
Pada Kamis (10 Mei), PKSN-KWI (Pekan Komunikasi Sosial – Konferensi Waligereja) 2018 di Palangka Raya menghelat acara penting: sarapan pagi. Penting, karena sejumlah saran ahli kesehatan agar memulai aktivitas pagi hari dengan konsumsi makanan bergizi. Terutama sekali, pada acara semegah pekan komsos ini.
Aku menyapa seorang pemateri yang akan memberi presentasi di workshop hari ini, Literasi Media. Pakar teknologi, Prof. Dr. Richardus Eko Indrajit. Aku tahu dia ndak bakalan ingat padaku, meski tahun lalu, kami pernah bersua di acara senada (PKSN-KWI 2016 di Keuskupan Sibolga), dan teranyar pada Workshop Literasi Media Sosial 2017 di Catholic Center – Keuskupan Agung Medan. Pada kegiatan disebut terakhir, aku terkenang sekali bagaimana dia membawakan sesi presentasi dengan jernih dan penuh animasi. Di antaranya saweran uang ‘senyum presiden’ ke sejumlah peserta workshop.
Ketika saling sapa, aku singgung pengalaman tersebut. Dia pun terkekeh: “Wah. Saya sendiri sudah lupa tuh.” Kemudian, kami pun menuju posisi nyaman semasing, demi menuntaskan sarapan pagi. Persiapan penting sebelum workshop hari ini.
***
Prof. Eko mengawali sesi presentasi bahwa dalam workshop Literasi Media: “Taat Beragama, Sopan Berkomunikasi”, akan dibekali oleh dua pemateri. Dirinya dan bapa Errol Jonathans, seorang jurnalis, public speaker dan CEO Radio Suara Surabaya. “Saya akan membawakan materi tentang Literasi Media Digital. Sementara pak Errol memberi materi tentang Media Arus Utama.”
Intro unik sebagaimana di Medan, ternyata kembali dilakukan Prof. Eko. Dengan meminta peserta untuk menjawab 10 soal terpampang di layar. Saat pengecakan jawaban, dengan ringan dia menyampaikan: “Untuk soal nomor satu sampai sembilan, jawabannya E”. Hal ini disambut gelak tawa seluruh hadirin. Ternyata, hanya ada dua peserta dengan jawaban benar di atas skor 50. Keduanya pun diganjar masing-masing selembar ‘senyum presiden’.

Profesor Ilmu Komputer di Perbanas, dalam presentasinya, menjelaskan makna ‘literasi’ yang telah berkembang. “Dulunya literasi lekat dengan kemampuan membaca. Sekarang istilah tersebut juga bisa dimaksudkan dalam lingkup kemampuan memberdayakan teknologi komunikasi digital,” katanya.
Sebagai tahap awal, menurutnya, kita patut mengetahui tipe komunikasi manusia. “Dalam hasil riset diketahui, bahwa komunikasi manusia menggunakan 35% verbal, dan 65% non-verbal. Komunikasi verbal adalah kata-kata. Sementara, komunikasi non-verbal adalah ekspresi berkomunikasi yang menghasilkan persepsi. Seperti, nada suara, raut wajah bahkan hingga hal lain seperti pakaian. Bayangkan, bila saya mengenakan celana pendek saat presentasi hari ini. Persepsi saudara-saudara bakal berbeda dibandingkan sekarang.”
Dia mengimbuhkan, tujuan berkomunikasi sendiri sebenarnya telah jauh berkembang. “Pada tahun 80-an, kita beranggapan berkomunikasi hanya lah sekedar menyampaikan informasi atau pesan. Namun kini, kita telah menyadari bahwa komunikasi adalah ‘cara’ agar ‘tujuan’ kita mempengaruhi orang lain dengan pendapat/ pandangan kita dapat berhasil.”
Perkembangan teknologi komunikasi, walaupun dapat membebaskan dari sekat waktu dan jarak, ternyata semakin melumpuhkan kepekaan komunikasi non-verbal. “Khususnya bagi panca indera kita,” terang Prof. Eko. “Sebab itu, semakin banyak kasus pertengkaran antara orangtua dan anak ditemui. Ada jurang pengertian tentang kiat berkomunikasi di antara dua generasi ini. Generasi muda masa kini, umumnya telah tenggelam dalam budaya berkomunikasi dengan perangkat gawai.”
“Saya masih ingat, saat masih kanak-kanak, saya bisa tahu gelagat orangtua atau guru saya tengah marah atau tersinggung atas perkataan yang saya ucapkan. Namun, sekarang generasi muda tak mampu mengenali ekspresi tersebut, karena telah beralih ke layar berisi teks dan emosikon.”
Prof. Eko berpetuah, sebagaimana mencapai tujuan berkomunikasi yang baik, perlu untuk memahami perbedaan kebiasaan berkomunikasi masing-masing generasi tersebut. Tatkala para orang tua ingin mempengaruhi generasi muda, kenali dan dekati dengan ‘bahasa’ khas mereka. Sebaliknya, ketika generasi muda hendak menyampaikan gagasan kepada orang tuanya, hendaklah juga tahu karakter berinteraksi mereka.
Dalam kesempatan tersebut, Prof. Eko juga memberi penjelasan tentang pesan Paus Fransiskus terhadap perkembangan teknologi komunikasi masa kini, khususnya Internet. “Bapa Suci menyampaikan bahwa setiap media komunikasi, termasuk Internet, bersifat netral. Semuanya berpulang pada tipikal orang yang menggunakannya,” ujarnya. “Maka, ketika orang baik menggunakan Internet untuk tujuannya, akan terjadi perbuatan-perbuatan baik yang lebih besar. Dan, jika seorang maling menggunakan Internet untuk tujuan mencuri. Tentu saja semakin besar aksi pencuriannya.”
Ada enam tantangan Literasi Digital, tutur penulis puluhan buku dan ratusan jurnal ilmiah. “Yaitu, kemampuan MENGGUNAKAN, pandai MEMILAH, bijak MEMANFAATKAN, sadar AKIBAT-AKSI, sebar PENGETAHUAN, dan hindari KEJAHATAN.”
Ketika presentasinya berakhir, aku kembali bersua Prof. Eko. Sembari tersenyum dia berucap: “Wah. Untung, tadi cuma dua yang menang. Saya gak sawer banyak.”
“Wah. Iya, Prof. Kemarin Prof hampir ‘koyak’ nyaris sejuta ya.” “Hehehehehe”
Ruangan Aula Magna – Keuskupan Palangka Raya pun dipenuhi gelak tawa kami.
NB: File presentasi Prof. Eko Indrajit sila diunduh via tautan ini
