Jika Orang tua Tidak Mengenalkan Yesus pada Anak-nya, Maka Dunia Ini Yang Akan Mengisi dan Membawanya Sama Dengan Dunia ini


keluarga Amazone Kaban

Amazone Kaban adalah seorang mentor dan sosok abang dalam hidupku. Dari dia, aku belajar banyak mengenai komputer, penghayatan akan kasih Tuhan Yesus, serta kebijakan saat menjalani masa-masa jomblo penuh kegalauan.

Beberapa minggu lalu, kami sempat bercengkerama dan bertukar fikiran perihal ‘menulis.’ Telah lama aku kagum, tentang bagaimana dia dan kak Susantri dalam mengasuh putra mereka untuk mengenal Yesus. Dengan cara, gemar membaca Alkitab. Menurutku, itu amat langka didapati di masa kini. Di samping itu, tulisan ini adalah sungguh berasal dari kisah pengalaman mereka sendiri.

Aku meminta bang Amazone untuk menuliskan perihal pengajaran tersebut. Dia menyanggupi, seraya mengaku mulai belajar gemar menulis juga. Dan berikut (tulisan) penuturan pengalaman keluarga mereka. Puji Tuhan!

***

Saya hendak berbagi pengalaman, sebagai orang tua mengajarkan anak membaca Alkitab. Kami adalah keluarga kecil yang dikaruniakan seorang putra berumur 6 tahun. Mulanya, Saya dan Istri amat terbeban untuk mengajari anak kami, agar mengenal Kristus sedari dini. Kami menyadari bagaimana mudahnya dunia ini mengisi anak kami melalui Facebook, Youtube, ponsel, televisi. Media-media tersebut secara gencar mengisi hati, otak dan pikiran anak di masa pertumbuhannya.

Kami memperhatikan bagaimana anak kami mudah sekali mengenal sesuatu yang baru. Bahkan, tokoh yang tidak pernah kami perkenalkan. Misalnya: tokoh tokoh superhero seperti Batman, Superman, The Avanger. Ternyata, anak kami telah mengenalnya melalui reklame, film, gambar di media sosial dan Internet. Dan, semua itu lekat dan menarik bagi mereka.

Sedang untuk mengenal seorang tokoh yang luar biasa seperti Yesus Kristus tidak cukup dilakukan dengan menyuruhnya mengikuti Sekolah Minggu sekali seminggu, yang kadang hanya diceritakan tanpa visual dan begitu sulit baginya menerima tokoh seperti Tuhan Yesus itu.

Kami berdua sebagai orangtua merasa bertanggungjawab untuk memperbaiki apa yang salah. Maka, kami belajar komitmen untuk mengurangi waktu bagi anak kami menonton TV, membatasi waktu untuk bermain game dan internet. Sebaliknya, kami meluangkan lebih banyak waktu untuk kebaktian keluarga setiap malam.

Adapun bahan yang kami angkat adalah keempat Injil yang dimulai dari kitab Matius. Kami membacakan per satu perikop saja, bukan satu pasal. Di usia lima tahun, anak kami belum bisa membaca; maka kami membacakannya untuk dia. Lalu menceritakannya ulang dengan versi bahasa kami sendiri yang kami pilih cocok untuk bahasa anak-anak.

Ketika umur 6 tahun, ia sudah mulai bisa mengeja maka kami menyuruh dia membaca satu ayat dalam perikop itu. Sehingga sekarang, untuk beberapa ayatpun ia sudah mampu membaca sendiri, walaupun belum dengan cepat. Namun kami melihat membaca Alkitab ini juga membantu anak untuk lebih cepat membaca buku pelajarannya. Ini menjadi berkat, sebab kami tidak perlu menambah waktu untuk les membaca oleh pihak sekolah. Maka, kami merasa bersyukur akan hal tersebut.

Sekarang membaca Alkitab merupakan suatu waktu yang menyenangkan baginya. Kami boleh semakin menjalin komunikasi dan hubungan yang baik dalam keluarga. Pengenalannya akan Yesus juga semakin bertambah. Dia juga semakin suka berdoa, jika hendak sekolah, minum vitamin, hendak bepergian, mau tidur dan hal-hal lain yang kami sendiri tidak terpikir namun ia tetap berdoa, seperti mati lampu, ada petir dan ketika ia menyadari kesalahannya, dia langsung berdoa dan memohon ampun kepada Tuhan dan memohon ampun juga kepada kami.

Sebagai contoh ketika kami belajar tentang Lukas 16 ayat 10 – 18 berjudul: “Setia dalam perkara kecil”. Kami membaca satu ayat bergantian, sesudah itu kami orangtua pun menceritakan kembali tentang perikop ini dengan sederhana sambil mengambil satu pokok poin penting saja yang harus ditekankan.

Kala itu, kami menekankan dalam hal setia perkara kecil, kami mengatakan,”My son kam mesti belajar dalam perkara kecil, apa perkara kecil yang biasa kam kerjakan?” Dia berpikir tapi dia belum tahu apa itu contoh perkara kecil. Kami memberi contoh tugasnya setiap sore, yaitu menyalakan lampu depan, belakang dan samping rumah.

Sampai saat ini hal itu masih harus kami ingatkan, karena sering dia lupa karena bermain. Kami katakan, “Kamu harus setia dalam menghidupkan lampu itu, mudah kan? Tidak sulit kan mengingat untuk menghidupkan lampu, nah kamu mesti ingat, itu tugas kamu jangan harus disuruh-suruh lagi baru dilakukan.”

“Lalu apa perkara besarnya?” tanyanya.

“Nanti jika kamu sudah lulus itu baru kamu akan mendapat perkara besar yang lebih hebat lagi, seperti membantu ibu mencuci piring, menyapu teras, sesuatu hal yang kamu sudah bisa lakukan. Tapi kamu harus lulus dulu dalam menghidupkan lampu. Bisa?”

Dengan cepat ia berkata, “Bisa!”

Kami tahu dia mudah mengatakan namun dalam prakteknya langsung masih terusnya butuh pengawasan dan bimbingan namun satu hal yang boleh kami syukuri bahwa menanamkan suatu yang baik dari teladan Yesus itu lebih indah.

Dimulai dari peran kita orangtua, yakni menyadari bahwa membawa anak itu kepada kebenaran Tuhan melalui firman-Nya. Karena waktu-waktu untuk anak itu akan berlalu dengan cepat, jika anda tidak mengisinya dengan benar melalui Alkitab dan pengenalan akan Yesus, maka dunia ini yang akan mengisinya dan membawanya menjadi sama dengan dunia ini.

Demikianlah pengalaman ini saya tuturkan. Besar harapan saya mari kita sama-sama membawa anak-anak kita kepada Kristus. Shalom!

Copyright; Pexels.com