalam pembukaan forum berbagi pengalaman melintasi batas.
Noé Herrea dari Mexico dan Josef Capacio dari USA tinggal sangat dekat dengan perbatasan yang memisahkan kedua negara mereka. Noé harus melintasi batas setiap hari untuk pergi sekolah. Hal itu berarti bahwa Noé harus mengantri selama berjam-jam untuk melintasi batas. Darimana Noé mendapatkan kekuatan dan harapan untuk melakukan itu? Dari persaudaraannya dengan Josef dan kaum muda Amerika Utara lainnya yang bekerjasama untuk memajukan mentalitas untuk saling menghargai dan saling peduli satu sama lain.
Aziz dari Irak merupakan pengungsi yang saat ini tinggal di Perancis. Banyak yang akan berpikir bahwa Aziz tentu beruntung dan bahagia dapat tinggal di Perancis. Namun Aziz memberikan satu pertanyaan pada seluruh peserta Genfest: “Pernahkah kalian berhenti sejenak dan berpikir apa artinya dan bagaimana rasanya ketika satu hari tiba-tiba kamu tercabut dan kehilangan segalanya; keluarga, rumah, impian-impian…Apa yang akan kamu lakukan?”

Kisah lain tentang Egide dan Jean Paul. Satu dari Rwanda, dan seorang lagi dari Burundi yang bertemu saat kejadian yang sangat dramatis. Jean Paul sedang menunggu bus di halte bus saat dia diserang nyaris meregang nyawa. Egide menyelamatkan Jean Paul membantunya selama dirawat berbulan-bulan; sebuah tindakan yang luar biasa mengingat luka yang tidak dapat dilupakan akibat konflik akhir-akhir ini antara Burundi dan Rwanda. Jean Paul mendapat semangat untuk hidup dan untuk segera sembuh dari Egide. Jean Paul masih menggunakan tongkat saat berbagi pengalaman. Mengakhiri kisah pengalaman mereka, Egide dan Jean Paul saling berpelukan disertai air mata haru akan persaudaraan mereka. Seluruh peserta Genfest mendukung mereka dengan tepuk tangan yang riuh. Sebuah pertanyaan atas pengalaman Jean Paul dan Egide diberikan untuk peserta Genfest, “Adakah satu resep yang dapat digunakan untuk melampaui tembok-tembok dan penghalang-penghalang ketika segala sesuatu didorong untuk melakukan kearah yang berlawanan?”
Genfest ditutup dengan misa konseleberasi yang dipimpin oleh Kardinal Luis Antonio Tagle. Hadir juga dalam misa itu Archbishop Gabriele Giordano Caccia – Apostolic Nuncio untuk Filipina, para uskup dan sejumlah imam. Dalam homilinya Kardinal Tagle menyampaikan bahwa kelemahan juga merupakan rintangan yang diberikan kepada kita. Akan tetapi ketika kita mampu melampaui rintangan itu tidak hanya ingin menunjukkan siapa kita tetapi juga menemukan sumber rahmat yang menguatkan diri kita sehingga kita dapat bersyukur dengan berseru “rahmatMu cukup bagimu”. “Apakah kita masih percaya akan rahmat Allah? Apakah kita masih percaya pada kekuatan Yesus yang mampu menyelesaikan karya melalui kelemahan.”
Kardinal tetap meminta agar kaum muda terus berkarya untuk mencapai keberhasilan studi, kesuksesan pekerjaan tetapi jangan mengabaikan akan adanya kelemahan, keberdosaan. “Lampaui rintangan-rintangan itu dan temukan rahmat dibalik rintagan itu maka kamu akan takjub akan kekuatan yang kamu dapatkan hingga mampu melampuinya. Kita harus tetap setia pada semangat dan misi yang dibawa oleh Genfest ini!”
Dengan rasa haru, Kardinal meminta maaf atas nama generasi mereka yang mewariskan dunia yang masih diperintah dengan pemisahan, diskriminasi dan saling menghujat, hati yang sangat keras. Cardinal juga meminta maaf karena telah mewariskan planet yang seharusnya bersih, planet yang sangat panas dengan hujan yang sangat deras, bahkan ketika kaum muda yang menjelajah gua yang menjadi terperangkap banjir selama berhari-hari. Kami meminta maaf ketika kalian menyalakan televisi, membuka media social komunikasi; banyak sekali berita-berita buruk dan diskriminasi daripada berita-berita baik. Sambil meminta maaf, kami juga memohon agar kalian kaum muda dapat menerima warisan yakni kasih Yesus, rahmat yang dicurahkan Allah kepada kami yang tidak akan ada habis. Kami berharap agar kalian mewariskan ini kepada anak cucu kalian, dunia yang lebih baik. Belajarlah dari kesalahan kami dan kami yakin kalian memiliki energy untuk melakukannya, kalian memiliki keinginan yang baik untuk melakukannya dan kita memiliki Yesus yang telah mengalami penderitaan, wafat, bangkit dan hidup selamanya. Pergilah, tembuslah rintangan akan kesedihan, persekusi dan perang karena dibalik rintangan itu seseorang telah menantimu yakni Yesus kita yang terkasih.
