
Aku mengenal Frizt Sembiring sejak Komisi Komunikasi Sosial – KAM berpindah markas ke gedung Catholic Center KAM, pada tahun 2015 lalu. Sejak mula bertemu, aku terkesan pada sifatnya yang ceria dan gerak-gerik nan sigap. Namun, aku mulai mengetahui jati dirinya sebagai aktivis Orang Muda Katolik, justru ketika dia menanggalkan karir di gedung berkubah coklat itu. Dia mengajak aku untuk mengisi sesi motivasi dalam kegiatan Kaderisasi Aktivis OMK Stasi St. Fidelis – Diski di Sibolangit. Aku menyanggupi, dan setelahnya, perbincangan kami di dunia maya hampir selalu dijejali perihal pengembangan minat dan organisasi OMK.
Dalam bincang di grup Whatsapp OMK Diski, pada Selasa (17 Oktober 2017) kemarin, misalnya, dia meluncurkan tanya sebagai berikut: “Oy Bg.. . Apa yg menjadi keuntungan seorang penulis yg real abg Alami?? Bagi kisahnya bg. Siapa tau ada adik adik ini yg pnya bakat, tapi gak tau arahnyaa..”
Aku terkesiap dengan pertanyaan tersebut. Sebab tidak mudah untuk menuliskan jawabannya. Akan lebih mudah, bila saja dia bertanya kiat atau panduan mula belajar menulis. Ataupun hal-hal praktis tentang menulis.
Sempat aku tergelitik untuk langsung memberi tanggapan, namun lekas kuurungkan. Aku ragu jawaban langsung hanya akan segera terbenam dengan banyak komentar dari anggota lainnya di grup WA tersebut.
***

Kupikir, sungguh tepat pertanyaan Frizt itu. Buat apa aku begitu bersemangat mendorong setiap insan yang kukenal dan kutemui untuk turut ‘terhanyut’ dalam dunia menulis? Bahkan, Istriku, Eva Susanti Barus, yang malang, hampir setiap waktu mendengarkan nasihat untuk belajar menulis.
Seingatku, aku mulai tertarik pada dunia menulis ketika mulai bekerja sebagai penerjemah di media online (WOL). Sesungguhnya media itu lebih tepat dikatakan ‘sekolah’, alih-alih tempat bekerja. Karena sistem kepemimpinan tiran, si pemimpin redaksi sesukanya saja memindahkan tugas setiap personil. Aku pun turut terimbas. Dari meja penerjemah, aku pun ‘dicelupkan’ ke kelompok redaktur. Banyak yang heran, karena aku sendiri belum pernah menjadi reporter lapangan, namun mendadak menjadi redaktur. Huehehehe.
Satu hal yang menjadi motivasi bagiku untuk belajar menulis, adalah rasa ‘iri’ pada penulis. Satu di antaranya adalah sobat sesama alumnus SMU Negeri 17 Medan, Vinsensius Sitepu. Aku kagum pada cara dia menjalin aksara di berbagai media. Dan juga beberapa buku yang berhasil dia tetaskan.
Tidak hanya menulis, aku mendapati Vinsen juga piawai dalam berbicara (public speaking). Aku tak perlu menutupi, sebelumnya diriku adalah pribadi pemalu, pendiam dan juga payah dalam hal tulis-menulis.
Dari beberapa perbincangan dengan Vinsen, aku beroleh inspirasi. Setiap penulis yang baik, adalah pembaca yang baik pula. Tidak mungkin menulis tanpa banyak membaca terlebih dahulu. Nasihat itu kupatri dalam hati hingga kini. Mulanya sungguh sulit. Mengapa? Butuh dana yang tidak sedikit untuk membeli (dan waktu yang banyak pula) guna membaca buku. Tantangan paling berat adalah suara-suara negatif dari orang-orang sekitar, yang menjadi sugesti untuk melemahkan niat belajar. Terutama sekali dari keluarga sendiri.
Dari sejumlah buku yang baik, seperti “Enchantment”-nya Guy Kawasaki serta “Agama Saya adalah Jurnalisme” oleh Andreas Harsono, kuperoleh ilham bahwa setiap pribadi yang luar biasa ditempah oleh proses (atau kesalahan) berulang-ulang. Mereka tidak mengecap keberhasilan secara instan. Namun, menghidupi minatnya.
