[Reportase] Keberangkatan Meliput PKSN 2018 di Palangkaraya


Jangan pernah sekali-kali menyamakan Jalan Salib dengan bandara. Meski keduanya punya istilah serupa, ‘station’ atawa ‘perhentian’. Ihwal yang pertama akan memberi makna peziarahan iman, sementara yang terakhir membuatmu senewen karena hanya menyaksikan ‘burung besi’ dan manusia yang terus berseliweran, sembari menanti kesempatan untuk melesat dan membelah angkasa.

Seperti itu lah tertancap di pikiranku, saat hendak mereka-reka tulisan mula reportase pribadi selama Pekan Komunikasi Sosial 2018 di Keuskupan Palangkaraya. Meski sumpek terpapar dampak penundaan penerbangan tadi, aku coba tulis hal sederhana saja. Bahwa, hari ini, aku telah menapaki tiga bandara: Kualanamu, Soekarno-Hatta, dan Tjilik Riwut.

“Tjilik Riwut adalah nama Pahlawan Nasional di sini (Kalimantan Selatan),” terang Romo Penta saat kami meninggalkan bandar udara tersebut. Imam Diosesan Palangkaraya ini menjelaskan bahwa Tjilik Riwut adalah penerjun payung pertama yang turut berjuang melawan penjajah pada masanya.

Aku tertegun saja. Tapi, akhirnya tergelak dalam tawa, saat dia mengatakan bahwa Romo Gatot memberi nomor keliru. “Saya dikasih nomor yang akhirannya angka 6, sementera ponsel panjenengan (kamu) kan akhirannya 5.”

“Iya, Romo. Huehehehe,” aku menimpali.

***

Sebenarnya, hari ini (Senin, 7/5/2018), merupakan hari pembukaan PKSN 2018. Dalam penelusuran di laman resmi Komsos KWI, Mirifica.net, aku mendapati berita ‘Upacara Potong Pantan dan Tari Giring-giring Sambut Tim Komsos KWI di PKSN KWI 2018“. Namun, perihal satu dan lain hal, tiket keberangkatanku tidak seiring dengan Tim KWI. Namun, kukira setiap peristiwa pasti ada hikmahnya. 🙂

Usai menewaskan seekor nila dan ayam demi ritual makan malam, kami beranjak ke Wisma Unio Keuskupan Palangkaraya. “Kamu memang anak soleh. Pasti karena kamu sudah Rosario sejak dari Cengkareng (Bandara Soetta). Sebenarnya, saya tidak ada disuruh jemput mas Bangun,” ucap Romo Penta.

Aku merasa girang, dan mengulas senyuman seperti senyuman presiden di lembaran uang seratus ribu rupiah. Tafsiran Romo Penta memang benar, setiba di wisma aku mendapatkan apa yang kubutuhkan untuk ritual setiap kali mendatangi tempat baru — mandi malam. Adik iparku, Novrizan yang mengajarkan ‘kebiasaan baik’ ini.

Yap. Mungkin ritual ini akan berhenti, saat rematik mulai menggerogoti tulang kami. Semoga saja tidak terjadi.