[REPORTASE] WORKSHOP MENULIS KREATIF – I


 

Budi Sutedjo Membawakan Sesi Pertama di Workshop Menulis Kreatif

Ruang luas, rapih nan sejuk itu bernama Aula Magna – Komplek Keuskupan Palangkaraya. Telah tersedia meja dan kursi empuk. Karunia ini amat mendukung untuk belajar pengetahuan menarik, yakni Menulis Kreatif, pada Selasa (8/5/2018).

Workshop tersebut menyemat tema menantang: “TULIS SEKARANG ATAU TIDAK SAMA SEKALI”. Aku memilih ikut semiloka ini, alih-alih kelas Audio Visual, meski panitia mendaftarkan namaku di bagian tersebut. Musababnya, aku minat dan hendak menggali ilham lebih dalam perihal menulis.

Ada tiga pemateri dalam workshop (Tim Komsos KWI). Mereka adalah Budi Sutedjo, pendiri Indonesia Menulis; Gabriel Abdi, Jurnalis di Liputan 6.com dan pendiri Sesawi; A. Margana, Jurnalis Senior dari Majalah HIDUP.

***

Budi Sutedjo mengawali materinya dengan beberapa kata mutiara perihal potensi besar dari tindak menulis. Salah satunya petuah dari negeri tirai bambu, Cina: “Karya tulis jauh lebih berarti daripada pasukan bersenjata!”

“Petuah itu menjadi tradisi bagi bangsa Cina. Sehingga mereka bisa menghasilkan 140.000 judul buku setiap tahun. Sementara di negeri kita, masih di kisaran 18.000 buku per tahunnya,” jelas dosen Teknologi Informasi di Universitas Kristen Duta Wacana tersebut.

Suami dari Maria Herjani menyampaikan, karya tulisan mewariskan gagasan jernih bagi banyak insan. Bahkan hingga masa ke masa. Sebagai pengandaian, Budi menampilkan permainan ‘bisik kata’ yang dipraktikkan oleh lima hadirin. Dan benar saja, tulisan berisi sabda Allah dari Alkitab, setelah dibaca pembisik pertama, tidak disampaikan dengan utuh dan jernih hingga penerima bisikan terakhir.

“Nah, bayangkan jika sabda Tuhan sejak awal hanya dibisiki atau disampaikan secara lisan, tentu lah sabda tersebut akan berubah-ubah,” ucap Budi, seraya menjelaskan ilustrasi tersebut juga menggambarkan penyebaran berita palsu atau hoax. “Oleh sebab itu, tulisan di Alkitab menjaga dan menyebarkan sabda Allah secara utuh ke banyak umat. Hingga masa ke masa.”

 

Mau Bilang ‘Alasan’ Apa Lagi, Agar Tidak Menulis?

Berdasarkan pengalaman dirinya, Budi menantang peserta agar mengenyahkan kebiasaan tak membuat karya tulis. “Saya ‘terpaksa’ menulis ketika hendak mengajukan diri jadi dosen tetap di UKDW. Pihak kampus mensyaratkan agar saya harus membuat karya tulis,” dia mengisahkan sempat ingin banting setir ke karir lain. “Namun, saya akhirnya mendesak diri untuk belajar menulis. Dan, berhasil memuatnya di media dan diterima sebagai dosen tetap. Kini, malah saya kecanduan menulis.”

Kegemaran baru di ranah aksara, menjadi tangga prestasi bagi Budi saat menyabet Rekor MURI. “Rekor yang saya terima ada dalam tiga kategori: 145 Pendekatan Bidang Ilmu, Menulis di 84 penerbit, dan memiliki 18 nama samaran.”

Beberapa alasan enggan menulis, kata Budi, adalah kekhawatiran tidak bisa menulis dengan lengkap, dan tidak punya waktu cukup. “Banyak orang mengira harus membuat tulisan sempurna seperti di buku-buku. Padahal, para penulis termasuk saya sendiri kerap menuliskan pokok gagasan terlebih dahulu. Kesalahan dalam tata bahasa maupun logika penulisan, akan disunting oleh para editor.”

Ayah satu putra ini menganjurkan agar waktu para peserta tidak tergilas kebiasaan kurang produktif. “Sayang kalau waktu dihabiskan mengakses media sosial dan chatting.”

“Mau bilang alasan apa lagi, tidak bisa menulis,” ujarnya. “Tulisan yang jelek akan diperbaiki oleh Ahli Bahasa. Kalau tidak ada waktu, ajak lah beberapa teman membentuk tim kerjasama. Seorang boleh menceritakan ide atau pengalamannya, sementara yang lain menuliskan. Seandainya pun narasumber berbicara sangat cepat, bisa disiasati dengan alat perekam suara.”

Pada sesi akhir materi, Budi mendorong peserta mematri “Visi dalam Belajar Menulis”. Dia mengutip sabda Yesus: “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa g  murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman” (Matius 28:19-20).

“Marilah kita menjadi Rasul Awam menyebar ajaran Allah dengan bertekun menulis. Karena, setiap pengalaman dan gagasan kita bisa menjadi ‘penyembuh’ bagi sesama,” ujarnya, sebelum memimpin ritual ‘menerbangkan pesawat kertas berisi harapan perihal menulis dalam tahun ini.’ Ritual khas setiap kali pelatihan oleh Indonesia Menulis.

(Ananta Bangun)

Para peserta berdoa dan meluuncurkan pesawat kertas berisi impian menulis buku