
Ini bukan lah karya tulisan feature yang baik. Demikian menurutku. Musababnya, aku hanya mengandalkan data dari satu narasumber, dan mengutip pernyataan satu narasumber yang lain di saat misa. Namun, sepertinya tantangan seperti ini bakalan sering kutemui bila hendak menuliskan riwayat Gereja. Dalam satu bincang dengan mas Kristinus Munte, aku sudah diingatkan perihal ini saat menulis pesta emas Paroki Pasar Merah – Medan. Sungguh berbeda dengan di Jawa, di Keuskupan Agung Medan cukup banyak yang belum rapih menyimpan data-data riwayat Gereja. “Lebih condong ke gereja (bangunan), daripada Gereja (di lingkup manusia/ umat),” katanya, sembari dengan keras mendorongku agar turut mengubah kebiasaan tersebut.
Meski demikian, aku senang juga dengan tulisan ini. Setidaknya, bila kelak ada upaya untuk menggali lebih dalam lagi riwayat Gereja Stasi Simpang Selayang (dan semoga bisa menginspirasi Gereja Katolik lainnya di KAM), kiranya tulisan ini dapat menjadi “batu penjuru.” Sebenarnya, aku ingin sekali bersua dan menuliskan juga pandangan dan kesan dari dua narasumber lainnya: Mgr. Pius Datubara OFM Cap dan RP. Antonio Razoli OFM Conv. Namun, kesempatan belum jua tergapai. Tetapi, aku sangat berterima kasih juga untuk informasi dan dorongan dari bang Ridho Sinuhaji. Sebab banyak juga masukan yang kuperoleh dari Ayah seorang putri ini. Kuharap, aku bisa membuat kelanjutan tulisan ini lagi. Semoga.
***
Barisan lilin di atas kue ultah menunjukkan umur insan yang merayakannya. Peringatan senada juga disematkan pada Gereja. Namun tidak sekedar hitungan angka usia, wadah umat beriman ini juga mewariskan ilham bagi para penerusnya. Jejak sejarah tersebut lah yang menginspirasi pemuka Stasi St. Laurensius – Simpang Selayang kala memperingati Pesta Emas gereja Katolik di satu sudut kota Medan ini. “Agar generasi penerus kami tak lupa semangat dan spiritualitas para pendahulunya, yang menjaga gereja kita ini berdiri dan berkembang hingga kini,” tutur tokoh umat Stasi Simpang Selayang, Rata Antonius kepada Menjemaat, Minggu (20/8/2017), di kediamannya di kelurahan Kemenangan Tani – Medan.
Ayah tiga anak ini mengenang,”Stasi St. Laurensius Simpang Selayang mulai berdiri pada tahun 1966. Di masa itu, umat belum memiliki gedung gereja untuk beribadah. Sehingga, kami masih menumpang di gedung Sekolah Dasar Negeri 060971 Medan. Kami dipersilakan memberdayakan gedung sekolah tersebut, karena ada umat yang mengajar di situ. Salah satunya adalah bapak Mesin Sembiring Depari.”
Menurut Rata, pada kisaran tahun tersebut, masih jarang didapati gedung gereja Katolik. “Sepengetahuan saya, gereja (Katolik) masih hanya di (Paroki St. Antonius dari Padua) Hayam Wuruk dan (Stasi St. Petrus) Pancurbatu.” Karena pertimbangan jarak yang jauh, terbitlah gagasan untuk membangun gedung gereja Katolik di Simpang Selayang. “Memang pada awalnya, umat Katolik di Simpang Selayang adalah 38 Kepala Keluarga. Namun, seiring tahun jumlah umat bertambah banyak. Hal ini juga mendorong kami untuk mendirikan gedung gereja.”
Imam Saudara Dina Konventual (Order of Friars Minor Conventual), RP. Brans Sitepu OFM Conv memberi Sakramen Permandian pertama bagi umat di Stasi St. Laurensius Simpang Selayang, pada Maret 1968. “Pada tahun yang sama, umat Stasi St. Laurensius Simpang Selayang telah membangun gereja semi permanen dengan ukuran 9 meter x 12 meter. Yakni, setengah badan gedung dari bahan batu. Sisanya dari bahan kayu,” tutur pensiunan Aparatur Sipil Negara di Dinas Kesehatan Kota Medan kepada Menjemaat.
Penerus Pastor Brans, RP. Antonio Murru OFM Conv, kemudian menggagas renovasi gereja Stasi St. Laurensius Simpang Selayang, pada tahun 1978. Menurut Rata, jumlah umat setempat telah melonjak hingga 180 Kepala Keluarga. “Pemugaran gedung gereja stasi Stasi St. Laurensius Simpang Selayang dibuat lebih besar. Rancangan gedung dibuat dengan bentuk seperti payung oleh Pastor Murru,” terang Rata, yang telah mengabdi menjadi vorhanger sejak ditunjuk oleh Pastor Murru.
