MASIHKAH MENCARI SATU ‘DOMBA’ YANG HILANG?


dari kiri-kanan: RP. Mardan Ginting OFM Conv, RP. Leo Joosten OFM Cap, RP. Damian O.Carm

“Akhirnya, putra – putraku, menjalankan tugas kalian dalam diri Kristus, Kepala dan Gembala, dalam persatuan dengan Uskup kalian dan tunduk kepadanya, upayakan untuk membawa umat beriman sebagai satu keluarga, supaya kalian dapat memimpin mereka kepada Allah Bapa melalui Kristus dan dalam Roh Kudus. Ingat selalu dalam pikiran kalian contoh dari si Gembala Baik yang datang bukan untuk dilayani tapi untuk melayani, dan datang untuk mencari dan menyelamatkan yang hilang.”

 

Penggalan kata mutiara di atas adalah bait terakhir dalam homili Paus Fransiskus pada Misa Tahbisan Imam di Vatikan pada tanggal 21 April 2013. Meskipun telah berlalu hingga empat tahun, inspirasi yang terkandung di dalamnya masih relevan dalam kehidupan Gereja. Majalah Menjemaat mendalami kembali semangat “Gembala mencari Domba yang Hilang”, melalui wawancara bersama narasumber: RP Mardan Fransiskus Ginting, OFMConv, RP. Damian Christanto Pangadi O.Carm, dan RP Leonardus Egidius Joosten OFMCap.

Pastor Mardan tak memungkiri keprihatinan apabila ada ‘domba yang hilang’. “Paroki, di mana saya pernah bertugas, pernah pihak DPP melapor bahwa ada umat yang sekian lama tidak gereja bahkan ragu-ragu mau pindah,” ujar Imam Konventual senior kepada Menjemaat, Jumat (9/6/2017), di Biara Konventual Sinaksak – Pematangsiantar. “Sebagai pembuka kembali jalan persahabatan dengan penuh kasih, saya meminta DPP berkunjung resmi.”

Bagi Parokus emeritus di Delitua dan Bandar Baru ini, inilah khasanah ‘penggembalaan’.  Yesus mengatakan, jika seorang gembala memiliki 100 domba dan satu yang hilang. Maka dia akan mencari dulu yang satu itu tanpa membiarkan tercerai berai 99 domba lainnya.

“Jujur. Kebanyakan memang kesalahan dari pihak kita, pihak gembala. Karena sering pihak gembala ini masih berpikir secara duniawi. Ah! Aku masih punya 99 kok!? Biarin aja yang satu itu kalau malas.  Aku sibuk sekarang menggembalakan 99 ini, mana mungkin kutinggalkan ini gara-gara 1. (Namun) itu kan prinsip duniawi,” aku Pastor Mardan dengan rendah hati.

Senada, Pastor Damian juga menekankan, semangat mencari ‘domba yang hilang’ bisa maksimal (Berbau Domba), jika dibarengi jiwa pengorbanan dari gembalanya. “Kalau pastor barat (misionaris luar negeri) saja bisa jalan kaki berkilo-kilo meter meter menjumpai umatnya, mengapa kita yang Imam Indonesia tidak bisa melakukan hal itu,” kata Imam yang beroleh julukan “Penggarap Domba” kepada Menjemaat, Jumat (9/6/2017) di Pastoran Paroki Kristus Raja – Pardagangan, Simalungun.

Dia berkata, gelar ini akibat kiprahnya sebagai pastor di daerah Pakpak Bharat. “Julukan ini sebenarnya ungkapan ketidaksenangan orang-orang non Katolik sewaktu melihat aku hadir di daerah Pakpak Bharat,” Imam yang ditahbisan tahun 1973, berkisah bahwa,”Dengan cara bergaul, tegur sapa, mengunjungi umat Katolik, maka orang-orang yang bukan Katolik melihat dan meyukainya. Akhirnya, mereka mau menjadi Katolik.”

Tantangan “mencari domba yang hilang” tidak banyak berubah. Menurut Pastor Leo pendekatan yang ditempuh masih tetap baik meneladani dari para misionaris terdahulu. “Saya sangat kagum (pendekatan) yang dilakukan Pastor Radboud Waterreus OFMCap dengan umat di Tanah Batak saat itu. Dulu Pastor Waterreus akan berinisiatif makan bersama di rumah umat yang jarang datang ke Gereja. Itu satu cara yang sangat baik, menurut saya,” ujarnya kepada Menjemaat, Sabtu (10/6/2017) di Museum Pusaka Karo, Brastagi, kabupaten Karo.

