FR. FLAVIANUS MARIA, CSE: “ROSARIO MERINTIS JALAN PANGGILAN IMANKU”


Fr. Flavianus diabadikan di Pertapaan Karmel - Talun Kenas
Fr. Flavianus diabadikan di Pertapaan Karmel – Talun Kenas (Copyright: Komsos KAM)

Saat Menjemaat hendak menuliskan kisah panggilan, fikiran saya melesat pada sejumlah cuplikan pengalaman di masa lalu. Semua itu terjadi pada tempat dan waktu yang tidak bersamaan. Namun, tentu saja berjalin laiknya tenunan benang hingga menjadi sehelai kain. Demikianlah kiranya napaktilas maka saya menjadi seorang biarawan di Kongregasi Carmelitae Sancti Eliae (CSE), dan saat ini melayani di Pertapaan Karmel (Rumah Retret) Talun Kenas – kabupaten Deli Serdang.

Mungkin beberapa pembaca Menjemaat mendapati ini kali pertama mengenai CSE. Saya kira, ada baik memberi pengenalan ringkas, bahwa kongregasi ini didirikan oleh Romo Yohanes Indrakusuma, CSE pada tanggal 20 Juli 1986.

Saya adalah anak ke-dua dari orangtua Benyamin Hadir (Bapa) dan Maria Jemimo (Mama). Sejak masih kanak-kanak, Bapa dan Mama selalu ajarkan bahwa kami harus doa Rosario sebelum tidur. Kadang kala kami pernah lupa, langsung beranjak tidur. Namun, dengan penuh kasih sabar, Bapa dan Mama mengajak kami untuk mendaraskan doa Rosario.

Tentang doa Rosario ini pun saya pernah mendapat pengalaman unik. Yakni, tatkala menjalani pendidikan di Sekolah Menengah Pertama (SMP) St. Claus Manggarai. Meskipun jarak sekolah dengan rumah orangtua dekat, tetapi kami diwajibkan untuk tinggal di asrama. Di tengah masa studi tersebut, saya pernah jatuh sakit yang cukup aneh. Setiap kali makan nasi dan lauk, saya kerap muntah. Terkecuali meminum air. Kurangnya asupan makanan, membuat saya harus dirawat ke rumah sakit setempat.

Dalam masa perawatan, satu kali seorang Imam SVD (saya sudah lupa nama beliau), seorang Imam misioner dari luar negeri, menjenguk saya. Dia bertanya: “Kamu selama ini doa nya, apa?”, dan lekas saya jawab: “Saya sering berdoa Rosario.”

“Nah. Imani itu. Maka kamu akan bisa sembuh,” ucapnya memberi peneguhan.

Pada masa itu, saya bisa dibilang di usia remaja. Masih polos. Segera saja saya turuti nasihat sang Pastor, mendaraskan doa Rosario memohon kesembuhan dari Tuhan melalui Bunda Maria.

Esok harinya, saya coba makan satu sendok nasi sarapan pagi. Saya menunggu apakah ada reaksi di perut. Wah! Tidak ada perasaan hendak muntah. Pelan-pelan saya menyantap sarapan tersebut. Ternyata hari itu saya bisa makan setengah piring nasi. Dan besoknya, saya bisa makan satu mangkuk bubur. Dan tak lama kemudian saya pun bisa pulang ke asrama, karena telah sembuh.

Walau sederhana, pengalaman iman ini menumbuhkan bibit panggilan dalam hidup saya. Selalu terpatri dengan jelas di ingatan, bahkan ketika menerima tahbisan Frater Kekal di Kongregasi CSE. Saya memohon kepada pimpinan tarekat kiranya diperkenankan menyemat nama Maria. Permohonan tersebut diluluskan, maka lengkaplah nama saya (hingga kini) Fr. Flavianus Maria CSE.

***

Fr. Flavianus di depan biara CSE di Talun Kenas (Copyright: Komsos KAM)
Fr. Flavianus di depan biara CSE di Talun Kenas (Copyright: Komsos KAM)

Cita-cita menjadi Pastor dan Suster adalah lazim di kampung halaman kami. Sebab setiap insan kerap bersua dengan mereka sehari-hari. Bila ada seorang Pastor maupun Suster bilang hendak mampir ke rumah seorang umat, sungguh merupakan suatu kehormatan. Demikian juga halnya saya, semasa kecil dahulu. Selain bangga disambangi seorang Imam dan Biarawan/ Biarawati, tentu saja kesenangan lainnya adalah orangtua kami akan memasak makanan enak. Para Pastor pun disenangi anak-anak karena bisa mendengar ajaran doa, Alkitab, kisah orang kudus dari sang Gembala. Serta, yang tak pernah bisa ditolak, dikasih permen manis. Hehehehe.

“Mau jadi apa kelak?” dan “Setelah tamat mau kemana?” adalah pertanyaan yang sering dilontarkan orangtua. Dan, saya tak pernah surut jawaban hendak masuk sekolah seminari – lembaga pendidikan bagi calon rohaniwan. Biasanya, Bapa dan Mama akan tersenyum dan menyemangati agar saya teguh dalam panggilan.

