SEBAGAI ORANGTUA ‘GEMBALA’ DI GEREJA, TIDAK TERUKUR KASIH TUHAN DALAM HIDUP KAMI


Cover Menjemaat -JUNI 2018

Ibarat sebuah rumah, maka keluarga juga harus dibangun atas dasar yang kuat. Dan dasar pondasi yang kuat itu adalah iman akan sabda Tuhan dan penerapannya di dalam perbuatan sehari-hari. Keluarga adalah tempat pertama bagi anak- anak untuk menerima pendidikan iman dan mempraktekkannya.

Dalam hal ini orang tua mengambil peran utama, yaitu untuk menampakkan kasih Allah, dan mendidik anak- anak agar mengenal dan mengasihi Allah. Karena mengasihi Allah, mereka dapat mengasihi sesama; dimulai dengan mengasihi orangtua, kakak dan adik, teman- teman di sekolah, dan seterusnya. Penghayatan kasih Allah tersebut kerap juga berbuah menjadi panggilan untuk melayani di ‘ladang’ Allah, menjadi gembala bagi para umat-Nya.

Dalam edisi Juni, Menjemaat tertarik mengulas pengalaman dan tantangan orangtua beberapa Pastor di Keuskupan Agung Medan. Utamanya peran merawat ‘panggilan’ putra mereka hingga menjadi Imam. Berikut penuturannya.

***

 

Sebagaimana pada umumnya terjadi, ketertarikan untuk menjadi ‘gembala’ bersemi ketika sering bertemu para Imam sebagai teladan. Pengurus Gereja Stasi St. Fidelis – Sigmaringen Sirpang Sigodang (Kuasi Paroki Pematang Raya), J. Saragih menuturkan ihwal tersebut kepada Menjemaat. “Benih panggilan tersebut tumbuh saat Pastor Van Duijn Hoven “Oppung Dolog” atau Pastor lain selalu datang makan bersama di rumah kami. Anak-anak melihat kebersamaan ini yang membuat ketertarikan mereka menjadi Imam,” aku Ayah dari RP. Gindo Gervatius Saragih, OFMConv dan RD. Gundo Franci Saragih.

Kesan pengalaman senada juga dialami keluarga N.N. Peranginangin. “Menurut saya, panggilan itu merupakan rencana Tuhan. Seperti tertulis di Alkitab: “Kamulah yang memilih aku, bukan aku yang memilih Kamu”. Namun, tak bisa dielakkan bahwa panggilan anak kami, RP Adytia Peranginangin O. Carm, sebab kedekatan dengan Parokus Pasar Merah (saat itu) Pastor Damian.”

“Pada tahun 1984, saya menjabat sebagai ketua lingkungan Pasar Merah. Kebetulan saat itu kami masih tinggal di Asrama Polri Pasar Merah Medan. Pastor Damian sering berkunjung ke rumah keluarga kami. Bahkan kedua anak kami, Candra dan Adytia sering dibawa jalan-jalan sampai ke Paroki Sidikalang. Keakraban ini mendorong mereka untuk aktif di OMK dan Misdinar. Bahkan mereka yang mengajari orangtuanya agar semakin memberi diri untuk Gereja,” kata Peranginangin kepada Menjemaat.

J Saragih dan M br Purba

Sementara itu, pasangan suami istri Marihat Nainggolan dan Lelly br Sinaga menyampaikan, memang sungguh berharap anak-anaknya bisa melayani Allah sebagai rohaniwan/ rohaniwati. “Saya selalu berdoa, kiranya anak-anak kami terpanggil untuk bekerja di ladang Tuhan. Baik sebagai Imam ataupun Suster. Saya sungguh bersyukur pada Tuhan, sebab harapan tersebut dijawab lebih dari apa yang saya minta.  Dari 12 anak kami, tiga di antaranya terpanggil. Satu orang pastor dan dua orang suster,” kata Ayah dari dari RP. Ambrosius Nainggolan OFMCap, Sr. Yosefin Nainggolan OSF Sibolga dan Sr. Ambrosia Nainggolan KYM.

