
Dalam tulisan ini, aku hendak menerbitkan materi presentasi yang kubawa pada Seminar “Bijak Ber-Media Sosial”, pada Minggu (18/2/2018) kemarin. Kegiatan ini digagas oleh Paroki St. Fransiskus Assisi – Padang Bulan. Mulanya undangan pembicara ditujukan pada Ketua Komsos KAM, RP. AE Susanto OSC. Namun, Romo Santo (sapaan-nya), kemudian mengalihkan peran tersebut kepadaku. Dengan senang hati, aku menerimanya.
Dari bincang ringkas bersama Pastor di Paroki Padang Bulan, RP. Cornelius Adhi, OFM Conv, aku mendapat tahu alasan di balik kegiatan ini. “Sering sekali kami dapati anak muda di Paroki (Padang Bulan), baik Orang Muda Katolik (OMK) dan Bina Iman Remaja (BIR), sulit lepas dari gawainya. Bahkan, di saat rapat maupun doa bersama,” kata Romo yang gemar humor ini.
Dari keprihatinan tersebut, pihak Paroki Padang Bulan berinisiatif menggelar sebuah seminar atau workshop yang dapat menggugah kawula muda di kedua kelompok kategorial, agar bijak memberdayakan gawai. Secara khusus, di dunia media sosial.
Bagiku sendiri, tawaran ini sungguh menantang. Sebab tidak mudah mengubah kebiasaan seseorang, hanya dengan menampilkan slide dan sekali pertemuan di sebuah forum bernama ‘seminar’ ataupun ‘workshop’.
Meminta ‘penikmat’ media sosial untuk mengurangi waktu berlayar di dunia tersebut, sama seperti menyuruh pengemudi mobil balap berkendara pelan di jalan tol. Sungguh sulit mencabut kenikmatan. Lalu, mustahil kah untuk lebih menikmati dunia nyata?
Buku-buku yang berbicara
Dari beberapa buku yang pernah kubaca, sepertinya tantangan itu tidak mustahil untuk dijawab. Netizen atau pengguna Internet (termasuk Media Sosial), kukira perlu mendapati ‘kunci’ pemahaman. Yakni:
- Mengapa industri media sosial ini berjalan? (Tentu saja demi meraup untung besar dari jumlah kunjungan netizen, serta pemasukan dari iklan)
- Bagaimana industri media sosial ini berjalan? (dengan menularkan pola kebiasaan yang menarik bagi netizen)
- Bagaimana menemukan terobosan untuk mengubah kebiasaan tersebut? (akan dibahas di bab berikut dalam tulisan ini)
Pada poin pertama, kukira tidak butuh pembahasan mendalam. Sudah jelas, dan dapat kita temukan dari model bisnis media lainnya. Baik media cetak, elektronik maupun digital selalu mengandalkan jumlah pengunjung atau pemirsa yang besar untuk menarik pemasukan iklan. Beberapa ada juga yang menambahkan keuntungannnya dengan menerapkan sistem berlangganan. Namun, hampir tidak ada media sosial yang menggunakan sistem berlangganan.
Poin kedua dan ketiga menjadi bahasan utama untuk seminar/ workshop/ tulisan ini. Ilham untuk membahas keduanya, kita gali dari tiga buku rujukan: “The Shallows” karya Nicholas Carr, “The Power of Habit” karya Charles Duhigg, dan “Communication Made Easy” karya bapa David Pranata.
Sebenarnya ada sejumlah buku atau tulisan yang dapat dirujuk. Namun, kukira tiga buku itu sudah cukup baik untuk menjadi ‘bahan bakar’. Mengandalkan ketiga buku tersebut adalah bukti bahwa aku bukan pakar atau ahli. Bahwa aku hanya seorang pembelajar dan harus selalu belajar lagi dan lagi.
***

Baik, aku ingin mengawali sesi ini dengan beberapa pertanyaan. Tenang saja. Ini tidak mengancam kehidupan, status pernikahan hingga ekonomi. Belum ada, setidaknya hingga kini, insan yang meninggal karena menjawab pertanyaan berikut.
