
Sudah berapa kali kita mendapati pengalaman bernama ‘salah arah’?
Begini kira-kira mula ceritanya:
Belasan insan duduk di kursi yang ditata berupa setengah lingkaran. Kemudian seorang, yang menyebut diri sebagai trainer atau pemateri, memberi pertanyaan menghujam benak mereka: “Apa tujuan Anda semua turut dalam pelatihan ini?”
Wajah-wajah peserta training itu kaku lalu jatuh tertunduk, ketika pandangan si trainer menyapu paras mereka satu per satu. Beberapa mungkin menggerutu: “Tak mungkin lah dibilang karena disuruh atasan.” Lainnya lagi: “Entah lah. Yang penting bisa lepas dari kerjaan kantor yang itu-itu saja. Lagipula, beberapa minggu setelah kegiatan ini pasti lupa lagi.”
Demikianlah suasana seperti pada hari ke-6 terciptanya bumi dan segala isinya. Hening. Namun tak berlangsung lama, karena sesi coffee break atau makan jedah pun tiba.
***
Dalam beberapa pengalaman memberi pelatihan menulis, aku temui peristiwa laiknya situasi disebut tadi. Mungkin, boleh kusebut ‘salah arah.’
Belakangan, aku sering iseng buat pertanyaan senada (tapi dengan gaya berbeda): “Siapa di sini pernah panggil becak. Terus, si abang becak nanya: “Mau kemana, dek?” Lalu dijawab: “Entah lah, bang. Abang bawa saja aku ke mana angin berhembus.””
Peserta umumnya tertawa dengan ilustrasi itu. Namun, masalahnya situasi gila ini kerap terjadi dalam kesempatan untuk belajar pengembangan diri (dalam hal ini, aku maksudkan adalah ‘mengasah keahlian’). Apakah karena sejak lama tertanam dalam fikiran bahwa belajar hanya di sekolah ya? Entah lah (lho kok?)
Pernah ada pengalaman yang cukup menggelikan. Dalam satu pelatihan menulis untuk membuat majalah Gereja, seorang peserta aku perhatikan selalu menatap dengan dahi berkerut. Dengan iseng kutanya tujuannya dalam mengikuti training ini (tentu setelah bertanya juga pada beberapa peserta lain). Enteng dia menjawab: “Saya kebetulan tadi mengantar Istri ke Sekretariat Paroki?”
Apakah dia mampu menyerap materi dalam training? Benar. Alisnya tetap bertaut hingga sesi terakhir.
***

Dalam buku Bacakilat for Students yang ditulis Juni Anton dan (founder Bacakilat) Agus Setiawan, ada satu bab membuatku lama tertegun. Yakni, Menetapkan Tujuan. Penulis bertanya: Mengapa kebanyakan kita mengenyam pendidikan di sekolah seperti tanpa sadar akan tujuan? Apakah sekedar mengikut arus? Atau sungguh sadar dan memiliki tujuan istimewa untuk masa depan hidup?
Simon Sinek, si penulis buku ‘Start With WHY’, juga pernah singgung ini dalam presentasinya di konferensi internasional bergengsi, TED. Menurutnya, insan-insan hebat seperti Wright bersaudara yang menemukan pesawat terbang dan banyak pribadi luar biasa lainnya terletak pada nilai ‘Lingkaran Emas’ yang mereka anut.
Lingkaran emas tersebut haruslah bermula dari “WHY” atau “Mengapa”. Dengan kata lain lagi, apa tujuan utama dari impian atau dedikasi mereka. Kemudian “HOW” atau “Bagaimana”, yakni tentang bagaimana pribadi atau lembaga membuat langkah-langkah untuk mewujudkan impiannya. Terakhir “WHAT” atau “Apa” yang menampilkan hasil akhir wujud tersebut.
Saat membuat mesin pesawat terbang sederhana, Wright bersaudara sebenarnya bukanlah sosok yang paling disorot pada masanya. Namanya kini tidak pernah terdengar, namun di saat itu banyak media yang rutin memberitakan upaya penemuan mesin pesawat terbang pertama oleh Samuel Pierpont Langley.
Bapak Langley ini mendapat dukungan penuh dari segi dana, alat dan laboratorium yang canggih dari pihak kampus tempatnya bekerja. Sebaliknya, Orville Wright dan Wilbur Wright hanya mengandalkan keuangan pribadi seadanya. Satu-satunya harta mereka (mungkin) hanya kesetiaan pada proses yang disebut ‘Lingkaran Emas’ oleh Sinek tadi.
Sulit dimengerti, bahwa kebanyakan dari kita justru mengambil langkah terbalik dari ‘Lingkaran Emas’. Yaitu, menentukan “Apa hasil akhir yang hendak diraih”, kemudian “Bagaimana cara kita mewujudkannya”, dan akhirnya mempertanyakan “Mengapa kita sungguh menginginkan hasil atau impian tersebut.”
***