Nainggolan menuturkan, sebagai orang tua, dia dan Istri selalu berusaha membimbing anak-anaknya menghidupi iman kepada Tuhan. “Yakni, dengan selalu membawa mereka ke gereja dan bersermon. Kami juga selalu mengingatkan mereka agar rajin berdoa. Sebelum dan sesudah makan berdoa wajib dilakukan,” imbuh bapak yang pernah mengarang lagu Buku Ende bersama bapak Paul Widyawan.

Kuasa doa juga dihayati oleh Osmar Manik dan Kartini br Sitanggang, dalam jalan panggilan Imamat putra mereka, RP. Alfonsus Arpol Manik O.Carm. “Kami terbuka terhadap anak-anak. Dan anak-anak juga tidak banyak tuntutan. Sejak kecil, kami tidak terlalu repot mengarahkan si anak. Mereka selalu focus dalam studi. Kami selalu bawakan dalam doa harapan terbaik kami bagi mereka,” ucap Kartini.

Orangtua RP. Ivan Saragi OFM Cap dan RD. Fernandus Saragi, Fransiskus Saragi dan Nurti Manurung menanamkan nilai-nilai kekatolikan kepada anak-anak, sebagai bekal yang merintis jalan panggilan kedua putranya. “Jujur dan berdisiplin, berdoa bersama sebelum dan sesudah makan, bekerja bersama-sama. Dan juga selalu mengusahakan rekreasi bersama. Bahkan ada jadwal harian yang dibuat agar anak-anak tahu pasti apa yang harus dilakukan setiap hari,” ujar Fransiskus.

“Pada masa itu, kami sekeluarga tinggal di rumah berukuran kecil dan sederhana dengan rutinitas harian yang terjadwal. Tidak kalah sibuk dan ramainya seperti orang-orang yang tinggal di kota metropolitan Jakarta. Betapa tidak. Saat bangun dari tidur pagi hingga kembali tidur malam, saya, Istri dan anak-anak sudah tahu apa yang harus mereka lakukan.”

Pastor Ivan mengakui, kesederhanaan dan disiplin yang ditanamkan kedua orang tua mereka sejak awal sangat bermanfaat bagi perjalanan hidupnya, baik di rumah, di sekolah dan terlebih di tempat ia berkarya sebagai seorang imam. Imam di Ordo Kapusin tersebut, masih ingat bagaimana kedua orang tuanya melatih dan mendidiknya agar hidup terarah dengan bekerja dan berdoa sesuai jadwal harian yang telah dibuat.

Pastor Ivan (berdiri) di samping orangtua dan adiknya, RD Fernandus Saragih

Orang tua sebagai Gembala Menuntun Iman Anak-anaknya

Bagi Osmar Manik, peran mendampingi anak sejak kecil merupakan suatu kebanggaan besar. “Dengan empat anak (tiga laki-laki dan satu perempuan), rasanya suatu kebanggaan bisa membimbing dan menghantar mereka menjadi dewasa, bekerja, menikah. Termasuk seorang anak saya yang memilih hidup menjadi seorang Imam,” kata dia.

Menurutnya, orang tua mempunyai andil besar menuntun iman anak-anak, sejak kecil hingga dewasa. Oleh sebab itu, ujarnya, sebagai Gembala yang menuntun anak-anak, orang tua harus peduli, terbuka dan menyemangati anak.

Nilai peran tersebut juga terpatri dalam benak M. br Purba, kala putranya, RP. Gindo OFM Conv, memimpin misa perdana di kampung halaman mereka. “Untuk menjadi pastor itu sangat mahal. Artinya, tidak boleh disogok, tidak bisa dibeli seperti mengambil jabatan di pemerintahan. Tetapi murni panggilan,” ucapnya seraya menjelaskan intisari pesan tersebut adalah harus ada niat anak untuk menjadi imam dan niat orangtua untuk mendukung. “Dalam prinsip kami, sekali dia masuk dalam panggilannya, biarkanlah, jangan dihalangi karena itu panggilan Tuhan. Ciri khas untuk menjadi seorang imam itu kelihatan sejak kecil.”

