Rekoleksi Keluarga Katolik di Paroki St. Petrus Paulus – Parongil “Mulanya Didesak, Lalu Menjadi Habitus, Akhirnya Hidup dalam Iman”


Pastor dan Umat Stasi Lae Itam diabadikan setelah misa

Di antara semua buah-buahan, Durian paling sering disebut sebagai ‘pembunuh’. Ini karena kadar gula dalam buah yang mulanya dianggap busuk tersebut, sangat jahat bagi penderita diabetes. Namun, si ‘pembunuh’ inilah yang diidamkan tim Menjemaat kala diundang meliput ‘Rekoleksi Keluarga Berdoa’ di Paroki St. Petrus Paulus – Parongil.

Sayangnya, sebelum sensasi kenikmatan buah berduri itu meleleh di lidah, Parokus Parongil, RP. Monang Sijabat O. Carm menyampaikan kabar duka. “Musim Durian di Parongil sudah berakhir pada awal Februari kemarin. Sudah tidak ada lagi.” Demikian isi pesan-nya dari media bincang Whatsapp. Lugas, tepat dan menghujam hati penggemar Durian kelas akut.

***

Pastor Nampak Membawakan Presentasi dalam Seminar Rekoleksi

“Kegiatan rekoleksi ini telah kami galakkan sejak perhelatan Sinode VI – Keuskupan Agung Medan 2016 lalu,” terang Pastor Monang kepada Menjemaat, sebelum bertolak ke Stasi Sta. Maria Bunda Karmel Lae Itam, tempat berlangsungnya kegiatan tersebut. “Kami melaksanakan rekoleksi ini di seluruh stasi wilayah Paroki Parongil, selama masa Prapaskah.”

Pastor Monang mudah diingat karena perawakan langsing, rambut panjang dipadu kumis dan janggut secukupnya. Bersama kolega di Paroki Parongil saat  ini, RP. Nampak Wijaya O. Carm, tahun ini, mereka sepakat mengadakan seminar, Sakramen Pengakuan Dosa, dan Sakramen Ekaristi bagi umat di stasi-stasi.

“Paroki membuat variasi kegiatan setiap masa Prapaskah. Untuk tahun ini, adalah tiga kegiatan yang disebut sebelumnya. Sementara tahun lalu, dan juga akan diadakan tahun depan (2019), Paroki akan mengadakan pemberkatan rumah ke kediaman umat di stasi-stasi serta Sakramen Ekaristi di gereja stasi,” terang Imam asal Aek Nabara.

Dia menjelaskan, ada beberapa landasan dalam tri-kegiatan di Rekoleksi Keluarga se-Paroki Parongil tahun ini. “Dewan Pastoral Paroki (DPP) Parongil tetap hendak menumbuhkan hidup Keluarga Berdoa, atau Top Pastoral Priority (TPP) tahun 2017 lalu. Secara khusus, di Indikator Keberhasilan (IK) ke-5: “Minimal sekali setahun umat Katolik mengaku dosa.””

Dia menjelaskan, TPP selama lima tahun (2017-2021) bersumber dari hasil Sinode VI KAM yang menjadi dasar ekshortasi Uskup, dan diselaraskan dengan Visi dan Misi KAM, 2016. “Semua ini telah dirangkumkan dalam lima fokus pastoral tahunan yaitu: “2017: Keluarga Berdoa”, “2018: Keluarga Rukun”, “2019: Keluarga Memasyarakat”, “2020: Keluarga Sejahtera”, “2021: Keluarga Sumber Panggilan.”

“Rekoleksi ini juga menindaklanjuti TPP 2018 “Keluarga Rukun” di Keuskupan Agung Medan. Secara khusus di IK ke-tiga: “100% Keluarga Katolik Membangun Habitus Baru”. Setelah sesi presentasi seminar dari Romo Nampak usai, kami akan menyebarkan lembaran agar tiap-tiap keluarga menyusun jadwal doa dan membaca Kitab Suci bersama. Jadwal tersebut, akan didiskusikan bersama-sama oleh keluarga tersebut. Pada mulanya, mereka akan mendesak diri sendiri untuk melaksanakan. Kemudian menjadi kebiasaan (habitus). Dan, setelahnya dihidupi,” kata Pastor Monang.

Dia menjelaskan, mengenai habitus baru dalam keluarga Katolik di paroki Parongil, berangkat dari kata-kata bijak para parsinabul (raja hata) na pinungka ni na parjolo, ihuthonon ni na parpudi”. Kata-kata ini begitu bermakna dalam membangun habitus baru dalam keluarga. Lewat program ini kita semua mau membangun sebuah tradisi yang diciptakan oleh keluarga dan kahirnya diikuti oleh keturunannya dikemudian hari. Sebuah kata minta tolong, maaf, dan lain sebagainya sangat mudah diwariskan tetapi menciptakan kegiatan yang menjadi kebiasaan keluarga turun temurun sebagai keluarga Katolik adalah sesuatu yang sulit, maka butuh pendampingan terus menerus dan komitmen dari keluarga. sebagai contoh, kebiasaan berdoa rosario sekali seminggu dalam keluarga, atau doa kerukunan keluarga sekali seminggu (orang tua mendoakan anak, anak mendoakan orang tua),” katanya. “Inilah habitus baru yang hendak kami bangun. Setelah rekoleksi ini berjalan dua bulan ke depan, DPP bersama pastor akan turun ke setiap stasi mengadakan katekese penyegaran tentang jadwal hidup keluarga, guna mengingatkan kembali dan mendata berapa keluarga yang menjalankannya setelah rekoleksi.“

***

Romo Santo melayani Pengakuan Dosa bagi Umat Stasi Lae Itam

Pada Selasa (20/2/2018), Tim Menjemaat turut dengan duet Pastor Paroki Parongil, RP. Monang O. Carm dan RP. Nampak O. Carm. Keduanya sumringah sebab Pemred Menjemaat, RP. Santo OSC juga sedia memberi Sakramen Pengakuan Dosa. “Jika saya dan Romo Santo berdua memberi Sakramen Tobat, maka Romo Nampak bisa fokus dalam sesi seminar dan pendampingan keluarga mengisi jadwal habitus Keluarga Berdoa,” kata Pastor Monang.

