
Gilbert Tuhabonye merupakan satu dari sedikit atlet yang berhasil meretas keberhasilan seusai tragedi. Kisahnya tidak hanya bertumpu pada minat tinggi dan kerja keras, namun juga upaya mengubah pola fikir atas pengalaman paling mengerikan dalam hidupnya. Setelah mencapai puncak prestasi, Gilbert kemudian menggalang program amal bagi keluarga lama di kampung halamannya. Alih-alih melupakan mereka. Sepenggal artikel di Lentera News edisi Februari ini, hendak mengurai riwayat ringkas sang atlet sejati tersebut.
Gilbert Tuhabonye dilahirkan pada tanggal 22 November 1974, di Selatan Songa, di Burundi (satu negara kecil di Afrika Tengah/ Timur). Gilbert adalah anak ketiga dari empat bersaudara. Keluarganya berasal dari suku Tutsi yang pada umumnya mencari nafkah sebagai petani. Orangtua Gilbert memelihara sapi perah dan juga menanam kentang, kacang polong, jagung dan kacang hijau.
Semenjak belia, Gilbert merupakan anak lasak yang gemar berlari-lari. Dia bahkan kerap berlari-lari di sekitar kampung halamannya. Disamping itu, ia juga sering berlari-lari ke ujung lembah untuk mengambil air keperluan keluarga. Ia juga menempuh jalan ke sekolahnya, sejauh 5 mil, sembari berlomba lari dengan teman-teman satu sekolah. Bahkan, salah satu hobinya adalah mengejar sapi-sapi milik keluarganya. Gilbert dibaptis sebagai Katolik saat menduduki kelas 6 Sekolah Dasar. Tak lama berselang, ia pun mengenyam pendidikan di salah satu sekolah Protestan di Kibimba. Di tengah masa pendidikannya di sekolah Kibimba, Gilbert melibatkan diri dalam perlombaan lari. Walaupun lari dengan nyeker (telanjang kaki), sang murid baru tersebu ber- hasil menang dalam lomba lari 8 Km.
Memasuki tingkat kedua, Gilbert berkenalan dengan seorang pria yang mengubah teknik berlarinya dengan mengangkat lututnya lebih tinggi dan menahan lengannya dengan benar. Pelatih barunya itu juga memotivasinya tekun berlatih dan berusaha meretas jalan menuju Olimpiade. Nasihat itu ia serap, hingga ia menjadi juara lomba lari nasional untuk cabang 400 m dan 800 m. Menjelang masa akhir pendidikan menengah tingginya, Tuhabonye telah menjadi atlet terkenal di negaranya. Ia pun berambisi memperoleh beasiswa ke kampus di Amerika Serikat dari olahrga yang ditekuninya itu. Dalam benaknya, ia akan kembali ke Burundi setelah berhasil mengecap pendidikan tinggi di negeri Paman Sam tersebut.
Tragedi Perang
Namun angin cobaan kemudian menerpa kehidupan Gilbert. Pada 21 Oktober 1993. Perang saudara (yang telah berlangsung selama ratusan tahun) antara suku Tutsi dan Hutu pun membara hingga lingkungan sekolahnya.
Ratusan teman-teman sekolahnya dari suku Hutu, juga para guru dan orangtua siswa, serta beberapa suku Hutu dipaksa masuk dalam satu ruangan sekolah. Dalam ruangan tersebut, banyak dari para sandera dipukuli hingga tewas, lalu kelompok teroris membakar gedung tersebut.
Selama sembilan jam, Gilbert terkubur oleh mayat sahabat-sahabatnya dan masih terjebak kepungan api. Dengan nekat, ia pun memungut tulang salah seorang sahabatnya untuk memecahkan jendela ruangan tersebut. Dia pun berhasil meloloskan diri, dan berlari menembus gelap malam dengan kaki hangus bekas jilatan api. Gilbert bertahan hidup dalam salah satu peristiwa tragis perang antar suku Tutsi-Hutu. Pengalaman mencekam yang justru membuka pintu kehidupan baru baginya.

Titik Balik
Kini, 20 tahun selepas kejadian mengerikan tersebut, Gilbert Tuhabonye menjadi figur terkenal dan paling dihormati dalam dunia atletik lari. Dia telah menamatkan pendidikan tinggi di Universitas Abilene Christian, di Texas. Kini ia tinggal di Austin, Texas bersama istrinya Triphine dan dua putri, Emma dan Grace.
Gilbert mendirikan Gilbert’s Gazelle, salah satu pusat pelatihan atletik lari terbesar di Austin. Dia juga mengemban amanah sebagai pelatih kepala di SMU St. Andrews, dan mengharumkan nama sekolah tersebut dengan sebagai jawara atletik negara bagian selama lima kali berturut-turut, pada tahun 2008 hingga 2012. Pada tahun 2006, Gilbert — bersama beberapa karibnya atlet pelari — mendirikan yayasan amal Gazelle Foundation yang menetapkan misi membangun penyediaan air bersih di Burundi. Yayasan amal ini pun berhasil menggalang sejumlah besar dana dari kegiatan lomba lari “Run for the Water”.
Di tahun yang sama, Tuhabonye juga merilis kesaksian pengalaman hidup dan imannya dalam buku berjudul This Voice in My Heart: A Genocide Survivor’s Story of Escape, Faith, and Forgiveness (HarperCollins Publishing, 2006). Buku ini pernah menjadi ulasan utama oleh media National Public Radio dan BBC.
“Bila fokus pada pernapasan saja, menurutku, aku bisa mengabaikan rasa sakit itu. Keringat mengalir di wajahku hingga menyengat mata. Bara panas itu seperti tiada henti, dan lidahku serak karena bibir yang kering dan pecah-pecah. Suara hatiku berdetak cepat deras di telinga, dan jejak langkahku melambat di atas abu kayu yang telah menjadi bubuk putih. Aku hanya harus menahan rasa sakit ini lebih lama, agar aku bisa bebas. Kalau saja bisa, aku ingin melayang di atas bara ini. Aku membiarkan instingku melangkah dengan kaki yang dianugerahi Tuhan. Untuk kemudian, melewati titik kehidupan ketika pikiranku sendiri berkata: menyerahlah!”

/// disarikan dari beberapa sumber (dimuat di Lentera edisi Februari 2015)