Belakangan ini, aku kehabisan gagasan untuk menulis. Ide yang mencuat malah mengingatkan pada tulisan penuh ilham oleh Milda Pinem, tepatnya artikel yang dia kirim buat majalah online Lentera (kini sudah mati suri). Sudah sejak lama aku memohon izinnya untuk kumuat di blog pribadi ini. Dan jawabannya, selalu dengan tulus mengiyakan. Walau telah berkali-kali membaca karya tulisannya ini, aku tetap meresapi petuahnya. Tak lekang oleh waktu.
***
Di perpustakaan sebuah universitas tempat saya biasa menghabiskan hari-hari belakangan ini, terdapat ruang baca di lantai dua. Sebuah area yang melarang siapa saja untuk berbicara (keras), tidak boleh gaduh, bising, tidak direstui membawa makanan, kecuali minuman yang tersimpan di dalam wadah yang aman. Tidak banyak mahasiswa yang betah di ruangan ‘soliter’ itu di hari-hari biasa, kecuali menjelang ujian.
Hanya segelintir orang termasuk para mahasiswa postgraduate ataupun para peneliti bermuka ‘kusut’ yang tampak sibuk membaca lembaran-lembaran kertas tua, yang selalu menjadi pengunjung setia. Tak ada yang cukup berani melangkah tergesa. Tiada yang punya nyali menyapa seseorang. Keheningan adalah keharusan. Diam adalah kewajiban. Lain kisah di ruang-ruang lainnya. Rasa ‘hangat’ takkan membuat kita merasa sendiri. Kita takkan merasa sepi. Siapa saja boleh tertawa. Diizinkan bergurau. Silahkan berdiskusi. Boleh makan (diam-diam).
Sungguh keheningan begitu menakutkan, demikian saya membatin. Kesunyian adalah teror. Ia tidaklah digandrungi. Siapakah yang bisa bertahan bersamanya? Tanpa ‘suara’, kita akan ‘tersesat’. Kita menjadi ‘bukan apa-apa’. Kita bermukim bersama ‘hantu-hantu’. Sungguh menyeramkan. Kita ‘dipaksa’ untuk menghadapi gejolak diri sendiri. Keramaian ternyata telah memberi jaminan keamanan dan kenyamanan. Banyak diam pun dipandang sebagai wujud kelemahan, ketidakpedulian, bahkan lemahnya kehendak.
Celotehan banal nan dangkal lebih diminati. Mereka berlomba dipertontonkan entah di media sosial, surat kabar, televisi, atau di mana-mana. Kita merelakan diri terperangkap di dalam rimba kata-kata, gambar-gambar, dan imaji-imaji. Kita menceburkan diri ke dalam samudera kebisingan yang tak bertepi. Suara dan kata adalah candu.

Tapi tak demikian halnya bagi Kardinal Robert Sarah. “Keheningan lebih berharga dari semua karya manusia. Karena ia mengekspresikan Tuhan. Revolusi sejati terlahir dari keheningan” (hal. 54), ungkap sang Kardinal di dalam buku-nya The Power of Silence: Against the Dictatorship of Noise (2017). Buku setebal 247 halaman dan ditulis di dalam bahasa Perancis dan Inggris. Kardinal Sarah lahir di Guinea, Afrika dan konon ditahbiskan menjadi uskup di usia 34 tahun.
Kardinal Sarah menawarkan sisi lain dari keheningan yang tidaklah seburam ruang baca di lantai dua. Dalam temperamen abad ke-21 ketika ‘emosi’ kata-kata dan aliran informasi tak sepenuhnya bisa kita kuasai, keheningan menjadi semacam ‘penemuan’. Barangkali ia adalah proses menemukan dan ditemukan, hingga kita pun bersua dengan sisi lain dari keheningan.
Bagi Kardinal Sarah, berharganya sebuah kesenyapan, keheningan, dan kesunyian tak lain dan bukan karena Tuhan. Hal inilah yang banyak mewarnai bukunya. Bisa dimengerti karena ia adalah seorang beriman dan religius. Tetapi ada sisi lain, menurut saya, yang juga digagas olehnya yakni ‘keheningan humanis’: “
Keheningan adalah kemerdekaan terbesar manusia” (hal. 35). Bila kebanyakan manusia di era posmodern lebih menikmati kegaduhan facebook dan berita televisi dibanding kesenyapan ruang baca di sebuah perpustakaan tua, maka ia agaknya diplomatis, berpura-pura, dan sentimentil karena “penerimaan diri yang sejati hanya mungkin dan ada di dalam keheningan” (hal. 50), ungkap sang Kardinal. Bila seseorang punya pilihan dan pengertian kapan waktunya untuk berdiam, kapan masanya untuk berkata-kata, maka “ia adalah hadiah besar bagi kemanusiaan” (hal. 67), karena dunia hari-hari ini adalah budak dari kebisingan dan ketidakpastian maka berbahagialah manusia yang mampu merevolusi dunia di dalam keheningan.
Tapi mungkinkah revolusi dunia terjadi di dalam keheningan? Kardinal Sarah menempatkan kemungkinan itu dengan puitis di dalam wujud ‘asketisme keheningan’: “Keheningan kadang pahit, tapi manjur. Ibarat pil yang harus ditelan si sakit. Mereka yang menelan ‘pil pahit keheningan’ akan merasa sendiri dan kesepian. Tapi percayalah bahwa yang bertahan akan mampu merevolusi dunia, mengubah hidupnya. Ia akan sembuh” (hal.61). Bagi saya, sisi lain keheningan yang ditawarkan oleh Kardinal Sarah tidak hendak memberikan kenyamanan. Tapi justru menggugat kenyamanan. Mempersoalkan kenyamanan semu dari kata-kata, keramaian, popularitas, dan kegaduhan yang menutup peluang manusia untuk menjelajahi dan menemukan berbagai kemungkinan baru yang hanya bisa ditemukan ketika berdiam. Di dalam katakata, manusia telah dirumuskan dan dibakukan karena ia sangat terbatas. Keheningan adalah sebaliknya. Ia memang tidak menarik, tidak ‘hangat’, bahkan tampak suram seperti suasana ruang baca tadi, tetapi keheningan mampu mengungkap kedalaman manusia yang tidak bisa selalu didefenisikan dengan kata-kata. Ia mampu menjernihkan ‘mata’ kita untuk melihat yang tidak terlihat, termasuk Tuhan sendiri.