“Saya menduga lebih banyak umat nanti yang senang mengaku dosa sama Romo Santo. Mereka akan mengaku dosa dalam bahasa Toba, karena tahu Romo Santo ndak mengerti bahasa daerah sini,” ujar Pastor Nampak, disusul gelak tawa kami.

Setiba di Stasi Lae Itam, sekira 60 Kepala Keluarga umat telah menanti dan siap mengikuti kegiatan Rekoleksi Keluarga. Pastor Monang memberi briefing tentang masing-masing sesi serta tata cara Pengakuan Dosa. Dia juga memperkenalkan Tim Menjemaat, termasuk Romo Santo yang turut memberikan Sakramen Tobat.

Tak lama kemudian acara rekoleksi pun bergulir. Pastor Nampak, dalam sesi seminar, memberikan presentasi mengenai panggilan menjadi Keluarga Berdoa dan Rukun. Dalam satu kesempatan, Imam yang pernah melayani di Paroki Perdagangan menjelaskan, ”Materi yang saya bawakan ini lebih condong mendorong kaum Ama (bapak) untuk lebih giat menghidupi keluarga berdoa. Sementara bagi kaum Ina (Ibu) dan Anak hanya sedikit saja.”

Seusai seminar, Pastor Nampak kemudian memberi penjelasan mengapa setiap keluarga hendaknya membuat jadwal doa harian. “Dalam rekoleksi ini, kita tidak hanya mendengar saja. Namun, juga membuat jadwal kebiasaan baru dalam keluarga kita. Yakni, dengan mempraktikkan langsung pengajaran yang diberi hari ini.”

“Berikut ada tabel yang kami beri, tolong keluarga (suami, istri dan anak) membuat kebiasaan baru dalam keluarga masing-masing. “Salah satu kebiasaan tersebut adalah membaca Alkitab bersama dalam keluarga. Apakah hal tersebut berat?” tanya Pastor Nampak, dan dijawab ‘tidak’ oleh banyak umat yang hadir.

Pastor Nampak meminta seluruh keluarga yang turut rekoleksi membangun kebiasaan baru doa keluarga bersama sebelum melaksanakan kegiatan di luar rumah. “Dengan kebiasaan baru bersama-sama dalam keluarga. Keluarga Katolik yang berdoa dan rukun dapat dihidupi,” pungkasnya.

Sekretaris Stasi Lae Itam, Lastonius Saing mengatakan, umat setempat mengapresiasi rekoleksi keluarga tersebut. “Sebenarnya hari ini ada pesta adat yang sedang berlangsung di desa Lae Itam. Namun, kami para umat telah sepakat untuk memprioritaskan kegiatan rekoleksi yang digelar oleh Paroki Parongil. Secara khusus, Pastor Monang memberi perhatian dalam perkembangan iman umat di stasi ini.”

Dia menambahkan, tahun sebelumnya di masa praPaskah, Pastor Paroki Parongil mengadakan Pangorason Rumah (Pemberkatan Rumah) di Stasi Lae Itam. “Saya kira ini sudah tiga kali diadakan rekoleksi, dan juga pemberkatan rumah. Kami sungguh merasakan upaya Pastor sebagaimana motto Karmelit: “Berbuat Banyak dengan yang Sedikit.” Meskipun sedikit acara yang digelar hari ini, namun sungguh besar faedahnya bagi umat.

***

Pastor Monang Pastor Nampak dan Romo Santo mempersembahkan misa penutupan rekoleksi keluarga di Stasi Lae Itam

Ketika Misa untuk Rekoleksi Keluarga berakhir, umat Stasi Lae Itam diabadikan bersama ketiga Imam di halaman depan gereja stasi. Umat mengaku senang mendapat pencerahan iman yang baru. Pastor Monang, kepada Menjemaat, menyampaikan bahwa sebenarnya umat sangat ingin untuk turut pengakuan dosa.

“Di stasi-stasi dalam paroki ini, banyak umat yang tertarik untuk ikut pengakuan dosa, karena telah mendapat pengajaran tentang dosa. Saat memahami tentang dosa dalam Gereja Katolik, pada umumnya umat akan lebih giat untuk pengakuan dosa,” katanya. “Pengakuan dosa juga sebuah habitus dalam keluarga Katolik. Dengan memahami dosa, dan menyesali perbuatan tersebut. Pribadi sebagai Murid Kristus dapat dijalani dalam hidup sehari-hari.”

Sebelum melambaikan tangan perlambang ‘selamat tinggal’, seorang ibu menyela perbincangan: “Sayang sekali, kalian datang saat musim Durian habis.” Ya, benar juga. Menikmati Durian setelah Pengakuan Dosa, tentu menjadi penghayatan yang sempurna.

 

Ananta Bangun /// ditulis untuk majalah Keuskupan Agung Medan, MENJEMAAT