Ada sebuah kenyataan pahit kerap muncul dalam hidup ini: si besar dan si kecil. Baik dalam hal ukuran, maupun kekuatan. Perumpamaan akan keadaan timpang tersebut, umumnya mengingatkan pada kisah pertarungan “Goliat vs. Daud”. Begitu sering dilontarkan, sehingga pihak yang paling kuat disebut raksasa Goliat, sisi sebaliknya tentu saja Daud.
Tapi, semua tahu siapa menjadi pemenangnya? Daud!
Malcolm Gladwell, staf penulis di The New Yorker, termasuk pribadi yang mulanya mengira paham sungguh kisah tersebut. “Namun, ternyata aku sama sekali belum memahami sepenuhnya (mengapa Daud bisa menang),” kata Gladwell dalam sebuah konferensi TEDx, perihal alasan kuat yang mendorongnya menuliskan buku “David and Goliath”.
Dalam buku tersebut, Gladwell memaparkan alasan ‘mengapa’ Daud bisa menang terhadap Goliat. Dan tentu saja bisa diterapkan dalam kehidupan masa kini. Hal pertama ialah menolak untuk turut aturan pihak si raksasa. Goliat, seorang petarung jarak dekat, menantang Daud untuk tarung dengan senjata untuk tipe pertarungan demikian. Tetapi, Daud menolaknya, dan memilih senjata lontar batu (bisa dilakukannya dari jarak jauh).
Ada beberapa faktor lain penyebab tumbangnya Goliat di hadapan Daud. Namun, ihwal ‘menolak turut aturan main pihak raksasa’ adalah nilai yang disorot dalam buku ini. Mengikuti permainan para raksasa akan sangat menguntungkan pihaknya sendiri. Demikian Malcolm mengutip Vivek Ranadive, kala menjadi pelatih bagi tim bola basket putrinya yang terdiri dari anak-anak pengusaha Teknologi Informasi seperti dirinya.
Ranadive mendapati aturan main basket sungguh aneh, karena pihak kuat sangat diuntungkan. Karena setiap kali mencetak skor, dua tim akan saling bergantian menyerang dan bertahan. Pendiri perusahaan perangkat lunak TIBCO tersebut kemudian merancang strategi permainannya sendiri: terus menekan hingga wilayah lawan.
Strategi ini tentu saja membuat tim lawan mereka terkejut, sebab tak mengira ada ide segila itu. “Ini sungguh di luar dugaan,” kata Anjali Ranadive. “Maksudku, ayahku tak pernah bermain bola basket sebelumnya.” Demikian ungkapan putri Ranadive, yang menjadi sub judul dalam satu bab di buku Gladwell.
Sembari membaca buku ini, fikiran kita mungkin melesat pada lema ‘disrupsi’. Yakni, bagaimana banyak industri raksasa tumbang menghadapi persaingan dari kompetitor yang lebih cerdas. Dan, terutama karena tak menuruti aturan main para raksasa.
Bayangkan bagaimana Facebook, sebagai perusahaan media yang tidak pernah membuat konten, membuat banyak perusahaan media lain (di antaranya media cetak) terjungkal. Ataupun Gojek, yang tidak memiliki satu pun kendaraan angkutan, mempengaruhi pola fikir tentang angkutan umum di Indonesia saat ini.
Bisa juga kita peroleh ilham lain dalam buku ini: gali kemampuan terbaikmu! Baca lah bagian di mana Daud mencari batu-batu di dekat lembah Tarbantin. “Itu bukanlah batu biasa. Karena kepadatannya melebihi peluru sekalipun,” tulis Gladwell. Demikian juga ihwal senada dilakukan ‘industri tipikal Daud’ lainnya.
Setiap insan memiliki kesempatan jadi pemenang. Menjadi apa pun yang diimpikannya. Menurutku, begitulah pesan kuat dalam epos taling-tarung Daud vs. Goliath di buku ini. Dan, entah bagaimana, mengingatkanku pada sebuah kata mutiara: “Keberuntungan adalah ketika Persiapan bertemu dengan Peluang.”
Apik.
Rujukan:
https://www.newyorker.com/magazine/2009/05/11/how-david-beats-goliath