
Cantik itu relatif. Demikian sebuah ujaran kata bijak, bahwa tidak lah sederhana untuk menjelaskan sebuah gambaran. Setiap pribadi memiliki pandangan yang berbeda tentang ‘cantik’, bukan?
Bagaimana kita menyebut seorang gadis itu cantik? Atau sebuah tempat teramat jorok atau bau? Dalam dunia menulis, hal ini dijawab dengan kiat bernama ‘deskripsi.’
Deskripsi sangat membantu untuk menggambarkan ciri atau sifat atas subjek/ objek yang sedang diketengahkan. Semisal saja, deskripsi bahwa seorang gadis memiliki rupa jelita. Kita dapat membuat tulisan deskripsi sebagai berikut:
[Agnes Monica memiliki mata belo dengan alis seperti semut beriring di atasnya. Bila tersenyum, pipinya pun melekuk bagai buah mangga nan ranum. Serta merta bibir merahnya juga turut membentuk simpul. Entah mengapa fikiranku pun melesat pada bait-bait Kidung Agung di Kitab Perjanjian Lama, saat menatap pesona-pesona itu.]
Tantangan bagi pemula menulis adalah kerap mengabaikan deskripsi. Sehingga tulisan menjadi tidak ‘bernyawa.’ Beberapa kasus, karena terjebak teori bahwa menulis deskripsi tak dapat dipadu dengan kaidah menulis lain seperti: eksposisi, narasi dan argumentasi.
Menuruti teori untuk awal belajar memang sangat baik. Namun, dalam melakukan ‘praktik’ menurutku lebih baik dilabrak saja. “First, you follow the rule. Later, just break the rule,” tutur seorang sobat, Andi Parlindungan Gultom, ketika mengajari aku dan beberapa teman perihal memotret.
Kecenderungan buruk berikutnya, adalah mengabaikan ‘hal-hal terdekat’ dengan diri sendiri. Saat magang di salah satu harian di kota Medan, seorang rekan dari Jakarta sangat mudah membuat deskripsi tentang sisi unik di ibu kota provinsi Sumatera Utara ini. Aku kewalahan merampungkan tugas tulisan tersebut. Sebabnya, aku menganggap apa yang ditulis rekanku itu sepele belaka.
Dari pengalaman tersebut, aku belajar untuk coba menangkap sudut pandang ‘orang asing’ lebih dahulu. Ini menjadi andalan saat meliput dan menulis sebuah kegiatan rutin. Dalam ranah Gereja, sebagai contoh adalah perayaan Natal ataupun meliput profil sebuah gereja Paroki.
Kebiasaan menulis deskripsi tentu juga mengasah pola fikir saat wawancara persiapan menulis. Bayangkan jika seorang narasumber mengucapkan bahwa dirinya sangat bahagia/ kesal/ marah/ tertipu karena sebuah peristiwa atau pernyataan. Sebagai penulis yang baik, akan ‘menggali’ pendapat atau perkataan tersebut. Bila memang relevan dan memiliki daya pikat, boleh dimuat dalam tulisan.
Akan hal ini, aku teringat sebuah guyon tentang wawancara:
[Seorang wartawati muda berkesempatan menulis profil sosok pengusaha (yang dalam pandangannnya sangat sukses). Dan dia pun mengawali bincang: “Terima kasih, bapak X. Atas kesediaannya untuk wawancara hari ini.”
Si pengusaha hanya mengangguk pelan saja.
“Nah, saya hendak bertanya pada bapak. Siapa yang ‘berjasa’ sehingga membuat menjadi ‘jutawan’ seperti saat ini,” tanya si wartawati.
“Oh. Istri saya,” si pengusaha menjawab pelan.
“Lha. Pasti ibu seorang yang sangat luar biasa. Kenapa beliau bisa sangat berjasa atas karir bapak menjadi jutawan?” sambung si jurnalis wanita itu.
“Dulu saya ‘milyuner’,” jawabnya lebih pelan.]
/////// ditulis untuk majalah Ralinggungi