Di Panti Asuhan Ini Rumah Saya, Keluarga Saya


bapa Heri Sinaga berbincang dengan anak-anak Panti Asuhan Betlehem – Bandar Baru

Pertemuan dengan Herianto Marselino Sinaga, S.Pd bermula ketika Komisi Komunikasi Sosial – Keuskupan Agung Medan menghelat Pelatihan Menulis Fakta & Feature bagi Seminari Ordo Konventual dan Siswa Katolik SMA Deli Murni, di Bandar Baru, pada tahun 2015 silam.

Selain menjabat Kepala Sekolah SMA Deli Murni, bapa Heri – sapaan akrabnya – juga telah lama menjadi pendamping anak-anak di Panti Asuhan Betlehem – Bandar Baru. Sebagai salah satu alumni, dia adalah gambaran binaan dalam panti asuhan karya Ordo Konventual ini. Dalam kolom feature ini, dia mengisahkan perjalanan hidup dan karakter diri yang tertanam selama menjadi bagian di PA. Betlehem.

“Saya merasa di sini (Panti Asuhan Betlehem) adalah rumah saya. Bukan sekedar persinggahan,” ucapnya.

Betlehem bukan sekedar ‘rumah’ bagi anak yatim piatu, namun juga untuk ‘meringankan’ beban para orangtua tunggal dari latar perekonomian bawah. Sebagaimana hal nya bapa Heri. Oleh karenanya, dalam tulisan ini terdapat beberapa lema ‘orangtua’ bukan hendak membuat bingung antara status anak di PA. Betlehem yang dikunjungi orangtua kandungnya.

***

bapa Heri Sinaga diabadikan di lapangan sekolah Yayasan Deli Murni – Bandar Baru (Copyright: Komsos KAM)

Sejak kelas 5 Sekolah Dasar, saya telah menetap di Panti Asuhan Betlehem. Meninggalkan Mamak (Roslinda br. Silitonga) dan lima saudara kandung di Kampung Jawa, Aek Nabara, bukanlah tanpa alasan. Pada saat itu Bapak saya tercinta (alm. Eduard Sinaga) meninggal dunia. Seorang Suster KYM merasa iba melihat keluarga kami, lalu menyarankan Mamak agar dia bisa membawa saya untuk hidup di panti asuhan yang berada di kecamatan Bandar Baru, kabupaten Deli Serdang. Sang biarawati berharap bisa meringankan beban Mamak sebagai orangtua tunggal.

Saat awal saya masuk di PA. Betlehem masih diasuh oleh Kongregasi Kasih Yesus dan Maria Bunda Pertolongan Baik (KYM). Seiring waktu, panti asuhan ini kemudian ditangani oleh Imam dari Ordo Saudara Dina Konventual (The Order of Friars Minor Conventual atau OFM Conv) yang juga melayani di Paroki Sang Penebus – Bandar Baru. Bahkan, Pastor Corrado Casadei OFM Conv menjadi sosok yang mendirikan Yayasan Panti Asuhan Betlehem.

Bisa dikatakan bahwa semangat dan falsafah di panti asuhan ini mengalir dan hidup dalam kehidupan saya. Ada sekira 20 tahun lamanya, saya diasuh dan kini menjadi pendamping di PA. Betlehem. Lebih lama dibandingkan semasa saya di kampung halaman. Tidak mengherankan, jika setiap berlibur ke kampung halaman, hanya segelintir sanak famili mengenal saya.

Saya bersyukur memiliki Mamak yang selalu menjadi teladan dalam hidup. Meski sepeninggal Bapak, dia tak pernah mengeluh atas beban yang ditanggungnya. Sehingga kami anak-anak-nya turut semangat meraih prestasi.

Masa menempuh kuliah, adalah pengalaman yang cukup berkesan. Sebelumnya, saya sempat gagal masuk perguruan tinggi negeri via jalur undangan. Dulu disebut program PMP. Saya lupa apa kepanjangannya.

Pastor Corrado, Imam pengasuh di PA. Betlehem, memberi motivasi agar saya tak ‘patah arang.’ “Bagaimana jika memang mampu, kamu coba tempuh jalur ujian masuk perguruan tinggi negeri?” ucapnya. Saya menyanggupi, dan kemudian lulus dari jalur Sistem Masuk Perguruan Tinggi Negeri atau SMPTN, di Universitas Negeri Medan (UNIMED).

Meskipun biaya pendidikan sepenuhnya ditanggung oleh Yayasan Betlehem ataupun Ordo Konventual, saya tak ingin berpangku tangan saja. Sembari menambah uang saku, saya juga menggali pengetahuan di satu unit usaha komputer milik bapak Simarmata, Ultracomp. Saya sering harus ‘banting tulang’ di tempat usaha instalasi komputer tersebut.

Usai tamat dari UNIMED pada tahun 2007, saya kemudian ditawari menjajal karir ke Yayasan Pendidikan Deli Murni. Di samping menjalani peran sebagai guru di SMP hingga SMA Deli Murni, saya juga diberi peran sebagai yang juga berperan sebagai Pendamping di PA. Betlehem.

