
Saya berniat menyusun sebuah buku melalui kumpulan tulisan di majalah Ralinggungi. Dimulai dari edisi ini. Gagasan utamanya adalah (kelak) menghasilkan sebuah rujukan yang bernilai bagi kalangan aktivis Komunikasi Sosial atau Komsos. Pewartaan adalah bagian dari hidup Gereja [“Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk” (Mrk 16:9-15)]. Sebagaimana Yesus kerap mengajar dengan ‘perumpamaan’, maka keahlian menulis ‘feature’ tepat untuk dikuasai para penggiat Komsos. Sebab di dalamnya terkandung: berita, fakta dengan tuturan cerita.
***
Mulanya feature adalah ‘senjata’ utama media cetak guna bersaing dengan media elektronik dan juga online. Pembaca — umumnya yang senang mencari informasi yang lebih mendalam — akan menelisik feature di koran dan sejenisnya, usai dibanjiri kabar cepat atau flash news dari televisi, radio hingga Internet.
Namun, kini kaidah penggunaan feature semakin meluas. Media elektronik dan online turut senang menerbitkan informasi dengan kemasan feature. Tidak lagi sekedar memusatkan perhatian pada berita-berita cepat dan ringkas. Ini kita bisa dapati seperti kolom ‘in depth – fokus’ di Viva.co.id, atau ‘Majalah’ di laman BBC versi bahasa Indonesia. Bahkan, situs informasi sepakbola juga melakukan hal senada, seperti kolom ‘Fitur’ di laman FourFourTwo.com/id — sebuah media informasi sepakbola dari Inggris.
F.X. Lilik Dwi Mardjianto, Ketua Program Studi Jurnalistik Universitas Multimedia Nusantara, dalam ulasannya di Kompas.com (http://nasional.kompas.com/read/2017/06/20/04000041/apakah.website.terlalu.usang.untuk.jurnalisme.digital), mengetengahkan sebuah tren baru dalam ranah media, yang dia sebut sebagai jurnalisme digital. Yakni perubahan media daring dari website menuju integrasi konten ke platform khusus. Syukurlah Lilik membuat ilustrasi untuk memudahkan pemahaman atas analisis-nya ini:
“Supaya lebih mudah, mari kita membandingkan website dan platform. Ibaratnya, website adalah sebuah taman. Semua orang bisa datang dan pergi, namun pengelola taman tidak pernah mengenal pengunjng satu-persatu.
Meskipun disediakan buku tamu, belum tentu orang akan mengisinya. Kondisi ini membuat pengelola taman hanya akan mengandalkan intuisi dan data yang terbatas untuk membuat taman tersebut tetap disukai oleh pendatang.
Sementara itu, platform mirip sebuah hotel. Mereka yang bisa menginap adalah mereka yang sudah datang, mendaftar, dan membayar. Bahkan, pengunjung hotel akan mendapatkan layanan yang interaktif dan personal, sejak di depan customer service hingga berbagai fitur mutakhir di dalam kamar.
Sesampainya di kamar, pengunjung bisa meminta atau mencari menu makanan yang mereka suka, mengakses fitur pemesanan, dan menikmatinya. Tidak hanya itu, berbekal data ketika registrasi, pihak manajemen hotel bisa mengirimkan notifikasi tak terbatas ke email, ponsel, bahkan surat ke alamat rumah pelanggan.”
Intinya, kini setiap media harus ‘berjuang’ menyajikan kedalaman informasi dalam berita-berita milik mereka. Namun, seluruh informasi tersebut percuma jika tidak mudah dimengerti dan tak memancing ketertarikan para pembaca. Kiat untuk menerjemahkan data besar dalam berita tersebut ialah penyajian dengan ‘bercerita’. Sebagaimana terdapat dalam feature. Bahkan, media internasional seperti National Geographic menyemat semboyan tagline-nya: “We believe in the power of science, exploration, education, and storytelling to change the world.”

Lalu, di mana posisi media gereja saat mengimbangi media sekuler yang selalu ‘galak’ atas setiap perkembangan tren zaman? Tidak perlu mengelus dada dengan prihatin. Di sini lah peran aktivis Komsos menampilkan wajah kasih Gereja ke tengah para insan.
Kita dapat menyajikan kabar sukacita dengan bercerita melalui feature. Mulai dari kegiatan sosial hingga kisah mempertahankan iman di tengah pencobaan. Dari jejak perjuangan ‘membangun’ (tidak sekedar gedung) Gereja stasi dalam buku kenangan, hingga penjelasan Surat Gembala dari Paus ataupun Uskup. Sebagaimana diketahui, ‘cerita’ atau story punya daya untuk melekatkan pesan-nya dalam ingatan manusia. Demikian juga feature yang memiliki unsur ‘bercerita’ di dalamnya.
Apakah dan bagaimanakah tulisan feature itu? Seperti disebut sebelumnya, saya akan mengulasnya di edisi Ralinggungi mendatang. Bila pun terlupa, saya bersyukur bahwasanya bapa Betlehem Ketaren dari Redaksi Ralinggungi masih sabar mengabari ‘anak’-nya yang nakal dan pelupa ini. Shalom.
//// ditulis untuk majalah Keuskupan Agung Medan berbahasa Karo, Ralinggungi