Maria Voce, Presiden Gerakan Focolare, dalam sambutan untuk penutup Genfest 2018, memberikan tiga kata yang merupakan sebuah program hidup untuk seluruh kaum muda yang sekarang kembali ke negara mereka. Tiga kata itu yakni Kasih (Love), Mulai kembali (Start again), dan berbagi (Share). Kasihilah orang-orang dari negara lain, agama lain, budaya lain seperti kamu mengasihi orang dari kelompok kamu sendiri. Mulailah kembali tanpa kehilangan harapan bahwa dunia lain yang damai adalah mungkin. Bagilah kekayaan pribadi dan kekayaan bersama, sumber-sumber daya dan beban-beban hidup. Maria Voce menutup sambutannya dengan memberikan tantangan kepada peserta Genfest untuk menjadi pria dan wanita kesatuan, orang-orang yang menghargai kekayaan-kekayaan dari setiap budaya bahkan dapat mengetahui bagaimana memberikan kekayaan itu kepada yang lain dan akhirnya menjadi pria dan wanita sedunia.
Diakhir acara penutupan Genfest diumumkan bahwa Genfest 2024 akan diadakan di Brasil. Kegiatan Genfest didahului dengan program Pre-Genfest yang diselenggarakan serentak pada tanggal 01-03 Juli 2018 di beberapa negara di Asia termasuk Indonesia. Peserta Pre-Genfest memilih sendiri tempat Pre-Genfest sesuai dengan program yang ditawarkan masing-masing kota penyelenggara Pre-Genfest. Di Indonesia, PreGenfest dilaksanakan di kota Medan dan Yogyakarta. Beberapa kaum muda dari Austria, Brasil, Lithuania, Jerman dan Swiss dating ke kota Medan untuk mengalami perjumpaan dengan berbagai budaya agama di kota Medan. Pada sat yang sama, 150 seminaris dari berbagai negara juga berkumpul di Manila pada Kongres Seminaris untuk memperdalam spiritulitas Gerakan Focolare.
Sebanyak 1000 kaum muda mengikuti program Post-Genfest di Tagaytay Filipina pada tanggal 08-13 Juli 2018 untuk semakin mendalami semangat dan misi Genfest. Mengambil tema “Deeper and Beyond”, para peserta Post-Genfest mengikuti tujuh workshop yang telah dipilih masing-masing peserta yakni Global Citizenship –Education to the Peace, Life Direction : Open Your Heart, Social Renewal, religions in Harmony, One Earth – Environmental Stewardship, Social Media Beyond Borders dan Economi of Communion.
Post-Genfest menghasilkan Manifesto yang bertujuan untuk menciptakan dunia bersatu dan persaudaraan universal. Manifesto ini disampakan kepada Mrs. Lila Ramos Shahani, Sekretaris Jendral The Philipine National Commission for UNESCO. Mrs. Shahani mengapresiasi kegiatan Genfest dan Post-Genfest yang diselanggarakan di Manila dan Tagaytay. Beliau takjub akan kegiatan Genfest ini dan merasa kecolongan akan Gerakan Focolare dan Genfest yang telah bertahun-tahun terlaksana tetapi luput dari perhatiannya. Mrs. Shahani akan menyampaikan kegiatan Genfest dan Gerakan Focolare ke pertemuan badan UNESCO.
Genfest merupakan sebuah undangan untuk membangun jembatan persaudaraan universal dan berkontribusi untuk memecahkan hambatan ketidakpedulian, prasangka dan egoisme demi sebuah dunia yang bersatu.
Go beyond all borders…!!!
(Kristinus Munthe)
///// Laporan (reportase) ini dikirim untuk majalah Keuskupan Agung Medan. Namun, penulis (Kristinus Munthe) berkenan untuk dimuat di media lain, selama tujuan untuk dokumentasi kegiatan Genfest dan Focolare.