“KEBENARAN ITU AKAN MEMERDEKAKAN KAMU”


Artikel untuk Materi Presentasi

dalam “Semiloka UU ITE & Etika Komunikasi di Dunia Maya”

dilaksanakan di Paroki Martubung – Medan, 16 Juni 2018

 

Pendahuluan

Sebelumnya perkenankan saya memperkenalkan diri. Nama saya, Ananta Bangun. Seorang penulis dan pegawai di Komisi Komunikasi Sosial (KomSos) – Keuskupan Agung Medan. Saya beroleh kesempatan untuk menyampaikan materi ini melalui pimpinan saya, Romo Santo OSC dan pihak panitia, bapa Relita Buaton.

Suatu kehormatan bisa terlibat sebagai pemateri dalam “Semiloka UU ITE & Etika Komunikasi di Dunia Maya” di Paroki Martubung ini. Sebab, perihal komunikasi menjadi bagian karya kami. Saya sendiri gemar memberdayakan Internet untuk menambah pengetahuan, berbagi karya dan berkomunikasi — dari keluarga hingga dengan rekan sejawat.

Melalui perbincangan via Whatsapp, saya mendapati topik yang diharapkan panitia adalah: “Etika komunikasi dan media sosial dari sisi spiritualitas serta pesan Paus Fransiskus dalam hari Komsos Sedunia tahun 2018.”

Topik itu, menurut saya, agak ruwet. Dan saya coba menafsirkannya menjadi: “Etika berkomunikasi di dunia maya, menyerap pesan Paus Fransiskus dalam Hari Komsos Sedunia 2018.” Kiranya tafsiran ini tidak melenceng dari harapan panitia.

Inter Mirifica & Hari Komunikasi Sosial Sedunia

Sebelum memusatkan perhatian berkenaan tentang ‘etika berkomunikasi di dunia maya’, amat baik menelusur sejenak sejarah Hari Komunikasi Sosial Sedunia — yang khusus dirayakan Gereja Katolik. Dan kaitannya dengan Inter Mirifica.

Inter Mirifica atau Dekret tentang Upaya-Upaya Komunikasi Sosial adalah salah satu Dekret dari Konsili Vatikan Kedua. Sebagaimana umumnya dokumen-dokumen Katolik, judul Dekret ini diambil dari baris pertama dokumen, Inter Mirifica (dalam Bahasa Inggris, “Among the Wonderful”) atau “Di Antara yang Mengagumkan” (dalam Bahasa Indonesia, terjemahan awal baris ini adalah “DI ANTARA penemuan-penemuan teknologi yang MENGAGUMKAN, …”).

Istilah “Komunikasi Sosial”, terlepas dari kegunaan umumnya, telah menjadi suatu istilah yang sering digunakan dalam dokumen-dokumen Gereja Katolik untuk media massa. Sebagai suatu istilah, “Komunikasi Sosial” memiliki keuntungan karena konotasinya yang luas, di mana seluruh komunikasi adalah bersifat sosial.

Mungkin hanya sebagian kecil saja dari rohaniwan, biarawan-wati dan umat yang tahu dan pernah membaca dekrit itu. Biasanya yang kita dengar atau yang dibacakan setiap tahun pada Hari Komunikasi Sosial se-Dunia adalah Surat Gembala Paus atau Uskup. Sampai tahun 2018 sudah ada 52 surat gembala dari Bapa Paus tentang Hari Komunikasi Sosial dengan tema yang berbeda-beda. Terkini, Paus Fransiskus menyerukan Surat Gembala “Kebenaran itu  akan Memerdekakan Kamu” (Yoh 8:32) Berita Palsu dan Jurnalisme Perdamaian, pada 24 Januari 2018, yakni di hari peringatan wajib St. Fransiskus de Sales, Santo pelindung Komsos.

Inter Mirifica membatasi diri pada upaya-upaya komunikasi sosial. Di antara penemuan-penemuan itu yang paling menonjol ialah upaya-upaya, yang pada hakikatnya mampu mencapai dan menggerakkan bukan hanya orang perorangan, melainkan juga massa, bahkan seluruh umat manusia; misalnya: media cetak, sinema, radio, televisi dan sebagainya, yang karena itu memang tepatlah disebut media komunikasi sosial.

Gereja menyadari bahwa media komunikasi sosial dapat bermanfaat untuk mewartakan kabar gembira, terutama bila digunakan secara tepat. Namun Gereja juga cemas apabila manusia cenderung menyalahgunakannya. Media berwajah ganda. Konsili mendukung sepenuhnya perhatian dan kewaspadaan Paus dan Uskup dalam perkara yang penting ini. Sekaligus percaya bahwa ajarannya akan berguna tidak hanya bagi umat Katolik, tetapi bagi masyarakat umum.