Bagi Imam penulis buku “Tali Pengukur Jatuh ke Tanah Permai Bagiku”, sifat ‘menghakimi’ sesama umat hendaknya ditepis jauh. “Pernah ada umat dari Batukarang bilang, Pastor Leo pasti tidak mau memberi misa ke keluarga kami di Batukarang. Saya bilang, saya tak ada prinsip demikian. Prinsipnya adalah pengurus Gereja yang meminta. Dan ada waktu, saya bersedia melayani.”

Dia melanjutkan,”Banyak yang heran dan bertanya: “Mengapa Pastor misa ke situ, (padahal) dia tidak pernah ke Gereja.” Oh, saya bilang. (Malah) ini lebih penting lagi, karena dia juga seorang Kristen,” katanya sembari berharap, jangan sekiranya seorang Katolik dinilai dari ‘apakah dia merayakan Misa setiap hari Minggu atau tidak’. Menurutnya, pandangan seperti itu terlalu sempit.

 

Tetap Belajar Mengenali para Domba

Pengalaman menjadi misionaris di Pakkat – Parlilitan, Pangururan hingga Tanah Karo memberi bekal pengetahuan bagi Pastor Leo. “Saya jadi mengerti bahkan antara umat Batak dan Karo sungguh berbeda. Pastor P. Kleopas van Laarhoven (salah satu misionaris di Tanah Karo) pernah bilang bahwa ciri khas orang Karo adalah melihat ada gunanya, maka kemudian tertarik untuk turut serta. Termasuk saat menjadi Katolik dan ke Gereja. Karena itu, jarang orang Karo massal masuk Gereja. Dan nampak di sini masih tambah katekumen dewasa,” ujar Imam kelahiran Nuenen, Belanda tersebut.

Pemahaman ini membantu para Imam menyiasati agar Gereja juga erat dengan budaya masyarakat Karo. “Semisal, setiap kali memberi misa reqiuem, saya juga berdoa agar prosesi adat keesokan harinya juga diberkati Tuhan. Ini agar ada hubungan antara Gereja dengan adat. Jangan jadi terpisah.”

Pastor Mardan turut membenarkan. “Di kampus, kami selain belajar Alkitab, Filsafat dan Teologi, hukum Gereja, belajar juga psikologi,” katanya. “Jadi ada psikologi kepribadian, ada psikologi sosial, psikologi budaya, inikan bisa dipergunakan untuk mengadakan pendekatan kepada mereka. Orang Karo pada umumnya sifatnya seperti ini. Orang Toba sifatnya umumnya seperti itu. Lalu kita hubungkan personal, kepribadian orang ini bagaimana? Komunikasi apa yang pas?”

Menurutnya, domba yang di kota Medan hilang berbeda menghadapinya dengan yang di kota Kabanjahe. Karena sungguh berbeda dari latar belakang mental, politik, dan situasi ekonomi. Itu yang perlu dipergunakan, akal budi.”

“Karena itu, Yesus mengajari para murid dengan pendekatan yang sesuai pada masyarakat di zaman dan tempat tersebut. Dia mengajar di bukit, di pinggir pantai di antara para nelayan, di antara para petani, dia memakai juga bahasa-bahasa hakim, supaya para murid mempergunakan semua kemampuan akal budinya. Untuk para hakim, begini cara memberikan keselamatan, untuk para petani, begini, seperti menanam gandum. Untuk para pelayan, begini. Bukan dipancing, tapi dijala,” katanya. “Dan Yesus juga berpesan: janganlah pelihara kebencian dalam hatimu, ampunilah, katanya kan? Itulah pegangan kita. Ampunilah. Semangat pengampunan sudah harus tinggi sebelum berjumpa dengan domba yang hilang. Baru kalau sudah terjadi dialog, saling terbuka, sudah lebih enak.”

Pastor Damian kembali mengingatkan pentingnya tetap menyuburkan semangat pelayanan bagi umat. “Aku tak pernah mengeluh dan menunutut. Aku menghadap realitas apa adanya.  Aku gembira sebagai pelayan Tuhan. Saya senang menginap di rumah umat, terutama kalau melayani stasi-stasi yang jauh dari dari Pusat paroki,” katanya. “Prioritas pelayanan waktu, di samping perayaan iman, seperti Babtis, Nikah, Tobat, dan Perayaan Ekaristi.  Saya juga masih berkatekese tentang Makna Iman dalam kehidupan sehari-hari. Pembahasan tentu harus disesuaikan dengan situasi dan kelompok umat yang dihadapi.”

“Awali semangat pelayanan dengan senyum dan gembira maka ‘penggembalaan’ akan cerah. Tetapi jika kita mengawali pelayanan dengan keluhan, maka itu semata-mata terjadi karena keterpaksaan dan asal-asalan,” pungkas Imam kelahiran Samarinda tersebut.

(RP Hubertus Lidi OSC, Lina Sipayung, Ananta Bangun | Pusataka: Katolisitas.org)

///// ditulis untuk majalah (Keuskupan Agung Medan) Menjemaat