PAROKI ST. PETRUS RASUL – RANTAUPRAPAT “DITERPA TRAGEDI, UMAT SEMAKIN MAU BERBUAT & BERKORBAN”


Gereja Paroki St. Petrus Rasul – Rantau Prapat (latar depan) | Copyright: Komisi Komsos KAM

Menjemaat bertanya kepada beberapa umat dan pengurus DPP setempat: Apakah riwayat Paroki St. Petrus Rasul – Rantauprapat pernah dimuat di majalah resmi Keuskupan Agung Medan? Mereka menggeleng, seraya berharap agar profil gereja tersebut bisa diterbitkan. Tulisan pesona Gereja Paroki St. Mikael – Tanjungbalai di Menjemaat edisi sebelumnya, sungguh bermanfaat sebagai rujukan mula berkembangnya umat di Paroki Rantauprapat.

Buku Kenangan Pesta Emas 50 Tahun Gereja Katolik St. Petrus Rasul – Stasi Rantauprapat, dan wawancara bersama Parokus Rantauprapat, RP Nattye SX dan beberapa umat, turut membantu tulisan di kolom Pesona Gereja ini.

***

Di dalam Buku Kenangan Pesta Emas 50 Tahun Gereja Katolik St. Petrus Rasul – Stasi Rantauprapat, Jabahot Simamora menuliskan, bahwa Gereja Katolik di Rantauprapat mulai terbentuk pada tahun 1954.

“Diawali oleh kerinduan beberapa orang perantau ke daerah Labuhanbatu, yakni Lusius Ulbanus Naibaho, Alman Silitonga dan bapak Hutabarat, secara kebetulan berjumpa atau dipertemukan oleh Tuhan. Mereka dengan semangat untuk membuat ibadah setiap hari Minggu di rumah mereka secara bergantian,” demikian tulis Jabahot.

Persekutuan umat kemudian berkeinginan untuk membangun sebuah rumah ibadah. Maka, seorang tokoh umat mewakili Gereja Katolik Rantauprapat, Lusius U. Naibaho membeli sebidang tanah pada 13 Maret 1955 di Padang Matinggi (kini adalah kelurahan di Kecamatan Padang Sidempuan Selatan, Padang Sidempuan). “Sebab, jika atas nama gereja kemungkinan besar orang setempat enggan menjualnya. Selang satu hari kemudian, kepemilikan surat tanah diganti dari Lusius menjadi nama gereja.”

Pada saat itu, pengurus gereja adalah Lusius sebagai Vorhanger, dibantu Alman Silitonga dan bapak Hutabarat serta sejumlah jemaat sekira 16 KK. Setahun berselang, gedung gereja rampung dibangun, dan diberkati oleh Uskup Vikariat Apostolik Medan (pada masa itu), Mgr. Mathias Leonardus Trudon Brans OFM Cap.

Kepada Menjemaat, seorang tokoh umat, J.L. Purba menuturkan, luas tanah di daerah seberang Sungai Bilah tersebut sekira 1,4 hektar. “Saat itu komplek gereja stasi berada di sekitar penduduk non-Kristen. Akan tetapi, kami tidak menempatkan seseorang sebagai penjaga di komplek gereja tersebut,” katanya.

Seiring waktu, jumlah jemaat pun turut bertambah. Keberadaan umat saat itu lebih kurang 20 KK, atau 80 jiwa. Pada 4 April 1965, diadakan perayaan Krisma pertama di gereja stasi tersebut. “Kehadiran S.S. Samosir (mantan seminari Parapat, seangkatan Mgr. A.G.P. Datubara OFM Cap) turut memacu perkembangan gereja. Terutama dalam menerapkan tata peribadatan. Samosir tanpa pamrih mencurahkan pikiran dan tenaga dalam peribadatan Gereja. Dalam benaknya, “Usahakan Berbuat yang Baik” agar selalu dikenang orang,” tulis Jabahot.

Dengan latar belakang sebagai mantan seminari, S.S. Samosir mengajak teman-temannya untuk membantu kegiatan Gereja (Evangelisasi) dari rumah ke rumah, dari desa ke desa, antara lain pengajaran doa rosario dan pelajaran agama hingga Aek Nabara, bersama Imanuel Pangaribuan dan Mualim Simamora.

Sakramen Pembaptisan di rumah seorang umat pasca terbakarnya gedung gereja stasi di padang matinggi (Sumber; Buku Kenangan 50 Tahun Stasi Rantauprapat)

Tragedi 1980 Tak Surutkan Semangat Menggereja

Pada 3 Februari 1980, gereja yang didirikan di Padang Matinggi, habis dilalap api (terbakar). Penyebab kebakaran tersebut tidak jelas diketahui. Kami semuanya pun terkejut, tidak ada yang bisa menolong ke sana. Gedung gereja terbakar habis,” kenang J.L. Purba. “Bagaimana perasaan kami saat itu? Ya, bagaiamana lah perasaan saat gereja kita dibakar, tak bisa diungkap dengan kata-kata saja. Padahal saat itu, baru saja kami lengkapi bangku-bangku dan perabot di dalamnya.”

Meski dilanda trauma, umat pun kembali melakukan ibadat dari rumah ke rumah sebagaimana pada tahun 1954. Bahkan, sempat pula menumpang untuk beribadat di SMEA Negeri 1 Rantauprapat (kini SMK Negeri 1 Rantauprapat). Dalam peristiwa ini, umat dan pejuang pendiri gereja merenungkan perjuangan yang sejak awal hingga terjadinya peristiwa tersebut merasa lemah dan kesal.

Namun, Jabahot menuliskan, menyusul tragedi tersebut, umat semakin berbuat dan berkorban. Seiring dengan ibadat dilakukan di rumah-rumah, mereka tetap berencana agar pembangunan gereja segera terwujud.