Ketertarikan pada blog, kemudian menghantarku pada perkenalan dengan komunitas Blogger Sumut. Aku kagum mengetahui bahwa mereka bisa mapan dengan pengetahuan TIK dan menulis blog. Beberapa diantaranya yang kukenal adalah: Mulyadi Pasaribu, Helda Sihombing, Nicholas Sihotang, Dineno, Badia Tarigan, Fikry Fatullah.
Dalam Blogger Sumut, aku mempelajari bagaimana membuat tulisan yang menarik perhatian pembaca. Beberapa mengatakan, ini termasuk kiat dalam meningkatkan kunjungan ke blog. Hasil akhir yang diharapkan, bisa menjaring banyak iklan untuk pemasukan si penulis blog. Aku telah sekian kali mencoba hal ini, namun tak kunjung berhasil. Pada akhirnya, kuputuskan untuk berhenti memikirkan iklan dari menulis (terakhir kali, saat membuat situs renungan harian di www.renungan-katolik.com bersama Istri, pada tahun 2016 lalu).

***
Aku sangat bersyukur mendapat pekerjaan di Komisi Komsos KAM. Di komisi ini, aku mendapat banyak kesempatan untuk belajar menulis dan juga mendesain media majalah. Bahkan, dalam satu kesempatan, aku bisa banyak belajar kedua hal tersebut dengan Vinsen — yang didukung oleh Komsos.
Selama masa pembelajaran itu, Vinsen memberi masukan baru bagiku untuk coba membuat karya tulis sebanyak mungkin. Dengan tema yang senada: gereja Katolik. Kelak beberapa hasil tulisan tersebut bisa dirajut menjadi sebuah buku. Seibarat sabda: “Menabur lah lebih dahulu, sebelum menuai.” Satu buku telah kubuat, berkat bantuan Vinsen yang murah hati mendanai pengurusan ISBN.
Dengan kegemaran menulis ini, aku memberanikan diri untuk beri pelatihan keahlian menulis. Para postulan KSSY di Biara St. Anna – Bougenville dengan ikhlas menerima simulasi pelatihan menulis yang kubuat sejak 2016. Baru pada angkatan ke-III, aku menemukan kunci untuk pelatihan menulis yang efektif dan berdampak. “Pertama, peserta hendak lah memiliki tujuan yang jelas pada pelatihan menulis yang diikutinya. Kedua, peserta hendak lah menulis apa pun yang dia ketahui dan kuasai. Berikutnya, peserta akan ‘mengalir’ dalam tulisannya sendiri.”
Kembali pada pertanyaan Frizt di awal tulisan ini. Apa keuntungan nyata yang kualami dengan belajar (catatan: saya masih harus terus belajar) menjadi penulis? Sungguh banyak rahmat yang tak bisa diutarakan dalam satu tulisan ini. Dan, nilainya sulit diganjar dengan materi.
Hal yang pertama, membangun kepercayaan diri. Baik dalam menuturkan, secara lisan dan tertulis, gagasan ataupun kesan yang kufikirkan.
Kedua, niat belajar menulis ‘mendesak’ diriku untuk belajar membaca juga. Secara tidak langsung, pribadi seorang pembelajar yang berkenan menjadi ‘gelas kosong’ pun terbentuk.
Adapun hal ketiga, adalah tumbuhnya relasi dengan insan-insan baru. Setiap kali melakukan liputan untuk menulis, maupun terlibat dalam pelatihan menulis, ada orang-orang baru yang kukenal. Tokoh kreatif yang kukagumi, Yoris Sebastian, pernah menuliskan di bukunya, “kita harus sering bertemu new stranger untuk mengasah kreativitas.”
Semoga ini bisa menjawab pertanyaan Frizt, serta sobat OMK Diski. Kurasa, tak perlu kutambahkan bahwa aku bisa meminang Istriku berkat wawancara ‘terselubung’ untuk Menjemaat. Dan juga mertua yang melirik foto kartunku, saat aku menuliskan kolom opini di edisi majalah yang sama. Ups!