Dekrit ini mendorong semua putera dan puteri Gereja perlu memanfaatkan secara efektif media komunikasi sosial dalam aneka karya kerasulan. Para gembala perlu menggunakan media ini untuk pewartaan Injil. Para awam diminta memberi kesaksian tentang Kristus melalui media dan menyumbangkan jasa-jasa mereka di bidang teknis, ekonomi, kebudayaan dan kesenian bagi kegiatan pastoral Gereja.

Dalam penuturan di atas, kita akan menemukan kaitan antara perayaan Hari Komsos Sedunia dengan Inter Mirifica. Dan tentu saja, perhatian besar Gereja Katolik terhadap upaya pastoral di Komunikasi Sosial, termasuk media Internet atau dunia maya.

Media adalah Pesan

Ada satu risalah yang kerap dijadikan acuan kala membahas media komunikasi — meskipun sudah sangat lawas, yakni “Understanding Media The extensions of man” karya Marshall McLuhan.

Salah satu bagian risalah tersebut yang kerap dikutip : ‘The Medium is the Message’ atau bisa diterjemahkan ‘Media adalah Pesan’. Untuk memahaminya, kita perhatikan ‘penemuan bola lampu’ sebagai contoh. Sebelum bohlam ditemukan, manusia terbiasa tidur pada saat malam hari nan gelap.Namun, habitus tersebut berubah drastis, paska bola lampu digunakan secara luas. Banyak orang tetap melakukan kegiatan di malam hingga subuh.

Dampak senada juga dapat ditemukan pada media Internet, yang menyingkirkan permasalahan ‘ruang’ dan ‘waktu’. Setiap penggunanya bisa terhubung dan menelusuri lautan informasi dengan bebas. Hal ini melahirkan beberapa ujaran — cenderung bersifat sindiran — seperti: “Mendekatkan yang Jauh, dan Menjauhkan yang Dekat” atau “Sebelum Internet, orang sulit mengambil keputusan karena sedikit informasi. Sekarang, orang sulit mengambil keputusan karena banyaknya informasi.”

Jangan Takut pada Hoaks & Ujaran Kebencian

Tadi (dalam halaman ke-2) telah disebut bahwa pastoral Komsos dicanangkan karena Gereja cemas manusia menyalahgunakan media. Tidak bisa dipungkiri bahwa teori “Komunikasi adalah tindak menyampaikan pesan” telah berkembang menjadi “Komunikasi adalah tindakan mempengaruhi”. Tujuan tersebut sangat tampak dalam khasanah ‘bisnis’ dan ‘politik praktis’.

Kecemasan Gereja bukan mengada-ada. Tindakan mempengaruhi via hoax (berita palsu) dan hate speech (ujaran kebencian) bahkan menjadi ‘kue’ bisnis, seperti terungkapnya Saracen. Kita pun mendapati bahwa kedua teknik (hoax & hate speech) juga digunakan dalam gerakan radikalisasi. Secara umum, teknik tersebut berhasil karena kebanyakan pengguna Internet (khususnya media sosial) Indonesia masih gagap. Ini disebabkan ada lompatan besar dari budaya tutur/ lisan ke budaya chatting (bincang) dan sharing (asal sebar), tanpa membudayakan kebiasaan membaca penuh pemahaman (reading comprehensive).

Jika kita cermat membaca di Alkitab, hoax sebenarnya telah lama terjadi di masa silam. Perhatikan, kisah Yusuf yang dituduh memperkosa Istri Potifar. Bahkan, Imam-Imam Kepala yang menuduh Yesus telah menghujat Allah. Kini, siasat menyebarkan berita palsu menyalahgunakan media komunikasi seperti Internet.

Dalam Pekan Komunikasi Sosial – Konferensi Waligereja Indonesia (PKSN-KWI) 2018 lalu, Menteri Komunikasi & Informatika RI, Rudi Antara mendorong netizen (pengguna Internet) Indonesia untuk ‘berpuasa’ memakai gawai untuk medsos. Dia menjelaskan, puasa medsos bukan berarti berhenti total menggunakan perangkat gawai atau sejenisnya. “Seperti jika kita puasa makan untuk kesehatan jiwa dan raga. Kita tidak mengkonsumsi makanan, namun mengurangi porsinya. Saya kira, demikian juga dampak kesehatan atau wellness serupa bisa kita peroleh dengan puasa medsos. Lagipula kita tidak akan mati jika pun tak pakai Facebook seharian,” ucap Rudi.

PKSN-KWI 2018 sendiri menggemakan Pesan Hari Komsos Sedunia 2018 oleh Bapa Suci Paus Fransiskus: “Kebenaran itu  akan Memerdekakan Kamu” (Yoh 8:32) Berita Palsu dan Jurnalisme Perdamaian”. Baik melalui workshop literasi dan seminar nasional. Di samping itu, Komsos KWI juga membuat sebuah film dengan judul sesuai pesan Paus yakni: “The Truth Will Set You Free: Kebenaran itu aka Memerdekakan Kamu.” [akan diputar di akhir sesi materi saya].

