Mulanya Menjemaat hendak merujuk riwayat Paroki St. Petrus Rasul – Rantauprapat kepada Jahuria Lukas Purba (91). “Mengenai sejarah gereja Paroki Rantauprapat, saya coba ceritakan. Meski tidak begitu rinci, karena banyak yang telah terlupa,” ujar Oppu yang pernah menjabat sebagai Legislator kabupaten Labuhanbatu (sebelum pemekaran menjadi tiga kabupaten).
Ternyata, tokoh masyarakat cum militer tersebut memiliki kisah pengalaman iman menarik, juga menegangkan. Berikut penuturan Oppu kelahiran 17 Agustus 1927, asal Haranggaol, kabupaten Simalungun tersebut.
***
Saya adalah orang berkarakter polos-polos saja. Mungkin karena saya pernah di militer, saya hanya tahu jalankan perintah saja.
Jika ditanyakan mengenai iman dan semangat saya dalam pelayanan di Gereja Katolik, maka semua itu berakar dari besarnya kasih Tuhan dalam hidup saya dan keluarga. Saya bisa rasakan Tuhan betul-betul kasih pada saya. Selama hidup, sesusah apa pun, saya selalu tertolong oleh iman kepercayaan kepada Tuhan. Banyak gejolak yang saya hadapi, tapi selalu lepas. Terselesaikan dengan baik.
Ketika mengenyam pendidikan di Siantar, saya sudah turut menjadi misdinar. Ini lah menjadi bekal iman teguh, sehingga saya tidak ada hati yang mendua untuk Tuhan.
Semasa Indonesia masih di bawah rezim Jepang, saya ikut melebur dalam Heiho. Organisasi militer ini adalah pasukan yang terdiri dari bangsa Indonesia yang dibentuk oleh tentara pendudukan Jepang di Indonesia pada masa Perang Dunia II.
Menjelang akhir pendudukan Jepang di Indonesia, Heiho dibubarkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) setelah Jepang menyerah pada Belanda dan sebagian anggotanya dialihkan menjadi anggota Badan Keamanan Rakyat (BKR).
Kemudian, saya mendapat informasi bahwa seluruh orang Indonesia yang masuk militer Jepang, harus mendaftar di Kabupaten. Saya pada waktu bertepatan di Tapanuli. Di Kodim Sidempuan. Setelah tahun 1950-an.
Setelah mendaftar, saya dan seluruh pendaftar lainnya malah tidak dibolehkan pulang, dan diperintahkan tinggal di asrama. Selama lima tahun, 1945-1950, kami tidak mendapat gaji. Tidak ada anggaran pemerintah. Sementara untuk kebutuhan pangan, kami meminta dari kepala desa.

Melihat Teman-temanku Meregang Nyawa Diserang Musuh
Pasca kemunduran Jepang, kemudian terjadilah perang dengan Belanda. Karena mereka ingin kembali menjajah negara kita.
Selama masa perang tersebut, saya beberapa kali merasakan luar biasa kasih perlindungan Tuhan. Di antaranya, pengalaman yang paling membekas, dalam satu upaya menyeberangi benteng sawah, pada malam hari, kami dihujani tembakan musuh.
Dalam kegelapan, kami harus terus bergerak dan balas menyerang. Sementara musuh menerjang kami dari jarak 15 meter. Terjadilah insiden tembak-menembak. Usai beberapa waktu, barulah saya sadar, dan mendapati teman saya di sebelah kiri dan kanan tewas seketika. Saya selamat sebab ketika mendengar rentetan tembakan, saya lekas tiarap. Saya berdoa dan mengucap syukur pada Tuhan, sebab saya selamat saat itu.
Satu pengalaman perang lainnya, yakni ketika kami berjaga-jaga di daerah Horaba. Saat itu, jika saya tidak salah, 17 orang tewas dalam perang tersebut. Pihak musuh bisa menjebak kami, karena pengalaman dan kelebihan senjata mereka.
Pengalaman semasa perjuangan di militer menempa iman saya. Maka dalam hidup ini, saya juga tidak peduli atas setiap cobaan. Tidak ada rasa takut terhadap apapun, jika Tuhan menyertai. Semangat serupa juga saya alami, ketika turut dalam pelayanan menggereja di Rantauprapat.
Turut dalam Membangun Gereja Katolik Rantauprapat
Selepas pensiun dari karir militer, saya dipercaya menjadi wakil rakyat di kabupaten Labuhanbatu (Fraksi Golkar). Kepercayaan masyarkat tersebut juga menjadi landasan untuk ikut membangun Gereja Katolik di Rantauprapat. Pasca tragedi terbakarnya Gereja Stasi Rantauprapat di Padang Matinggi, kami seluruh umat bahu-membahu untuk membangun gedung gereja stasi yang baru di Rantauprapat.
Bukan hal mudah untuk bangkit selepas tragedi tersebut. Bagaimana perasaan kami saat itu? Ya, bagaiamana lah perasaan saat gereja kita dibakar, tak bisa diungkap dengan kata-kata saja. Padahal saat itu, baru saja kami lengkapi bangku-bangku dan perabot di dalamnya.
Namun menyusul tragedi tersebut, umat semakin berbuat dan berkorban. Seiring dengan ibadat dilakukan di rumah-rumah, kami tetap berencana agar pembangunan gereja segera terwujud.
Waktu itu ada dr. Maria dan beberapa umat yang sangat semangat mencari lahan baru. Kemudian, kami mendapat lahan empat hektar di tempat sekarang ini. Kami lekas membayar lahan tersebut, yang didahulukan dr. Maria. Kami langsung usahakan pembangunan gedung pengganti gereja yang lama.
Pada saat itu, saya bertepatan menjadi anggota DPRD, sudah pensiun dari militer. Puji Tuhan, ternyata doa dan upaya kita mendapat dukungan dari berbagai pihak. Termasuk Bupati Labuhanbatu, Djalaluddin Pane yang turut prihatin atas tragedi kebakaran tersebut, dan ikut juga membantu dana pembangunan.
Waktu itu, kami membangun gereja nya nggak besar. Tapi, ini memang berkat Tuhan ya. Setelah pembangunan itu, jumlah umat pun langsung cepat bertumbuh.
Yang sangat menguntungkan bagi kita, komplek gereja sebelumnya ada di pinggir. Namun, karena adanya pembangunan jalang lingkar di Rantauprapat, pas pula di depan gereja kita ini. Pembangunan tersebut dilakukan pasca pembangunan gereja stasi Rantauprapat.
Kini status Gereja Katolik Rantauprapat telah menjadi Paroki. Harapan saya sudah terkabul. Bahagia, telah menjadi kenyataan. Termasuk dibangun Catholic Center dan Gua Maria di komplek gereja Paroki Rantauprapat. Saya akan datang pada saat pemberkatan Gua Maria. Walaupun saya berjalan tertatih-tatih. Tapi saya tetap semangat.
Sebagaimana diceritakan kepada Menjemaat (Ananta Bangun)
