MENULIS FEATURE DI RANAH GEREJA
Sebagai bagian dari aktivis Komunikasi Sosial (Komsos),meliput peristiwa di Paroki maupun Stasi adalah ihwal biasa bagi Anda. Terutama perayaan rutin, semisal Natal, Paskah hingga Tahbisan Imam. Semua itu disajikan dengan gaya menulis berita keras atau hard news.
Suatu kali, Anda ditugaskan untuk meliput Perayaan Kaul Perdana. Karena bosan dengan gaya pemberitaan hard news, Anda memutuskan untuk coba membuat liputan feature. Dari panduan di buku-buku serta masukan dari pewarta senior, Anda mulai menggarap persiapan liputan beberapa hari sebelum ‘hari H’.
Mulai dari wawacara dengan para biarawan (atau biarawati) yang akan mengikrarkan kaul. Kemudian, dengan perangkat ponsel cerdas, Anda pun merekam homili Uskup. Setelah beberapa jepret foto dan catatan kecil pendukung, Anda pun mulai merajut semua hasil liputan tersebut untuk menjadi sebuah feature yang menggugah.
Sebuah feature dari Komsos Keuskupan Agung Palembang, berjudul: “Silentium Bukan Cuek Bebek”, dapat menjadi contoh liputan feature tentang Perayaan Kaul Perdana [sila dilirik satu sumbernya di tautan Facebook milik Komsos Keuskupan Agung Palembang: https://www.facebook.com/komsoskapal/posts/1801049376792820 ].

Silentium Bukan Cuek Bebek
Dua suasana yang bertolak belakang dapat kita lihat di Postulat Novisiat St Yohanes, Gisting, Lampung pagi itu. Suara riuh, umumnya berasal dari kaum ibu-ibu terdengar jelas. Ada yang mengobrol, ada juga yang tertawa. Mereka adalah keluarga dan tamu undangan para pestawan.
Sementara itu, sekelompok pria muda lajang seakan diam membisu seribu bahasa. Tatkala melihat atau disapa oleh keluarga dan para tamu undangan, mereka hanya nyengir kecil. Ada apa sih? Apakah mereka marah kepada keluarga dan tamu undangan? Atau apakah mereka sedih karena masih lajang atau jomblo? Tentunya tidak! Pagi itu, mereka diwajibkan untuk silentium atau menjaga ketenangan.
Mengapa mesti tenang? Karena pada hari itu, Rabu (20/7) kesembilan pria lajang ini akan berprasetya untuk pertama kalinya. Mereka akan berjanji dihadapan Tuhan, Dewan Penasehat Propinsial, RP Titus Waris Widodo SCJ dan semua yang hadir, untuk satu tahun hidup taat, miskin dan murni (selibat). Melalui silentium, hati mereka akan semakin dimantapkan untuk menghadapi peristiwa penting ini.
Tepat pukul 08.30 WIB para petugas liturgi, kesembilan pria lajang, imam selebran, dan uskup memasuki Kapel Biara St Yohanes. Suara membahana dari koor yang berasal dari SMA Yos Sudarso, Metro, Lampung, mampu mengangkat hati dan budi umat untuk merayakan perayaan agung ini.
Perayaan Ekaristi dipimpin langsung oleh Uskup Keuskupan Tanjungkarang, Mgr Yohanes Harun Yuwono didampingi oleh Dewan Penasehat SCJ Indonesia; RP Titus Waris Widodo SCJ, Magister Novis; RP Yohanes Rasul Susanto SCJ, pendamping retret sebelum pengikraran kaul; RP Petrus Sugiarto SCJ dan sang teladan; RP Yulius Sunardi SCJ.
Dalam homilinya, Mgr Harun melontarkan kalimat yang membuat imam dan umat terkejut. Ia mengatakan bahwa Yesus tidak pernah mengajar dengan silentium. “Padahal dalam Injil tadi, saat Yesus mengajar di pantai, saya kira Dia tidak mengajar dengan berbisik-bisik. Apalagi jaman itu tidak ada loudspeaker. Berbisik-bisik di tepi pantai, pastilah tidak ada orang yang mendengarkan,” kata Mgr Harun membuka homilinya.
Uskup asal Tanjungkarang ini menjelaskan bahwa dalam Injil, Yesus tidak berdoa dengan silentium. Kalau Yesus silentium, maka St Yohanes pasti tidak bisa mendengar apa yang didoakanNya. Padahal, dalam Injil dikatakan oleh St Yohanes, bahwa Yesus berdoa tiga kali, dengan mengulangi kata-kata yang sama.