Aku ingin bertanya pada sahabat OMK dan BIR sekalian:
- Sebelum beranjak tidur, benda apakah yang biasanya digunakan terakhir kali? Mengapa?
- Saat bangun pagi, benda apakah yang dicari pertama sekali? Mengapa?
- Jika kita melihat lampu indikator atau dering penanda status media sosial, apakah kita terburu-buru hendak membaca atau membalas? Mengapa?
- Jika gawai kita tertinggal di rumah, saat berangkat sekolah atau kerja, apakah kita mau kembali mengambilnya? Mengapa?
Jika jawaban mayoritas kita adalah ‘ponsel’ dan ‘iya’, kiranya sudah bisa mengetahui sendiri apakah termasuk ‘penggila gawai’ atau bukan.
Otak yang Lapar Informasi
Nicholas Carr adalah seorang penulis dari Amerika Serikat. Dia telah menulis beberapa buku, namun karya terbaik seperti ada pada buku “The Shallows”. Di buku ini, dia mengetengahkan bagaimana Internet sebenarnya telah mengubah perilaku dan kemampuan otak manusia. Dia merujuk pada pengalaman hidupnya sebagai maniak Teknologi Informasi dan juga penelitian yang berkaitan dengan isu itu.
Dalam buku, yang menjadi finalis penghargaan Pulitzer pada 2001, Carr membuat sebuah analogi perbedaan otak manusia ketika membaca buku dibandingkan menelusur informasi di Internet adalah,” Ketika membaca buku, kita seperti menyelam di kedalaman laut. Sementara membaca informasi di Internet bagaikan mengemudikan speed boat di atas permukaan laut.”
Carr sendiri menamai Internet sebagai sebuah pesta. Dan semakin jelas, saat kita menoleh di bilik media sosial. Sungguh riuh. 1×24 jam. Tiada henti.
Maka, sebuah pertanyaan muncul dalam benak kita: “Mengapa kebiasaan berinteraksi dan menelusur informasi bisa begitu kuat ‘mencengkeram’ porsi hidup kita?”
Jika berbicara tentang ‘kebiasaan yang (sengaja) dibentuk’, aku kerap teringat pada tradisi masyarakat Thailand yang mengikat gajah peliharaannya sejak usia muda. Pada rentang umur itu, si gajah kecil kerap meronta untuk lepaskan diri, tapi selalu gagal karena tenaganya yang masih lemah. Seiring waktu, pola pikirnya pun terpatri sepanjang hidupnya. Walaupun pada akhirnya beranjak besar dan bertenaga kuat, namun gajah tersebut tetap merasa lemah dan merasa mustahil lepas dari ikatan tali di kakinya.
Baik jika kita takzim membaca tulisan jurnalis The New York Times, Charles Duhigg tentang ‘kebiasaan’, di buku “The Power of Habit”. Dalam buku ini, dia menyajikan temuan penelitian dan pengalaman perihal lahirnya kebiasaan dan bagaimana mengubahnya untuk mencapai hidup yang lebih baik.
Duhigg mengatakan, kebiasaan adalah sebuah pola yang berulang. Dan terdiri dari tiga bagian yakni: tanda – rutinitas – ganjaran.
Walau sepintas kurang relevan dengan tema seminar ini, mari kita ambil sebuah contoh yang dipaparkan dalam buku tersebut. Bagaimana Pepsodent berhasil menumbuhkan kebiasaan menyikat gigi bagi banyak manusia di bumi. Termasuk kita di Indonesia. Medan, maupun di Paroki Padang Bulan. Oke, kita kesampingkan dahulu sangkalan bahwa belum tentu kita semua memakai merek yang sama. Baiklah. Kita fokus pada kebiasaan menyikat gigi dengan pasta.