Paus Fransiskus, dalam surat gembala Hari Komsos Sedunia, menilai hoax amat efektif, terutama karena mampu mengelabui seolah-oleh berita yang benar dan masuk akal. “Kita semua tanpa kecuali bertanggungjawab menangkal berita palsu. Ini bukan tugas gampang, karena informasi sesat berakar pada retorika menyesatkan yang dengan sengaja dibuat sedemikian ringkas dan kadang-kadang memanfaatkan mekanisme psikologis yang mengelabui,” demikian disampaikan Paus.

Nasihat Praktis

Saya kira nasihat praktis mengenai etika komunikasi di dunia maya telah dijabarkan dengan sangat baik oleh kedua pemateri sebelumnya (bapa Zakarias Situmorang dan bapa Tonni Limbong).

Dalam semiloka ini, saya senang hati untuk berbagi sebuah karya pastoral dalam komunikasi: menulis. Yang saya maksud ‘menulis’ adalah menyebarkan pewartaan Allah melalui tulisan. Mengapa tulisan masih tetap berdaya kuat dalam pewartaan? Jawaban paling lugas adalah Alkitab. Coba kita bayangkan bagaimana jadinya pewartaan sabda Allah jika disampaikan secara lisan sejak zaman dahulu kala.

Walaupun Alkitab telah rampung dituliskan, namun menuliskan kesaksian atau sekedar menyebarkan peneguh iman dari firman Allah di dalam kitab suci masih sangat relevan. Bahkan, media Internet justru semakin memudahkan upaya tersebut. Kita bisa memanfaatkan Facebook, Blog (seperti Blogspot dan WordPress), bahkan Instagram dan Twitter (dengan jumlah teks tertentu). Semua media tersebut gratis digunakan dan tidak berbatas waktu.

Mari tuliskan kesaksian, pelayanan Gereja hingga sabda Allah paling mengena dalam sanubari hati. Kita hendaknya mengimbangi jumlah berita palsu dengan berita perdamaian di dunia maya. Sebagaimana Yesus yang mewartakan Kerajaan Allah di tempat orang ramai berkumpul.

Saya teringat pada sebuah ilustrasi, karakter “Lalat vs. Lebah”. Lalat, sebagaimana kita tahu adalah hewan yang senang mencari tempat kotor dan sarat penyakit, juga sering menyebarkan penyakit tersebut dengan hinggap di sembarang tempat.

Sementara lebah adalah hewan yang senang mencari bunga-bunga harum dan menyerap sari tanaman untuk menjadi madu. Salah satu makanan yang kaya gizi bagi mahluk hidup. Hendaknya demikianlah semangat kita untuk menjawab seruan Paus Fransiskus untuk menangkal berita palsu. Dengan mengenali ciri hoax hingga cara melawannya. Dan menyebarkan berita perdamaian di sekitar kita. Kita tentu yakin masih banyak orang baik di dunia ini. Utamakan selalu kaidah “Good News is Good News” (kabar yang baik adalah kabar baik dari sesama), bukan prinsip “Bad News is Good News”, yang kerap digunakan media-media arus utama untuk meraup keuntungan dengan mencapai jumlah pembaca paling banyak.

‘Pergilah, Kamu Diutus.’ ‘Amin.’

Penggalan kalimat di atas sering kita dengar sebelum mengakhiri perayaan Ekaristi. Dalam arti, pewartaan Kerajaan Allah belum lah usai. Dan, tentu saja, bukan hanya tugas kaum biarawan/ biarawati. Kita semua dipangggil untuk menjalankan peran tersebut, dapat dilakukan dengan menyebarkan berita perdamaian melalui dunia maya. Jika belum tahu, kita dapat saling berbagi pengetahuan dengan diskusi atau pelatihan.

Terima kasih untuk rahmat Allah, sehingga artikel ini dapat rampung dituliskan. Dan juga dukungan dari Romo Santo OSC, Romo Martin Nule SVD, Panitia dan keluargaku. Kiranya Tuhan selalu mencurahkan berkat-Nya dalam pastoral komunikasi sosial ini. Amin.

 

Ananta Bangun

Penulis/ pegawai Komisi Komsos KAM  | e-mail: anantabangun@gmail.com blog: anantabangun.wordpress.com

Rujukan

https://id.wikipedia.org/wiki/Inter_Mirifica

Makalah “Inter Mirifica: Dalam Semangat Konsili Vatikan II Memahami dan Mengintegrasikan Media Komunikasi Sosial dalam Karya Pastoral Gereja” oleh RP. Y.I. Iswarahadi SJ | link: http://orientasibaru.net/Vol_22_No_2_2013/OB.22.02.OKT.2013-02.pdf

http://www.mirifica.net/2018/02/19/pesan-paus-fransiskus-untuk-hari-komunikasi-ke-52-2018/

Click to access nw_research.pdf

http://www.bbc.com/indonesia/trensosial-41022914

https://anantabangun.wordpress.com/2018/05/12/menkominfo-ajak-netizen-indonesia-puasa-medsos/

https://turnbackhoax.id/