Dr. Maria Pratiwi, seorang umat setempat, turut mencari pertapakan untuk membangun gedung gereja yang baru. Dan, akhirnya berhasil menemukan lahan pertapakan seluas 1 hektar. Pada 28 Oktober 1981, diadakan peletakan batu pertama yang dipimpin RP Luigi SX. Di samping itu, turut hadir juga Bupati Labuhanbatu, Djalaluddin Pane dan kalangan Muspida setempat. Bupati Labuhanbatu juga memberikan bantuan dana sebesar Rp500.000,-.

“Waktu itu ada dr. Maria dan beberapa umat yang sangat semangat mencari lahan baru. Kemudian, kami mendapat lah emapt hektar di tempat sekarang ini. Kami lekas membayar lahan tersebut, yang didahulukan dr. Maria. Kami langsung usahakan pembangunan gedung pengganti gereja yang lama,” ujar J.L. Purba. “Pada saat itu, saya bertepatan menjadi anggota DPRD, sudah pensiun dari militer. Puji Tuhan, ternyata doa dan upaya kita mendapat dukungan dari berbagai pihak. Termasuk Bupati Labuhanbatu, Djalaluddin Pane yang turut prihatin atas tragedi kebakaran tersebut, dan ikut juga membantu dana pembangunan.”

Peletakan batu pertama gereja stasi rantauprapat – disaksilan Bupati Labuhanbatu, Djalaluddin Pane dan Pastor luigi (sumber; Buku Kenangan 50 Tahun Stasi Rantauprapat)

Proses pembangunan sempat terkendala perihal dana, namun segera bisa disiasati. Di antaranya melalui hasil penjualan aset tanah bekas gereja di Padang Matinggi. Gereja baru stasi Rantauprapat, dengan daya tampung 160 orang, kemudian diberkati oleh Uskup Agung Medan, Mgr. A.G.P. Datubara OFM Cap pada 15 Mei 1982.

J.L. Purba mengakui, pembangunan gereja stasi Rantauprapat, pasca tragedi kebakaran, disesuaikan dengan jumlah umat pada saat itu. “Kami membangun gereja nya nggak besar. Tapi, ini memang berkat Tuhan ya. Setelah pembangunan itu, jumlah umat pun langsung cepat bertumbuh.”

“Yang sangat menguntungkan bagi kita, komplek gereja sebelumnya ada di pinggir. Namun, karena adanya pembangunan jalang lingkar di Rantauprapat, pas pula di depan gereja kita ini. Pembangunan tersebut dilakukan pasca pembangunan gereja kita,” katanya. “Karena perkembangan umat yang hebat. Kongregasi Suster KYM lalu membuka sekolah Bintang Timur di sini. Sekolah tersebut berada dekat dengan gereja kita kini.”

Gedung Gereja lama – saat masih Stasi Rantauprapat; dibangun setelah tragedi kebakaran di Padang Matinggi | Copyright” Komisi Komsos KAM

Untuk mengatasi masalah tersebut, pengurus gereja stasi kemudian memutuskan untuk membangun gedung gereja yang lebih besar lagi. Peletakan batu pertama diadakan pada 1994, yang dipimpin Mgr. Pius Datubara OFM Cap.

“Saat pembangunan ini, umat mengumpulkan iuran Rp500,-/ minggu dari setiap keluarga serta dari donatur dermawan. Pembangunan gereja akhirnya rampung dan diberkati oleh Mgr. Pius Datubara OFM Cap pada 18 Juni 1995. Gedung gereja tersebut menjadi tempat peribadatan umat hingga kini. Saat merayakan pesta emas di tahun 2006, Stasi Rantauprapat telah memiliki umat sebanyak 210 KK, atau sekira 905 jiwa,” tulis Jabahot.

Sepuluh tahun berselang, pada 8 Mei 2016, status Gereja Katolik Rantauprapat pun diangkat menjadi Paroki. “Harapan saya sudah terkabul menjadi paroki. Bahagia, telah menjadi kenyataan. Termasuk dibangun Catholic Center dan Gua Maria. Sudah lengkap lah. Kalau dilihat sekarang, jadi seperti kurang lebar,” ungkap J.L. Purba. “Saya akan datang pada saat pemberkatan Gua Maria. Walaupun saya berjalan tertatih-tatih. Tapi saya tetap semangat.”

Parokus Rantauprapat, RP Nasarius Rumairi SX, kepada Menjemaat, mengaku tidak melihat tantangan dalam pelayana di paroki tersebut. “Sama saja dengan tempat yang lain. Saya merasa lancar-lancar saja. Saya mengundang DPP dan umat setiap kali menjalankan tuga,” kata Imam Xaverian.

“Mengenai harapan jangka panjang atas Paroki Rantauprapat? Saya berprinsip, siapa yang hidup akan melihatnya. Saya tidak pernah mengharapkan apa=apa dari pastor setelah saya. Karena mereka yang akan mengambil keputusannya sendiri. Setiap orang adalah pangeran pada zamannya. Dia adalah pemikir dan pelaksana pada zamannya,” pungkas Pastor, yang akrab disapa Nattye.

 

/// ditulis untuk majalah resmi Keuskupan Agung Medan, MENJEMAAT

(Ananta Bangun | Referensi: Buku Kenangan 50 Tahun Gereja Katolik St. Petrus Rasul – Stasi Rantauprapat |Wawancara dengan tokoh umat, J.L. Purba & Parokus Rantauprapat, RP Nattye SX)

Gereja Paroki Rantau Prapat (latar samping) | Copyright: Komisi Komsos KAM
buku kenangan perayaan pesta emas 50 tahun stasi rantauprapat