Verifikasi


Ilustrasi dari http://www.pexels.com

Nanta, nama saya dalam berita itu salah. Bukan Agus, tapi Agoez. Tolong diganti!.”

Demikian sebuah pesan melesat masuk via ponsel saya. Setiap orang lumrah buat kekeliruan. Sayangnya, hal tersebut tak berlaku dalam dunia jurnalistik. Sebab karya pewartaan dimaksudkan bagi khalayak ramai. Orang bisa salah menduga jika ada kekeliruan nama, tempat, peristiwa.

Bayangkan saja dampak pemberitaan salah satu televisi swasta ketika keliru mewartakan tentang erupsi gunung di Yogyakarta. Setelah kepanikan luar biasa, mereka secara massal menolak menonton berita dari stasius televisi itu. Mirip fatwa haram dari satu badan religius di negeri ini.

Aku cukup beruntung, berita yang kutulis dimuat di media online (sehingga mudah dalam mengoreksi). Namun, tetap saja mempengaruhi kepercayaan narasumber dan pembaca.

Fikiranku bergelayut: bagaimana seandainya kekeliruan itu terjadi di media cetak, televisi dan radio? Memang ada prosedur ‘ralat’ untuk menyampaikan koreksi. Lalu, bagaimana cara untuk menangkal kekeliruan tersebut terjadi lagi? Nah. Di tahap ini kita membutuhkan kiat bernama ‘verifikasi.’

***

Goenawan Mohammad, dalam buku “Seandainya Aku Wartawan Tempo, pernah menyinggung betapa pentingnya verifikasi. Jurnalis Kompas, Luwi Ishwara (dalam buku “Jurnalisme Dasar”) juga mengingatkan hal senada.

Pengulangan dan pastikan kembali. Demikian lah mantra dalam verifikasi. Semisal dalam hal nama. Jika seorang narasumber menyebut (lisan) namanya Kristin, hendaknya dipastikan apakah tertulis “Kristina”, “Christina”,”Kristin” (saja), “Christin”, atau “Chrystina” dan “Chrystin”.

Cukup merepotkan memang. Ini belum lagi berurusan dengan perihal marga. Saya teringat cerita adikku, Bastanta, bahwa seorang teman sekolahnya dimaki guru karena salah menuliskan marga si pengajar dalam tugas karya tulis ilmiah. Yakni, Raja Guk Guk. Padahal semestinya Rajagukguk. Wajar guru itu marah, karena tak ingin disebut musuh si “Tom & Jerry” (tokoh kartun serial kucing dan tikus yang sangat populer di tahun 1990-an). Huehehehe.

Solusi paling cepat adalah meminta si narasumber menulis namanya dengan lengkap. Atau, jika ada, meminta kartu nama. Dalam satu pengalaman meliput seorang kepala sekolah, saya memilih memotret namanya yang tertera di papan tabel nama struktur kepemimpinan sekolah. Cepat dan tepat beserta titelnya.

Selain verifikasi nama, tempat, hingga rincian informasi peristiwa; kutipan pernyataan juga patut untuk dikonfirmasi. Pengaruh situasi dan emosi acap kali mempengaruhi pernyataan narasumber. Semisal saja, mewawancara seorang narasumber mengatakan “Banyak pejabat sekarang suka korupsi.” Bagi pewarta di koran kuning, perkataan ini bagai kue yang sangat gurih untuk digoreng menjadi berita bombastis. Namun, ada baiknya kita bersikap bijak, memverifikasi kembali maksud perkataan tersebut. Jangan-jangan si narasumber malah menjawab: “Ya. Banyak pejabat yang suka korupsi waktu. Masuk lambat, pulang cepat.”

Untuk pernyataan yang agak sensitif, narasumber yang biasa menghadapi wartawan, umumnya menyampaikan sandi khusus: ‘off the record’ atawa menyampaikan informasi yang tak dimaksudkan untuk dimuat dalam berita. Menurut Goenawan, itu lumrah terjadi dalam tugas meliput. Namun, dia menambahkan, wartawan hendaknya jangan seperti ‘ular mencari pentungan’ dengan terus menanyakan setiap pernyataan narasumber, apakah masuk off the record atau tidak.

Sahabatku, Vinsensius Sitepu punya cerita usil tentang ‘off the record‘ tersebut. “Jadi, si wartawan menulis begini: “Semua uang korupsi sudah saya simpan,” ujarnya sambil meminta off the record.’ ”

Langsung kusahut: “Untung saja dia tak menulis: ‘Ujarnya sambil menggonggong.” Kami pun terbahak-bahak.

 

(Ananta Bangun) /// ditulis untuk majalah Ralinggungi.