Saya bersyukur setelah tamat SMP, bisa lulus dalam ujian masuk seminari. Kala itu, saya mencoba di seminari yang berada satu yayasan dengan SMAK St. Ignasius Loyola – Labuan Bajo. Tapi, malang tak dapat ditolak. Saya mengalami sakit hingga harus dirawat di rumah sakit untuk waktu yang lama. Pupuslah kesempatan pertama untuk studi di seminari.

Keluarga kemudian membujuk agar saya fokus pada penyembuhan sakit lebih dahulu. Mereka pun memohon kepada pihak SMP St. Claus agar saya diperbolehkan mengenyam masa sekolah selama satu tahun. Sembari menanti pendaftaran seminari berikutnya. Rencana tersebut berjalan dengan baik, bahkan sampai kelususan saya di seminari. Tuhan sungguh memberi berkat dalam doa dan harapan kami sekeluarga.

Pendidikan di seminari dapat saya tuntaskan dengan baik. Dan sampailah saya pada tahap memilih ordo atau kongregasi, di mana saya bisa menempa panggilan lebih dalam. Mulanya saya tertarik untuk bergabung ke Ordoa Oblates of Mary Immaculate (OMI). Namun, surat lamaran saya tak kunjung mendapat jawaban dari pimpinannya di Indonesia.

Selama masa penantian tersebut, seorang teman karib membawa brosur Carmelitae Sancti Eliae (CSE). “Ini Ordo baru lho,” katanya. Wah! Membaca kata ‘Karmel’, sebagaimana insan lainnya di tempat kami, teringat para rahib atau orang-orang yang hidup sebagai pendoa. Sungguh sesuai dengan panggilan hati saya. Sebab, sebelumnya Pastor Paroki kami menyarankan saya turut sebagai Imam Diosesan. Tetapi sepertinya suara hati saya merasa kurang pas.

Pilihan sudah bulat untuk masuk CSE, maka saya mengirimkan surat lamaran ke pimpinanan tarekatnya di Cikanyere. Sebagaimana kepada OMI, lamaran saya kepada CSE juga cukup lama mendapat balasan. Ini mempengaruhi semangat saya jadi loyo. Karena merasa prihatin, Mama suruh saya berserah pada Tuhan. “Coba kamu sampaikan harapanmu dengan doa di gua maria gereja kita,” katanya. Tanpa pikir panjang, saya pun gegas ke gua maria.

Suatu kali, saya dan Mama jumpa dengan seorang Suster Karmel di pusat pasar. Dia tanya: “Apakah sudah dapat amplop?” Saya jawab: “Belum. Belum ada.”

“Wah. Berarti sudah dikirim ke sekolah dan Paroki itu. Lekas diambil ya. Dan selamat buat kamu. Hehehehe.”

Saya sempat heran dengan ucapan terakhir si Suster. Ternyata benar, saat membaca surat tersebut di sekolah di Labuan Bajo, saya mendapati isinya bahwa saya lulus masuk CSE. Saya senang sekali. Dan langsung pulang ke rumah, malam-malam naik bis. Saya bilang ke Mama,” Mama, ini saya lulus di Karmel.”

Mama heran,” Kok Karmel sih.” Rupa-rupanya, dia khawatir jika saya masuk biara kelak, maka tidak bisa lagi jumpa. Dengan tenang, saya kasih penjelasan, kalau tujuh tahun awal baru bisa jumpa lagi. “Wah itu lama sekali,” kata Mama.

“Tetapi, sudah lah. Kami sudah ikhlas. Ini kamu punya panggilan. Kami khawatir nanti malah kamu akan terbeban,” ucapnya dengan lembut.

***

Diterima masuk dalam persaudaraan CSE sungguh merupakan jalan panggilan indah bagiku. Saya pun belajar menghayati hidup dalam keheningan doa atau kontemplasi. Tata hidup karismatik di biara CSE menuntun hati saya merasa tenang. Hal ini sungguh membantu, di antaranya ketika mengalami beban dalam kuliah di STFT Widya Sasana, Malang. Bila sedang gundah atau tertekan, saya akan pergi retret pribadi ke Pertapaan Karmel di Ngadireso.

Dalam CSE sendiri, ada tiga pola hidup kontemplatif. Yakni, kontemplatif terbuka, kontemplatif aktif, dan kontemplatif padang gurun. Dulu saya sangat ingin turut dalam kontemplatif padang gurun. Namun, ternyata tenaga frater untuk pelayanan kontemplatif terbuka, masih kurang. Sehingga saya turut dalam utusan pelayanan ini.

Setelah kaul kekal, tahun 2005, saya diutus untuk membantu di pertapaan karmel untuk pelayanan kontemplatif terbuka. Dan kini, saya menjalani perutusan tersebut di Pertapaan Karmel Talun Kenas. Saya bahagia bisa melayani sesama untuk belajar mencapai keheningan. Memuji Tuhan dalam keheningan, membawa orang datang kepada Tuhan. Ternyata, ajaran doa Rosario dan pengalaman iman telah menjadi rintisan panggilan iman yang saya hidupi.

 

///// sebagaimana diceritakan kepada Menjemaat (Ananta Bangun)