
Saya mengetahui namanya bermula dari majalah Ralinggungi – media cetak berbahasa Karo. Nama (depan) si bapa, walaupun sering diucapkan setiap perayaan Natal, masih asing di telinga orang-orang kita: Betlehem Ketaren. Entah karena daya magnet sesama penulis, kesempatan itu pun tiba. Ketua unit Komisi Komunikasi Sosial – Keuskupan Agung Medan, RP Hubertus Agustus Lidy OSC, meminta saya untuk menulis profil beliau. Dan menyenangkan bahwa Istriku, Eva, sedia mendampingi sebagai tandem dalam liputan kali ini.
Menulis tentang penulis. Ini bukan sebuah tantangan ringan. Musababnya, saya bisa saja luput ‘menangkap’ sisi inspiratif tentang bapa Betlehem. Atau bahkan lebih buruk, tulisan sosoknya tidak lah ‘menggigit’ perhatian pembaca. ‘Siapa dia?’, ‘Sudahkah dia layak masuk dalam liputan utama ini?’, dan aneka tanya lainnya yang meluruhkan simpati. Namun, Lentera bukanlah ‘pengacara’ yang membeberkan tumpukan perkara. Di media ini kita memperoleh ruang dan meja untuk bercerita. Ya, teman bercerita. Dengan demikian, kita coba mengenalnya dari satu sudut pandang. Seorang penulis yang ‘menyayat’ urat nadi-nya dan membiarkan aksara keluar selaksa.
***
Jam digital di ponsel menunjukkan pukul delapan pagi. Dan, kami masih menggigil saat memasuki areal Pastoran dan Paroki St. Fransiskus Assisi – Brastagi. Maklum, selain diapit oleh dua gunung berapi aktif, Gunung Sibayak dan Gunung Sinabung, kota ini sendiri berada di ketinggian lebih dari 1300 mdpl (meter di atas permukaan laut), sehingga menjadikan kota ini menjadi salah satu kota terdingin yang ada di Indonesia.
Di tempat tersebut, ada dua narasumber yang hendak kami wawancara guna dimuat di media yang berbeda. Pater Leo Joosten OFM Cap untuk liputan di majalah Menjemaat, dan Betlehem Ketaren untuk Lentera. Narasumber disebut pertama, tak sulit ditemui karena pastoran ini adalah ‘markas besar’-nya. Sementara bapa Betlehem, setelah dikontak via pesan seluler, mengaku otw (on the way) atawa sedang dalam perjalanan menuju Paroki Brastagi.
“Tenang saja. Pak Ketaren biasanya tiba agak tengah hari. Kalian saja yang datang lebih cepat lho,” seorang ibu pegawai Paroki, coba menyelingi penantian kami.
Benar saja. Dalam tempo sepeminum teh, samar-samar tampak wajah Betlehem. Sisa kabut pagi coba menutupi, tapi itu percuma saja karena senyum lebar terlihat jelas menghias wajahnya. Paras pecandu humor.
“Saya selalu ingat perkataan Pastor Jhon Paul (alm. RP John Paul Yustinus Sutiman Tarigan OFMConv, seorang Imam Konventual). Dia bilang Rasul Petrus pasti lah bermarga Tarigan. Sebab, Yesus sendiri bilang pada Petrus,”Engkau adalah ‘Batu’ Karang” (‘Batu’ adalah panggilan khas bagi laki-laki bermarga Tarigan),” ujar Betlehem berbagi guyon, disusul gelak tawa kami bersama
Betlehem memang punya segudang cerita kocak. Laiknya bajak laut, setiap lelucon adalah harta karun baginya. Dia tak menampik bahwa ‘harta’ itu sungguh baik digunakan untuk mencairkan suasana dalam tugas pelayanan pastoral bersama umat.
