
Seluruh pandangan tertuju pada sehelai meja. Ia menjadi panggung. Dan papan catur ialah arena bagi bidak yang hitam dan putih. Warna-warna itu mewakili aku. Mungkin mereka. Mungkin kami yang ada di sebuah ruang gerah ini. Entahlah tidak ada yang dipaparkan secara benderang tentang jati diri penonton maupun duelis di tepi masing-masing bibir meja itu.
Dalam benak kami, mereka dikonsepkan tengah bertarung. Dengan antonimitas warna sebagai simbol: pertarungan, atau perbedaan. Ya. Perbedaan adalah percik api terbaik untuk menyulut sumbu bom ini taling tarung.
Pertarungan dimulai tanpa ketentuan ronde maupun tambahan waktu. Dengan gelombang antitesis sebagai bumbu utama dalam laga. Pion hitam dibenturkan dengan kuda putih. Di lain masa, kuda putih itu disangkal dengan kastel hitam.
Setiap benturan dan sangkalan, entah mengapa, menggelitik hiruk pikuk penonton. Utamanya yang telah menempatkan fikiran dan tubuhnya di salah satu warna-warna itu. Mereka takjub. Tersihir. Sempat juga lunglai dan merasa remuk. Senada kemenangan menghentak argumentasi-argumentasi dari hitam atau putih. Demikian juga sebaliknya, bila remuk dijungkalkan rival dari perwakilan warnanya.
Perwakilan? Semenjak kapan tubuh dan fikiran ini mendapat perwakilan. Apakah hanya karena persamaan warna? Sehingga tubuh dan fikiran kami para penonton turut menjadi investasi di dalam perseteruan ini. Sepertinya kami terima dan pasrah saja bahwa itu petarung adalah perwakilan kami masing-masing.
Pekik dan jerit penonton telah menyayat beberapa adega laga. Kini tersisa kedudukan yang ganjil. Satu biji melawan dua biji catur. Keheningan perlahan hadir di arena. Menghimpit ruang untuk degup jantung. Hingga terdengar ke seluruh penjuru. Dan … seruan “skak mat..” seolah menghentikan rotasi bumi, deru nafas. Hening. Bahkan denting jarum jatuh pun terdengar jelas hingga ke ulu hati.
Aih! Tidak sedikit yang gontai dan mencucur air mata. Seolah dijemput penjaga akhirat. Namun, suasana di arena menciprat keganjilan bagi kami. Kedua rival itu saling lempar dan pungut senyum. Mereka mendekat dan berangkulan. “Baiklah. Aku mengaku kalah. Tapi tetap saja ini hanya sebuah pertarungan. Tak bisa lebih,” ujar si hitam. Si putih tergelak dengan bahu melonjak-lonjak. “Benar. Benar. Toh, kita ini oposisi biner. Catur ini harus lah ada yang hitam dan putih. Ia tak bisa dimainkan bila hanya terdiri dari warna tunggal.”
Diam. Membisu. Kami beringsut pergi satu persatu. Hanya keheningan yang tak beranjak dari arena laga.
//// ditulis untuk majalah online Lentera