Dukungan berupa waktu pendampingan bersama orangtua juga vital ketika sang anak menghadapi tantangan dalam napaktilas menjadi Imam. Demikian dituturkan Peranginangin. “Yahhh… saat dia menjalani studi di Seminari Menengah Pematangsiantar, Saya dan Istri setiap bulan menyisihkan waktu untuk mengunjunginya. Sebenarnya biaya sekolahnya bisa dititip melalui Pastor atau ditransfer. Tetapi kami menemui dia agar dia pun lebih merasakan bahwa kami sangat mendukung panggilanya,” ujar dia mengakui sebagai orangtua tetap berusaha membangkitkan semangat putranya bahkan ketika memangku peran berat sebagai Pastor.

NN Peranginangin bersama putranya Candra Peranginangin abang dari RP Adytia O Carm

“Saya dan (alm.) Ibunya sangat berbahagia dengan terpanggilnya anak kami Adytia menjadi Imam. Mengingat anak kami hanya dua orang, sering keluarga menanyakan kenapa Adytia harus menjadi Imam. Tetapi kami sebagai orang tuanya tidak pernah menghalangi panggilannya. Meskipun Adytia menjadi Imam, tetapi perhatiannya sangat luar bisa terhadap orangtuanya. Kami sangat merasakan kasih Tuhan melalui Adytia,” ucap Peranginangin.

 

Ungkapan syukur senada juga dilontarkan Nainggolan. “Kami sungguh bangga dan bahagia bahwa tiga anak kami terpanggil bekerja di ladang Tuhan, tak terukur kasih Tuhan itu diberikan kepada kami,” kata dia.

Terpisah, Fransiskus mengakui perjalanan imamat anaknya tidak semulus sebagaimana yang dibayangkan sebelumnya. Pengalaman yang paling menantang baginya adalah saat Ivan pulang ke rumah dan meminta pertimbangan bahkan keputusan. Apakah Ivan mau ditahbiskan jadi imam atau mundur saja.  Saat itu, Fransiskus benar-benar dilematis. Selain karena, dalam adat Batak itu anak laki-laki pertama menjadi simbol dalam keluarga.

Fransiskus sebenarnya tidak punya pertimbangan apalagi satu keputusan yang dapat disampaikan ke Ivan. “Sekarang kamu jawab Bapak, kamu mau lanjut atau mau putuskan untuk keluar,” ujar Fransiskus. “Waktu itu, Ivan hanya menjawab, kalau demikian bapak sudah menyerahkan saya untuk dipanggil dan dipilih Tuhan.”

Ibarat buah jatuh tidak jauh dari pohonnya, rahmat panggilan juga diturunkan ke putra kedua, Fernandus Saragi, yang punya pengalaman dan kebiasaan hidup yang tidak jauh berbeda dengan abangnya, Ivan. Pastor Fernandus yang saat ini bertugas di Kantor Kuria Keuskupan Agung Medan, bahkan memaknai secara lebih dan berbeda kebiasaan hidup yang telah ditanamkan oleh orang tuanya.

“Semua kebiasaan yang ditanamkan dalam diri saya harus saya akui, itu semua telah menjadi kewajiban dalam hidup dan kerja saya,” ujar Imam yang kerap disapa Pastor Ferdi.

Sebagaimana para Imam muda lainnya, perjalanan Imamat Pastor Ivan dan Romo Fernandus masih panjang. Dengan usia imamat yang masih relatif muda, tentu membutuhkan dukungan yang kuat dari keluarga. Nurti pun sadar, kedua putera mereka sungguh membutuhkan dukungan baik dari keluarga, para imam, suster dan umat di tempat kedua putera mereka berkarya.

“Kami selalu mendukung anak-anak kami dalam doa-doa, supaya mereka tetap bertahan dalam panggilan dan karyanya,” katanya.  Selain itu, di setiap tanggal tahbisan kedua putera mereka, keluarga ini selalu mengundang pastor, suster dan tetangga untuk berkumpul bersama, berdoa dan bersyukur atas perjalanan hidup dan perjalanan imamat yang telah dilalui.

Ananta Bangun (Laporan: Sr. Dionisia Marbun SCMM, Lina Sipayung, Rina Barus, Andi Hotmartua Girsang) //// dimuat di majalah resmi Keuskupan Agung Medan, MENJEMAAT

Marihat Nainggolan dan Lelly br Sinaga