Aku tertegun mendapati ilham dari mempelajari “Menetapkan Tujuan” ini. Aku ingin menjadi seorang penulis, pembelajar dan pengajar yang bahagia. Karena satu dan lain hal, aku mendapati juga mantra nasihat dari seorang penulis dari negeri Paman Sam, Jodi Picoult. Dia mendorong agar insan yang ingin menjadi penulis sebaiknya terus menulis tanpa berpikir terlalu ribet apakah itu bagus atau tidak. “You can always edit a bad page. You can’t edit a blank page.” Wah benar sekali!
Maka kuputuskan lah untuk mengawalinya dengan tulisan “Menetapkan Tujuan” ini. Sembari menuliskannya, aku iseng-iseng telusur beranda sua di Facebook dan menemukan satu cerita menarik berjudul “2 Serigala”. Menurutku, ini sangat baik juga menjadi ilustrasi mengenai pentingnya mengetahui dan menetapkan tujuan dalam hidup. Tidak hanya dalam khasanah pelatihan maupun karir seperti dikisahkan dalam cerita di bawah ini. Namun, lebih dalam lagi. Dalam napaktilas kehidupan.

2 Serigala
Ada 2 ekor serigala di hutan Rica-rica, serigala B menantang serigala A untuk menangkap seekor kelinci yang sedang makan wortel, tidak jauh dari tempat mereka berdiri,
“Ayo Serigala A, kamu bisa ngga tangkap kelinci itu?” tanya serigala B,
“Ah, itu gampang, lihat saja nih!” Jawab serigala A, dan dengan sigap serigala A itupun melompat ke arah kelinci tersebut, dan berlari mengejarnya.
Sedangkan kelinci yang melihat serigala itu, langsung lari terbirit-birit ketakutan, tanpa pikir panjang wortel yang masih dikunyahnya di lemparkan ke arah serigala tersebut,
“DUAAAKK!!” begitu suaranya..
Karena serigala adalah binatang yang kuat, maka wortel kecil yang mengenai kepalanya tidak terasa sama sekali, serigala tersebut tetap mengejar kelinci itu, 1 menit.. 2 menit.. 3 menit… sampai 5 menit..
Serigala itu belum dapat menangkap kelinci itu, karena kelinci itu larinya lebih kencang. serigala itupun kelelahan, dan menghentikan pengejarannya.
Dengan perasaan yang sangat malu, dia menunduk berjalan dan kembali ke temannya serigala B.
Setelah sampai di tempat serigala B, maka serigala B itupun bertanya, “Bagaimana? Apakah kamu bisa menangkapnya ?” tanya serigala B, lalu serigala A hanya menggeleng-gelengkan kepalanya yang masih tertunduk.
Serigala B lalu melanjutkan perkataanya : “Kamu tahu, kenapa kamu tidak bisa menangkap kelinci itu? Kamu kalah, karena kamu tidak serius. Kamu berlari mengejar kelinci hanya untuk pamer saja, sedangkan kelinci itu berlari untuk nyawanya.”
Mungkin kita tertawa mendengar cerita ini, betapa bodohnya seekor serigala yang seharusnya dapat berlari sangat kencang, tetapi tidak dapat menangkap seekor kelinci.
Tapi, kita dapat mengambil pelajaran dari serigala tersebut, untuk orang yang sudah bekerja, mungkin Anda merasa, Anda sangat lelah, Anda capai dengan pekerjaan Anda, Anda merasa bosan, Anda merasa tidak ada kemajuan sama sekali dalam pekerjaan Anda, Itu dikarenakan karena Anda tidak serius dengan pekerjaan Anda. Cobalah pikirkan kembali, apakah tujuan sebenarnya Anda bekerja? Apakah pekerjaan Anda yang sekarang sudah cocok dengan bidang Anda? Terkadang ada orang yang bekerja, karena tuntutan orang tua agar mencari uang sendiri, atau kadang juga ada orang yang bekerja, karena mereka merasa ‘harus’ bekerja untuk membantu orang tua mereka menghidupi keluarganya, atau ada juga orang yang bekerja karena untuk dapat pamer pada teman-temannya, pada sanak saudara, bahwa dia sudah bekerja.
Memang bekerja tidaklah salah, tapi jika pekerjaan itu dilakukan dengan tidak serius atau ‘separuh hati’ maka Anda akan merasa bosan, merasa malas untuk bekerja, tidak ada gairah. Lain halnya jika Anda bekerja, karena Anda benar-benar menyukai pekerjaan tersebut dan sesuai dengan bidang Anda, Anda akan enggan berhenti bekerja untuk beristirahat, setiap pagi Anda akan selalu terbangun dengan wajah yang berseri-seri.
Jadi, apakah tujuan Anda bekerja ? Jawaban ada di tangan-mu.
Pustaka