Duhigg memaparkan, pakar pemasaran Claude Hopkins menjadikan Pepsodent sebagai produk paling laris sedunia hingga kini. Pertama, Hopkins hendak menemukan ‘tanda’ yang mudah dikenali khalayak umum, yakni ‘plak’, atau kotoran yang menempel di gigi. Kedua, dia menganjurkan agar menyikat gigi dengan Pepsodent untuk menghilangkan plak. Ketiga, ganjaran atas kegiatan tersebut bukanlah gigi bersih dari plak. Melainkan, sensasi segar dan pedas di lidah.
Sensasi ini lah yang menjadi ‘mantra’ ajaib sehingga kebiasaan menyikat gigi terus melekat dalam kehidupan kita. Kita, sebagai pembeli, lalu membangun kebiasaan tersebut “sikat gigi di pagi hari, dan sore hari atau kapan saja setelah makan/ mengudap”. Dalam buku tersebut dikutip pernyataan ahli kesehatan gigi, bahwa Pepsodent tidak menjamin gigi bersih dari plak. Namun, hanya menghilangkan untuk jangka waktu tertentu. Tentu saja, karena kita tentu akan makan juga setelah sikat gigi. Pola kebiasaan ini pun akan berputar kembali.
Jadi, bagaimana jika kita terapkan dalam kebiasaan berlayar di Media Sosial? Baik. Kita akan mulai dari janji-janji Internet terlebih dahulu: “cepat, tanpa batas waktu dan tempat.”
Di Media Sosial, kita bisa menyaksikan kegiatan teman/ insan lain di belahan dunia yang jauh, secara real time atau berlangsung di waktu yang bersamaan. Kita juga bisa berbagi infomasi teks, gambar hingga video secara mudah dan gratis.
Aku sengaja menebalkan lema ‘gratis’. Karena pada akhirnya, kita tidak merasa rugi membayar pulsa atau sewa Internet, untuk berselancar di Internet dan media sosial.
Otak kita kemudian menemukan tanda. Baik berupa, dering dari aplikasi perbincangan (seperti WA), dan warna kontras pemberitahuan terbaru (seperti FB). Saat menemukan tanda tersebut, muncul rasa penasaran dalam benak (otak) kita.
Ganjaran pun hadir, ketika kita benar-benar menyingkap isi tanda tersebut. Mirip pengalaman menemukan rumah makan penjual makanan enak, setelah mencari-cari dengan mengendus aroma masakannya.
Pola ini berputar terus, (dan kabar buruknya) tanpa kita sadar secara penuh. Terkadang, kita sudah memutuskan untuk beristirahat saat melirik jam. Namun, tanda-tanda yang terus bermunculan sulit untuk diabaikan oleh otak kita. Dia menjadi tiran atas tubuh dan fikiran, karena otak yang semakin lapar akan informasi baru.
Membentuk Kebiasaan Baru
Dalam “Power of Habit”, Duhigg tidak hanya memaparkan bagaimana pola kebiasaan terbentuk. Namun, juga bagaimana menimpa pola lama dengan yang baru. Ide utamanya, menumbuhkan kebiasaan baru bermanfaat bagi kehidupan kita sendiri.
Siapa yang tidak ingin meraih puncak keberhasilan, ataupun hidup sejahtera dengan menempah kebiasaan-kebiasaan positif?
Duhigg menjelaskan, kuncinya adalah dengan menemukan ganjaran terlebih dahulu. Semisal, bagaimana mengubah kebiasaan mengudap atau ngemil berlebihan agar berat badan kembali normal. Ganjaran yang diperoleh dari ngemil adalah menyegarkan kembali otak yang penat setelah beberapa jam kerja atau kegiatan. Bukan karena perut yang lapar.
Dengan beberapa percobaan, kita mungkin mendapati, bahwa dengan bincang ringan dengan teman-teman ataupun berjalan santai di sekitar taman juga memberi ganjaran yang mirip bagi otak.