Keadaan semakin tegang tatkala Mgr Harun mengatakan bahwa sejak awal mula, sebenarnya Allah tidak suka dengan kesunyian. “Sabar dulu, Romo Magister,” kata Mgr Harun mencairkan suasana, disambut gelak tawa umat yang hadir.
Berbekal ilmu Islamologinya, ia menjelaskan Kitab Suci dengan Bahasa Arab. Ia mengatakan bahwa para sufi (mereka yang mendalami ilmu tasawwuf, yaitu ilmu yang mendalami ketakwaan kepada Allah) mengatakan bahwa Allah mewahyukan diri dengan Kuntu Kanzan (Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi, Aku ingin dikenal, maka aku ciptakan makhluk agar mereka mengenal-Ku”. Dan Allah menciptakan segala sesuatu dengan bersabda Kun Fayakun (jadilah, maka jadilah!).
“Dia menciptakan segala sesuatu bukan dengan silentium, tetapi dengan bersabda, dengan berbicara. Hari ini, kita mendengar Yeremia yang masih muda disuruh berbicara, bukan disuruh diam oleh Allah,” tutur Mgr Harun.
Usai menjelaskan semua ini, Mgr Harun bertanya kepada Romo Magister, mengapa dalam aturan hidup para religius mesti banyak silentium? Ia mengatakan lebih lanjut bahwa dalam Kitab Suci, dituliskan bahwa segala sesuatu ada waktunya. Jika ada waktu bicara, maka aka nada waktu diam.
Uskup yang ditahbiskan oleh Mgr Aloysius Sudarso SCJ ini mengatakan bahwa kendati Yesus selalu berbicara, karena Dia harus mengajar, namun Dia juga pernah diam. “Namun di depan Pilatus, Yesus ternyata pernah diam seribu bahasa,” kata Mgr Harun.
Berbicara mesti mencontoh Allah, inilah yang ditekankan oleh Monseigneur. Allah berbicara untuk mewahyukan diriNya. Dia bersabda untuk menjadikan segala sesuatu. Maka hidup manusia mesti seperti Allah. Berbicara yang berwujud suatu kenyataan yang baik.
“Bukan omong kosong, bohong, omong kotor, gosip, apalagi memfitnah,” tegas Bapak Uskup. Ia melanjutkan bahwa, “Kata-kata kita mesti merupakan ungkapan martabat diri kita sebagai pribadi mulia yang ditebus oleh Allah. Melalui kata-kata, kita mesti mengungkapan iman kita akan Allah. Mengungkapkan kebaikkan dan kerahimanNya,” katanya.
Berbicara tentang belas kasih, sangat erat dengan pertobatan, sebagaimana diserukan oleh Paus Fransiskus dalam Bulla Misericordiae Vultus. Pertobatan yang bagaimana? Umat diajak untuk meneladan Allah. Allah Putera yang mengajar (bersabda) sambil berbuat baik. Artinya, kata-kata dan perbuatan seorang beriman mesti seiring sejalan.
“Karena kita dipanggil untuk hidup jujur, bukan munafik. Untuk mengajar kebaikan. Untuk memberi contoh berbuat baik, bukan untuk ditegur karena melakukan perbuatan salah. Untuk menolong mereka yang menderita, bukan untuk melekat kepada mereka yang mapan dan berkelebihan,” pungkas Uskup.
Di akhir homilinya, Monseigneur berpesan kepada para frater yang akan berkaul. Ia berpesan mengenai silentium yang benar. Silentium jangan menjadikan orang menjadi cuek bebek. Seseorang mesti semakin peka terhadap sesamanya, terutama yang menderita.
“Ketaatan, kemiskinan dan selibat adalah tanda persembahan diri. Ini aku, Tuhan, utuslah aku. Bagi Tuhan dan bagi sesama, kita memberikan diri. Hidup dihayati dengan pemberian diri dan peduli pada sesama, melalui cara hidup kita yang berbeda,” kata Mgr Harun menutup homilinya.
Kesembilan frater yang mengikrarkan kaul adalah Fr Stephanus Widodo Saputra SCJ, Fr Yohanes Dwi Feri Antoro SCJ, Fr Yustinus Adianto SCJ, Fr Fernando Fetriadi SCJ, Fr Stephanus Yuda Pranata SCJ, Fr Gregorius Virdiawan SCJ, Fr Ignatius Kukuh Damarjati SCJ, Fr Christian Hofer Samosir Pakpahan SCJ, dan Fr Fransiskus Edi Setiawan SCJ. Para frater diajak untuk meneladani kesetiaan RP Yulius Sunardi SCJ, yang merayakan pesta perak hidup membiara pada hari itu.