Di ranah Gereja, Betlehem melebur dalam beberapa peran pelayanan. Selain Redaktur Pelaksana di majalah Ralinggungi, dia juga memangku jabatan Sekretaris Dewan Pastoral Paroki Harian (DPPH) dan Anggota Missale Romawi Karo. “Selain itu, saya juga termasuk dalam pengajar Kursus Persiapan Perkawinan (KPP) di Paroki ini,” imbuhnya.
Dia mengaku bahagia menjalani ragam pelayanan itu, di sela profesinya sebagai dosen di Universitas Quality dan usaha tani menanam bunga. “Sejalan dengan hobi saya dalam dunia menulis dan menerjemah.”
Kedua minat-nya itu telah melahirkan tiga karya, yakni: “Mejuah-juah man bandu, Katekismus Katolik”, “Youcat Karo terjemahan Youcat Indonesia” (dalam proses pencetakan), “Masmur Pengaloi ras Alleluya” (dalam kerjasama dengan Komisi Liturgi – Keuskupan Agung Medan, “Bahan Bulan Kitab Suci Nasional edisi Bahasa Karo” tahun 2013, 2014, 2015, 2016 (dalam kerjasama dengan Komisi Kerasulan Kitab Suci KAM).
“Semua karya buku tersebut tidak saya tulis sendiri. Namun, bekerjasama dengan insan-insan yang luar biasa,” dia menjelaskan.
***

Jiwa aktivis gereja telah melekat pada diri Betlehem sejak menempuh pendidikan di Universitas Sriwijaya, Palembang. Dirinya melebur dalam organisasi Persatuan Mahasiswa Katolik Rebupublik Indonesia (PMKRI) dan Pemuda Katolik. “Di sini (Paroki Brastagi), bisa dibilang saya turut aktif melayani sejak mulai berdirinya paroki ini. Tahun 2005,” ujarnya.
Suami dari Helpina Tarigan mengaku, mulai ‘larut’ dalam dunia media saat sejumlah karya tulisnya mulai dimuat beberapa tabloid/ majalah setempat. “Sebelum di Ralinggungi, saya ada menulis di majalah daerah seperti Sora Sirulo dan juga majalah Budaya Karo.Saya lihat hampir setiap tulisan yang saya kirim tidak banyak yang dikoreksi, wah bisa juga ini. Sehingga memunculkan semangat saya. Hehehehe.”
[Sebagaimana biasa dalam persiapan peliputan, sebelum wawancara aku kerap melacak beberapa jejak narasumber. Paling mudah dan lekas, tentu saja dari mesin pencari. Di laman Google, aku mendapati beberapa tulisan Betlehem. Sebagian besar dalam bahasa Karo, dia publikasikan di blog pribadi-nya (http://kanam-kanam1.blogspot.co.id/). Ada juga di laman resmi milik tabloid Sora Sirulo (versi cetak tak lagi terbit, kini sepenuhnya berbasis online). Salah satu tulisan Betlehem yang beroleh tingkat keterbacaan tertinggi adalah artikel berjudul: “Newin Barus: Terangilah dengan Lilin” (https://sorasirulo.com/2013/03/17/newin-barus-terangilah-dengan-lilin/).]
Pengalaman-pengalaman tersebut mendorong Betlehem untuk menggagas sebuah media cetak khusus bagi umat Paroki Brastagi. “Ketika itu ada Frater Paulus Silalahi OFM Cap (kini Pastor Rekan di Paroki Saribudolok) yang sedang menjalani masa TOP (Tahun Orientasi Pastoral) di paroki ini. Kami berdua mengusulkan pada Pastor Paroki (saat itu), RP Ignasius Simbolon OFM Cap, bagaimana jika kita membuat sebuah warta Paroki Brastagi. Usulan itu disambut baik dan hangat, sehingga jadilah sebuah majalah paroki yang diberi nama Ralinggungi.”
Apa arti dari ‘Ralinggungi’ ini? Betlehem menjelaskan, Ralinggungi adalah lema dalam bahasa Karo yang berarti ‘menggemakan.’ “Peran dari media juga adalah menggemakan atau mewartakan,” imbuhnya.
