
Keluarga dari pasutri (pasangan suami-istri) Drs. Saut Aritonang, M.Hum dan Dra. Rasmida Siregar adalah umat di Stasi St.Benedictus Srigunting, Paroki St. Maria Ratu Rosari Tanjung Selamat Medan. Keduanya, pada bulan April 2017 lalu, baru merayakan misa syukur 25 Tahun Ulang Tahun Perak Pernikahan.
Berkenaan dengan semangat Sinode-VI KAM (Keuskupan Agung Medan) dan Top Pastoral Priority KAM 2017 bertema keluarga, Menjemaat tertarik mengupas pengalaman iman pasutri, secara khusus kepala keluarga (bapa Aritonang) mampu langgeng berumah tangga hingga seperempat abad. Berikut petikan kisahnya.
***
Sebelum mengetengahkan semangat iman dalam keluarga kami, ada baiknya saya memulai dari pengalaman iman pribadi menghayati rahmat Allah. Sebagian besar hal tersebut saya alami tatkala menuntaskan pendidikan, meraih karir serta membina rumah tangga yang langgeng hingga 25 tahun. Semua ini adalah karunia-Nya yang saya dan Istri, Dra. Rasmaida Siregar, dan putra, Jimmy Carter Aritonang, SH, selalu syukuri.
Saya meyakini bahwa setiap nama mewarisi berkat. Nama saya sendiri ‘Saut’, dalam bahasa Batak Toba berarti ‘jadi’, ‘sukses’ atau ‘tak pernah tertunda’. Dan sungguh benar saya alami sendiri dalam setiap memperjuangkan masa depan. Tekun berdoa serta kerja keras adalah kiat utama saya dalam merengkuh keberhasilan.
Meski saya lahir di Pematang Siantar (pada 15 Juni1967), namun saat mengenyam pendidikan di kelas 4 Sekolah Dasar (SD), Bapak membawa kami sekeluarga pindah ke Kisaran. Di satu kampung namanya kampung Rawang.
Semangat iman dalam diri saya mulai lahir sejak rajin bergelut dalam kegiatan kelompok kategorial di Gereja Stasi Rawang Pasar VII, Paroki Kisaran. Pada masa itu, saya aktif mulai dari Asmika atau Anak Sekolah Minggu Katolik hingga (saat itu disebut) Muda-Mudi Katolik atau Mudika, yang kini bernama Orang Muda Katolik (OMK). Setiap kegiatan baik koor, main drama pada perayaan Oikumene maupun pertandingan olahraga di kelompok kategorial ini sangat saya nikmati. Tentu tidak mengesampingkan penghayatan iman yang diselenggarakan melalui aneka kegiatan rohani dalam kelompok ini.
Di samping berbaur dalam kegiatan di Gereja, saya juga meraih prestasi menonjol dalam bidang pendidikan. Semisal ketika berhasil lulus seleksi masuk SMA Negeri 1 Kisaran, serta juga diterima masuk Diploma II – Bahasa Inggris di Institut Keguruan Ilmu Pendidikan (IKIP) Medan Cabang Padangsidempuan. Pencapaian ini menjadi ‘buah bibir’ di masyarakat sekitar saya.
Saya menyadari bahwa orangtua saya tidak mapan secara ekonomi untuk menyokong biaya pendidikan anak-anaknya. Hal ini mendorong saya mencari tambahan biaya dengan berdagang bawang dan rokok di pajak bertingkat Padangsidimpuan, juga mengajar les privat bagi siswa Sekolah Dasar (SD). Tetapi, semua perjuangan tersebut sia-sia belaka bila tidak beroleh berkat Tuhan. Karenanya saya selalu mengandalkan Allah dalam perjalanan hidup.
Saat menjalani seleksi masuk ke SMA Negeri 1 Kisaran, saya berdoa: “Tuhan, saya berniat belajar di SMA Negeri 1 Kisaran. Saya mohon berkat-Mu kiranya diberkati berhasil lulus seleksi masuk. Amin.” Doa dan perjuangan saya tekun belajar dikabulkan. Pengalaman iman senada juga saya alami sampai menempuh pendidikan di perguruan tinggi.