Pada permulaan, membiasakan pola habitus ini mungkin tak lekas diterima. Namun, sebagaimana kebiasaan lainnya dalam hidup kita, setelah beberapa pelaksanaan habitus itu akan menjadi sebuah pola. Kita perlu menikmati ganjaran dalam pola kebiasaan yang baru itu.
Selain kiat dari Duhigg, sungguh baik dipadukan juga dengan dorongan (motivasi) sadar akan pengembangan diri. Pembicara publik dari Surabaya, David Pranata, dalam bukunya “Communication Made Easy” memaparkan tips tersebut sebagai ‘The Cost of Doing Nothing’.
Pranata mengatakan, setiap kali melakukan kegiatan dalam hidup ini, kita selalu menanam investasi dengan uang milik sendiri. Namun, sungguh disayangkan, kita jarang sekali mengetahui seberapa dalam investasi yang kita buat bagi kehidupan sendiri.
Dia membuat sebuah contoh, keberanian berinvestasi antara ‘membeli ponsel baru’ atau ‘membayar jasa training/ seminar’. Pada umumnya, pilihan untuk yang pertama lebih menggoda. “Namun, pertimbangkan investasi tersebut dalam jangka waktu panjang. Tempo beberapa tahun maupun bulan, ponsel yang baru akan menjadi lawas. Digeser oleh keluaran produk teknologi komunikasi lainnya,” kata Pranata. “Sementara, pengetahuan dari training atau seminar, bisa memberi imbal balik hingga waktu lama.”
Kelalaian itu disebabkan kita sering gagal membedakan antara tujuan dan sarana. Agar mudah, kita bayangkan saja seorang yang haus tentu membutuhkan air minum. Akan aneh, bila fokus kebutuhannya hanya pada ukuran kemewahan gelas untuk wadah air minum tersebut.
Bekal
Di bagian akhir, aku kira perlu menegaskan bahwa piawai memberdayakan media sosial adalah bagus. Bijak menggunakannya untuk hidup yang baik tentu lebih bagus. Orang kerap lupa bahwa media sosial dan industri populer lainnya dirancang dengan serius agar penggunanya ‘betah’ berlama-lama. Tak kenal waktu dan tempat, untuk menatap layar gawai. Mengapa? Karena setiap detik waktu yang dihabiskan pengguna di layanan tersebut berarti arus uang yang mengalir lebih kencang ke kantong perusahaannya. [Mengenai ini, kukira akan bagus dijabarkan dalam satu seminar atau workshop terpisah. Yakni, untuk mengetahui sebesar apa potensi mencari nafkah dari media sosial. Dan tema senada lainnya].
Sebagai landasan iman, aku mengutip sabda Allah dalam Alkitab:
Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apapun di bawah langit ada waktunya (Pengkhotbah 3:1)
Hendaklah kata-katamu senantiasa penuh kasih… (Kolose 4:6)
Aku teringat pada satu pengalaman dengan seorang teman. Yaitu, pada masa permainan online Poker di Facebook sangat merasuk di kalangan netizen. Aku menyampaikan, perancang permainan itu bukan hanya dari kalangan programmer komputer belaka. Namun, juga didukung ahli psikologi dan latar belakang akademisi lainnya, yang mengetahui bagaimana mempertahankan fokus otak hanya pada permainan itu.
Dia menyangkal, dan bilang hanya iseng bermain sebentar. Keesokan hari kami bertemu, kuperhatikan matanya agak sembab. Saat kutanya tentang kondisi matanya itu, dia mengaku kurang tidur karena tak bisa henti bermain poker. “Setiap kali aku berniat untuk keluar dari permainan, entah mengapa aku bisa menang di sesi permainan tersebut. Sehingga kuurungkan niat berhenti main. Akhirnya, aku terus lanjut hingga subuh.”
Ya. Carr benar tentang ucapannya bahwa ‘Internet adalah sebuah pesta’. Pesta tiada henti yang terus menggamit otak netizen untuk betah berlama-lama di dalamnya.
GALERI