Pada Januari 2013 terjadi sebuah peristiwa yang paling membekas dalam ingatan saya. Pada saat itu, saya menjadi guru dan juga Pembantu Kepala Sekolah (PKS) Bidang Kurikulum di SMA Deli Murni. Sekira pukul delapan pagi, seusai upacara bendera Kepala Sekolah Deli Murni, D. Simbolon, tiba-tba kolaps atau tersungkur di lapangan. Dalam suasana panik, kami lalu membopong badan pak Simbolon ke klinik terdekat dari sekolah kami.

Dokter klinik lalu memeriksa kondisi tubuh pak Simbolon dan menyampaikan bahwa dia telah tiada. Seperti disengat kalajengking, saya mendengar penuturan dokter tersebut. Masih tak percaya, saya lalu berkeras mengajak rekan-rekan guru untuk membawa Kepala Sekolah ke Rumah Sakit di Medan. Namun, dokter coba meyakinkan saya atas vonis tersebut. “Sudah lah, pak Sinaga. Yakin lah, bapak ini sudah ‘lewat’ (meninggal, -red.),” katanya.

Dua hari berselang peristiwa nahas tersebut, bapak Darwin Sinaga,Pimpinan Yayasan Deli Murni Bandar Baru, memberi Surat Keputusan (SK) pengangkatan saya sebagai Kepala Sekolah. Menggantikan almarhum D. Simbolon. Saya menerima kepercayaan dari Yayasan untuk memangku tanggung jawab tersebut, hingga kini. Berbarengan dengan peran sebagai pendamping di PA. Betlehem.

***

Jika ditanyakan, apakah karakter yang menjadi ciri khas selama hidup di PA. Betlehem? Maka saya gegas menjawab: Persaudaraan a la Fransiskan. Wajar saja, karena kami memang diasuh oleh para Imam Konventual yang menekankan spiritual hidup yang diajarkan St. Fransiskus dari Assisi. Sebagai identitas, kami juga menyerap semboyan dari ordo terseubut: “Be Brother for All” atau “Menjadi Saudara untuk Semua”.

Sebagai misal, jika ada penganan diberi oleh pihak luar, maka penganan tersebut harus lah dibagi-bagi sesuai jumlah seluruh saudara. Makanya kadang-kadang datang orangtua yang hendak menjenguk dengan membawa jedah, kami menasihati ‘jika tidak siap memberi bagi semua di dalam keluarga besar PA’ sebaiknya tidak usah dibawakan.

Sehingga orangtua yang sudah mengerti falsafah ini, akan menanyakan berapa jumlah anak-anak di panti – misalnya ketika hendak membawa cimpa (kue basah khas dari Karo) kerja tahun.

Maka, kerap juga di masa liburan pun tidak banyak yang pulang kampung. Karena Pastor sudah menanamkan pemahaman bagi mereka, bahwa panti asuhan ini adalah rumah. Bukan persinggahan. Kami seluruhnya saling memahami, beberapa anak tentu tidak memiliki orangtua. Maka di PA ini lah dia menemukan orangtua dan saudara-saudaranya.

Semangat ini sungguh tertanam ketika dipimpin oleh (alm.) Pastor Syswido Swy (RP. Antonius Siswido Swy OFM Conv). Sebagaimana Imam Konventual lainnya, Pastor Swy juga sungguh mencintai PA. Dia mencurahkan hidupnya secara total demi PA ini. Bahkan, membangun agar PA ini bisa mandiri.

Saya patut bersyukur karena beroleh banyak pengetahuan dan ilham dari Pastor Swy. Saya ingat satu petuahnya: “Kamu saya didik, agar kamu bisa cerita pada penerus (Pemimpin PA. Betlehem) berikutnya.” Hal itu dia lontarkan saat kami tengah membangun sistem pendampingan yang baru dalam PA ini.

Semangat totalitas tersebut semakin saya pahami saat Pastor Swy ditugaskan ke Paroki Deli Tua. Saya sempat kecewa karena beliau seperti tidak mengingat kami lagi di PA. Betlehem. Belakangan saya tahu telah keliru. Di mana pun tempat pelayanan, Pastor Swy selalu menyerahkan diri sepenuhnya. Dalam setiap kesempatan, bahkan dia selalu mendorong pribadi-pribadi murah hati memberikan donasi bagi PA. Betlehem.

***

Falsafah “Be Brother for All” atau “Menjadi Saudara bagi Semua”

Sebagai pendamping PA. Betlehem, menurut saya tantangan tak pernah usai adalah menghantarkan anak-anak di sini menjadi pribadi yang mandiri. Bukan hal mudah, mengingat latar belakang mereka mayoritas dari desa. Di mana pengaruh perkembangan zaman telah berimbas pada pola fikir dan gaya hidupnya.

Salah satu kiat yang kami tempuh adalah mendampingi mereka belajar baik di ruang perpustakaan maupun di laboratorium komputer. Meski seadanya, mereka tentu dapat menyimpan bekal pengetahuan dan keahlian.

Akan hal ini, saya pun terkenang kembali nasihat Pastor Corrado. “Kalau kau (telah diasuh) dari panti, minimal kau mendirikan panti.” Maksud beliau, jika kelak saya tidak mengasuh (atau bekerja di) panti lagi, setidaknya saya membuat satu panti saya sendiri. Yakni mampu mengasuh anak-anak dalam keluarga saya sendiri.

 

//// ditulis untuk majalah online LENTERA | sebagaimana dikisahkan kepada Ananta Bangun