Ada satu pengalaman tak terlupakan, jika mengenang pergulatan iman saat kuliah di perguruan tinggi tersebut. Menurut panduan kampus, saya berhak melanjut pendidikan ke Sarjana (S1) di IKIP Medan dari D-II IKIP Medan Cabang Padangsidimpuan, menyusul prestasi sebagai mahasiswa terbaik selama empat semester berturut-turut. Tetapi salah satu pimpinan di kampus menyatakan kesempatan tersebut sulit diwujudkan. Saya tak hendak berdebat lama, namun memilih untuk langsung konsultasi ke IKIP Medan. Selama perjalanan, saya berdoa kiranya Tuhan memberi petunjuk.
Di IKIP Medan, saya bersua dengan salah seorang administrasi kampus — kebetulan bermarga Aritonang, hingga kami menjadi akrab. Bersama staf-nya, bapak tersebut merujuk dokumen nilai-nilai akademik saya, lalu mengurus semua administrasi hingga beres. “Selamat kamu sudah diterima, dan silakan bayar uang kuliah hari ini juga!” katanya.
Saya termangu sesaat, sebab hanya membawa uang transportasi secukupnya saja untuk berangkat dan pulang ke kampung. Saya kemudian tersadar memiliki cincin emas yang saya peroleh dari simpanan usaha dagang dan hasil privat les tersebut, yang semula saya niatkan untuk memberi sumbangan ke gereja saya di Stasi Rawang VII Kisaran. Dari penjualan cincin tersebut, sungguh di luar dugaan, harganya tidak terlalu jauh dengan biaya kuliah awal. Terima kasih atas jalan yang Engkau tunjukkan ya, Tuhan.
Ketika melanjutkan pendidikan Sarjana di IKIP Medan, saya tetap meneruskan minat kewirausahaan dengan menjalankan rumah kos. Khususnya bagi mahasiswa perantau. Pada masa ini lah, saya merajut asmara dengan Istri saya sekarang. Kami memang mahasiswa di IKIP Medan dengan jurusan yang berbeda dan berawal tinggal di kos yang sama, rumah seorang dosen bernama Drs. Anton Aritonang persisnya di Jalan Pabrik Kimia Medan, tidak jauh dari kampus IKIP. Kejadian ini kira-kira tahun 1987-1988.
Di tengah masa perkuliahan, saya mendapat informasi ada lowongan disebut Beasiswa Tunjangan Ikatan Dinas (TID) bagi beberapa mahasiswa berprestasi. Saya berminat melamar dan berdoa (sambil) berikrar jika lulus akan mendermakan sebagian dari beasiswa pertama tersebut yang jumlahnya cukup lumayan besar untuk gereja. Di samping itu saya juga berikrar, setiap malam membaca isi Alkitab hingga tuntas selama menjalani perkuliahan sejak semester V s.d. Sarjana walaupun saya akui tidak semulus yang saya niatkan. Setelah menjalani berbagai proses administrasi, akhirnya saya berhasil diterima. Ini sungguh hari berbahagia bagi saya. Sebab saya juga mulai diberi tanggungjawab menanggung biaya sekolah adik-adik yang pada saat ini 2 orang dari 4 adik saya ikut saya di kost yang saya tempati, seorang Laki-laki sebagai mahasiswa dan yg seorang lagi putri masih kelas III SMP.
Walaupun kondisi perekonomian kami sedang kurang baik, saya kukuh pada ikrar untuk mendermakan beasiswa pertama saya pada gereja. Di hari saya menerima beasiswa (TID) tersebut, saya segera pulang kampung dan memberi pada pengurus Stasi, bernama Abdul Silitonga — yang kebetulan juga adalah Bapa Uda (adik bapak) saya. Bapa Uda tak menutupi rasa kaget menerima uang derma tersebut. Pertama, masa seorang mahasiswa yang belum bekerja tetapi sudah memberi sumbangan teramat besar. Dan kedua — saya akhirnya mengetahui di kemudian hari — bahwa bapak saya juga tengah berhutang pada Bapa Uda itu.