Rata melanjutkan, pada tahun 1989 umat Stasi St. Laurensius Simpang Selayang semakin bertambah menjadi 280 KK. Kedua gembala di Paroki St. Fransiskus Assisi – Padang Bulan, RP. Antonio Murru OFM Conv dan pastor RP. Antonio Razoli OFM Conv, mendorong umat setempat untuk renovasi kembali gedung gereja yang lebih besar. “Program tersebut dilaksanakan agar umat Stasi St. Laurensius Simpang Selayang yang telah mencapai 600 KK, dapat ditampung untuk kegiatan ibadah. Ini lah gedung gereja yang kami gunakan sampai sekarang,” katanya menjelaskan.

Oh! Stasi Simpang Selayang, Melayang-layang
Dalam misa Ekaristi Perayaan 50 Tahun Stasi St. Laurensius Simpang Selayang di Jambur Tamsaka, Parokus Paroki Padang Bulan, RP. Andreas Gurusinga OFM Conv mengucapkan selamat yubileum bagi para umat setempat. “Tetap lah bersuka cita dalam perayaang memperingati pesta emas gereja stasi kita ini,” ujarnya dalam sesi homili. “Meskipun, sebenarnya stasi ini telah memasuki usia ke-51, namun hendaklah kita bersuka cita dan bersyukur beroleh rahmat Allah hingga kini.”
Rata mengaku tergugah dengan homili tersebut. “Saya masih mengingat jelas bagaimana mulanya kami para umat berjalan jauh ke rumah umat untuk doa lingkungan. Hanya dengan penerangan lampu teplok saja. Dan menjadi besar seperti saat ini.”
Dia mengungkap, Pastor Murru dan Pastor Razzoli pernah merencanakan mengembangkan Stasi St. Laurensius Simpang Selayang menjadi gereja paroki kelak, bahkan juga hendak membangun sekolah Katolik di komplek yang sama. “Tetapi rencana itu terkendala oleh pembelian tanah di sekitar gedung gereja stasi yang sekarang. Pemilik tanah di samping kiri dan kanan gereja tidak berkenan menjual tanahnya. Penolakan yang sama juga disampaikan pemilik tanah di belakang gereja Simpang Selayang. Yakni milik mantan Bupati Karo, Tengteng Ginting,” ujarnya.

Rata mengatakan, Pastor Murru telah berulangkali meminta dirinya membujuk para pemilik tanah tersebut. “Kebetulan mereka masih sanak famili di keluarga besar kami. Namun mereka selalu menolak dengan halus. Karena penolakan tersebut, Pastor Murru dan Pastor Razoli kemudian memindahkan rencana pembangunan gereja paroki ke Padang Bulan. Meski demikian, kita patut bersyukur karena mereka mau kasih sebagian tanahnya untuk jalan masuk ke gereja stasi ini.”
Kenangan paling membekas dalam ingatan Rata mengenai Stasi St. Laurensius Simpang Selayang adalah kebersamaan yang erat di tengah umat. “Terutama dalam prestasi di setiap lomba koor antar stasi. Pastor Murru dan Pastor Razoli sering usil mengomentari kehadiran tim Koor Simpang Selayang. “Ah, Stasi Simpang Selayang, Melayang-layang”. Karena hampir selalu menang di setiap perlombaan paduan suara. Hehehehe,” ujarnya. “Saat itu kita memang punya pelatih yang baik, bapak (alm.) Samosir.”
Setelah purnabakti sebagai pengurus di Dewan Pastoral Stasi (DPS) St. Laurensius Simpang Selayang, Rata berharap ‘kebersamaan’ antara umat setempat tetap menyala. “Juga harapan besar kepada pengurus DPS Stasi St. Laurensius Simpang Selayang yang baru. Kiranya semangat berkorban bagi rumah Tuhan ini selalu ada,” katanya.
Kini, umat Stasi St. Laurensius Simpang Selayang 446 KK, dengan jumlah 1875 jiwa dengan perincian 1667 dewasa, 74 remaja, 134 balita. Saat ini, DPS Stasi St. Laurensius Simpang Selayang tengah mewujudkan rencana pengembangan gereja atas dana dari swadaya umat serta Keuskupan Agung Medan. Sebidang tanah pertapakan gereja seluas kurang lebih 2100 m2, yang berlokasi di Jl. Bunga pancur IX, kelurahan Pokok Mangga – Medan telah dibeli. Di tanah pertapakan tersebut, sedang direncanakan juga pembangunan tembok penahan sekaligus sebagai batas tanah pertapakan.
Akan rahmat Allah dalam sejarah stasi ini, Rata pun teringat kembali petikan sabda Allah (Yesaya 56:7) yang disebut Pastor Andreas dalam homili di Pesta Emas Stasi St. Laurensius Simpang Selayang:”…, sebab rumah-Ku akan disebut rumah doa bagi segala bangsa .”
(Ananta Bangun, Ridho Tarigan)