Seiring waktu, lingkup majalah Ralinggungi kemudian meluas pada wilayah Kevikepan (Teritorial Wilayah untuk kebutuhan pelayanan pastoral yang efektif. Kevikepan dipimpin oleh Vikep dengan peran sebagai wakil Uskup yang memiliki kuasa administratif/ eksekutif) Karo. “Ini terjadi saat Pastor Ignas diangkat menjadi Vikep Karo. Sehingga cakupan pembaca Ralinggungi masuk ke sembilan paroki di bawah Kevikepan Karo. Puji Tuhan, ketika Pastor Karolus Sembiring OFM Cap menggantikan Pastor Ignas sebagai Vikep Karo, majalah kita ini pun semakin diperluas menjadi majalah Keuskupan Agung Medan berbahasa Karo,” tutur Betlehem.
Menurut Betlehem, komunitas umat Katolik – yang mayoritas berbahasa Karo – mengapresiasi Ralinggungi. “Media ini dinilai sangat penting sebagai media pewartaan, karena membantu para pengurus menambah wacana pemikiran, khotbah dan berkatekese dalam bahasa Karo.”
Hanya saja, Betlehem tidak menutupi bahwa kalangan umat anak muda kurang menaruh minat. “Mereka bilang, majalahnya kok berbahasa orang-orang tua,” katanya sembari tersenyum geli. Dari lontaran komentar itu, awak redaksi Ralinggungi tengah merencanakan edisi ke depan akan menyemat tanda kurung berisi terjemahan bahasa Indonesia bagi mereka. “Langkah ini tentu baik, agar menjaga generasi muda tidak meninggalkan budaya asalnya.”
Merindukan Sesama Penulis
Bergelut dalam ‘rajut aksara’ hendaknya bukan menjadi dunia yang sunyi. Setidaknya demikian harapan yang tersirat di hati Betlehem. “Saya merindukan lebih banyak elemen-elemen yang sangat berkompeten untuk terlibat mengembangkan peran Ralinggungi,” katanya. “Tantangan paling utama, kita kekurangan personil yang memiliki hobi yang sama (menulis). Masalah itu ada karena memang banyak teman yang kurang hobi menulis.”
Dia teringat, Uskup Agung Medan, Mgr. Anicetus B. Sinaga OFM Cap pernah berkata: Perkembangan umat Katolik di KAM sungguh signifikan. Pertumbuhan mencapai seribu orang per tahunnya. “Beberapa di antaranya ada di Lawe Desky, Lau Baleng dan Deli Tua. Daerah ini masih mayoritas umat Katolik berbahasa Karo. Nah, tanpa pendekatan dan peneguhan yang terus-menerus ini bisa menjadi bumerang, mereka bisa saja ‘pindah ke lain hati.’ Di titik ini lah hendaknya media turut menampilkan perannya,” kata Betlehem menjelaskan.

Dalam beberapa liputan tentang gereja Karo di blog pribadi, Betlehem juga mendapati bahwa banyak perantau Karo, baik di luar kota dan luar negeri, sungguh senang membaca tulisannya. Hal ini turut membuatnya mahfum bahwa media pewartaan semakin luwes. “Tidak hanya cetak, namun media berbasis online juga efektif merangkul banyak umat.”
Bagi Betlehem, seluruh pengalaman sebagai aktivis dan penulis di Gereja adalah rahmat. Meskipun dia sendiri tak jarang mengalaminya di tengah zona tak nyaman. Dia memeluknya sebagai ilham. “Kesengsaraan dan kepedihan salib merupakan proses peninggian martabat yang sesungguhnya. Tuhan memanggilku bukan karena ia membutuhkanku tapi karena ia mengasihiku.”
(Ananta Bangun, Eva Barus)
///// ditulis untuk majalah online LENTERA