Doa dan Tindakan Sungguh diberkati oleh Allah
Setelah menyelesaikan mata kuliah tinggal skripsi, saya mulai bekerja mengajar di satu sekolah di Kisaran, di Sekolah Diponegoro. Saya dan calon Istri (saat itu) bekerjasama menyiapkan biaya untuk pernikahan kami yang juga bekerja sebagai bendahara di perusahaan perdana motor Kisaran. Kami sepakat siap membina rumah tangga setelah saya diwisuda, tepatnya 8 April 1992. Saya dan Istri, sejak mula pacaran, dapat menghadapi rintangan dalam rumah tangga sebab telah meneguhkan prinsip. Hal yang pertama adalah, keluarga kami menjadi umat Gereja Katolik, (sebelumnya Istri saya adalah umat Gereja Kristen Protestan, HKBP). Dan prinsip kedua adalah, kami telah membangun keluarga sendiri, sehingga setiap inisiatif serta upaya tidak mencampuri/ dicampuri keluarga orangtua kami masing-masing. Prinsip tersebut menjadi pegangan kami untuk menghindari salah pengertian di tengah-tengah keluarga besar.
Sempat memboyong keluarga untuk merantau ke Jakarta selama dua tahun (1992-1993), akhirnya kami pulang kembali dan menetap hingga kini di Sumatera Utara. Tepatnya di Kompleks Srigunting, Blok O No. 32 Sunggal, Kab. Deli Serdang. Alasan mudik ke Sumatera Utara tak pelak karena Ikatan Dinas yang mengikat saya bahwa setelah tamat kuliah wajib menjadi Pegawai Negeri Sipil. Namun karena anak saya baru lahir di Jakarta saat awal merantau, saya bersyukur bahwa Dinas Pendidikan Sumatera Utara melalui Kemdikbud memberi pengertian berupa penangguhan waktu pengabdian selama 1 tahun. Saat kembali ke Medan, pilihan saya bekerja di Kanwil (kini disebut Dinas) Pendidikan Sumatera Utara pun dikabulkan. Kini, saya telah diberi kepercayaan sebagai Kepala Seksi Kurikulum dan Penilaian SMA Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Utara. Sebelumnya saya pernah Kepala Seksi pada Bidang PNFI dan Kepala Seksi Pendidikan Tinggi di Dinas yang sama.
Di samping pengabdian bagi negara, saya juga masih berkecimpung dalam pelayanan di Gereja. Yakni, Ketua Dewan Pastoral Stasi St.Benedictus Srigunting, Paroki St. Maria Ratu Rosari Tanjung Selamat Medan. Sementara di bidang sosial, saya juga menjadi Ketua Koperasi Serba Usaha “Sejahtera Bersama” Kompleks Srigunting, Sunggal, Kab. Deli Serdang yang berdiri sejak Tahun 2002, dan juga sebagai Ketua STM “Sehati Sepikir” di Kompleks Srigunting, Sunggal, Kab. Deli Serdang. Di tengah-tengah kegiatan merampungkan Kuliah Program Doktor (S-3) Prodi Manajemen Pendidikan di Universitas Negeri Medan (UNIMED), setiap Rabu, saya menjadi narasumber siaran bidang Pendidikan di Radio Maria Indonesia. Ya, jadwal yang padat dan saya jalani dengan sukacita.
Gaung Sinode-VI KAM mengenai “Keluarga, Gereja Kecil” serta Top Pastoral Priority 2017: “Keluarga Berdoa” turut menyegarkan kembali semangat iman di tengah keluarga saya. Ilham ini memang semakin relevan dan vital di tengah tantangan zaman saat ini. Sejak Januari 2017, kami menerapkan inspirasi tersebut dengan tekun mendaraskan doa pagi setiap hari, kecuali Minggu. Tanpa sungkan, siapapun keluarga lain yang kebetulan sedang tinggal bersama di rumah, selalu kami ajak turut dalam doa pagi ini. Ada kesan yang mendalam saat mendengar Istri, anak maupun keluarga besar saat menyebutkan nama saya dalam doa mereka. Demikian juga sebaliknya.
Saya terharu semangat iman dan berjuang hingga hidup berkeluarga selalu diberkati oleh Allah. Sungguh benar kiranya petuah sepuh “Ora et Labora” (Berdoa dan Bekerja) bagai mantra ampuh dalam merengkuh keberhasilan hidup, berkeluarga dan iman. Ini saya alami sendiri sejak berjuang dalam pendidikan, karir serta membina rumah tangga hingga 25 tahun. Bahkan lebih lama lagi, ketika diserahkan dalam perlindungan-Nya.
(Ananta Bangun) // ditulis dan dimuat di majalah Menjemaat