Pada mulanya adalah Dapur Redaksi


Sejak April 2017, aku mulai mengirim artikel untuk majalah berbahasa Karo, Ralinggungi. Aku senang tulisanku diterima karena niat untuk berbagi pengetahuan bagi kampung halaman setidaknya terjawab dalam majalah asuhan Kevikepan Karo ini. Terlebih lagi, senang mendapati tulisan yang mulanya berbahasa Indonesia diterjemahkan dengan anggun oleh bapa Betlehem Ketaren. Seorang penulis, pewarta dan juga aktivis Gereja Katolik KAM.

Beberapa tulisan yang pernah kukirim coba kumuat juga di blog pribadi. Kiranya pengetahuan ini juga dapat menggugah sahabat-sahabat lainnya. Untuk naskah berbahasa Karo, aku persilakan untuk berlangganan ke redaksi Ralinggungi. Huehehehe.

Saat liputan ke desa korban erupsi Sinabung, desa Naman Teran (tahun 2014) – Dok, Komsos KAM

***

Orang bilang tidak semua keahlian bersumber dari bakat lahir. Mereka yang mengucapkan itu, umumnya terlibat dalam dua hal ini: ‘kerja keras’ dan ‘langsung nyemplung ke dunia keahlian tersebut’. Persis seperti orang belajar berenang, dalam waktu cepat maupun lambat, tentu saja musti tercebur ke dalam kolam.

Pernah ada yang bertanya padaku: “Bagaimana caranya agar cepat mahir berbahasa Inggris?” Mungkin karena dia tahu aku pernah beberapa kali mengajar kursus bahasa asing tersebut. Kujawab: “Cara paling cepat dan ampuh adalah mengajar yang lebih tidak tahu bahasa itu daripada dirimu. Misalnya mengajar bahasa Inggris bagi siswa Sekolah Dasar (SD).” Dia heran, bagaimana mungkin? Tentu saja mungkin. Pertama, si pengajar harus lebih tekun belajar daripada pelajarnya. Kedua, si pengajar akan dibebani tanggung jawab untuk belajar dan mengajar secara baik. Sebab dia diganjar honor lumayan.

Dalam edisi sebelumnya, aku menuliskan motivasi dan tips menulis secara umum. Maka di edisi ini, aku terfikir menuturkan bagaimana perjalananku belajar menulis. Sebagaimana banyak orang Indonesia lainnya, aku hanya belajar menulis di sekolah dan kampus. Semua tempat itu memberi pengajaran yang bagus, kecuali satu hal: mendapat wadah untuk karya tulisanku. Ini penting agar karya tulisan tersebut dicerca, dikritik hingga dipuji. Sehingga kemampuan tulisan tersebut semakin terasah.

Aku bersyukur pernah diterima menjadi penerjemah, dan kemudian menjadi jurnalis, di sebuah media online di kota Medan (Waspada Online), sejak tahun 2009 hingga 2011. Tempat aku bisa merasakan sisi ‘surga’ dan ‘neraka’ dalam belajar menulis. Aku merasa terberkati karena bisa belajar sembari memperoleh gaji bulanan. Tempat kerja mana yang berkenan mengajar pegawainya dengan tetap memberi upah rutin? Sepertinya sama sulit dengan mencari satu jarum di antara tumpukan jerami.

Tetapi ada konsekuensi lain juga. Pemimpin Redaksi kami, saat itu, mengajar menulis tak ubahnya rezim militer. Tiada hari tanpa wawancara dan menulis dalam keseharian kami. Nyaris setengah kehidupan normal kami dijejali kata, gambar, komputer dan Internet. Kritik pedas hingga makian dari Pemred ditimpakan bagi liputan yang kurang baik atau tulisan berita yang keliru. Pernah aku didamprat oleh Pemred karena tak berhasil mencapai kuota tulisan dan terjemahan berita. Di sini, aku belajar menjadikan menulis sebagai kebiasaan hidup bakal mempercepat pemahaman untuk merajut aksara. Aku teringat perkataan emeritus Pemred Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) Antara saat magang (2010) di sana: “Kita bekerja di pabrik kata-kata.” Tepat sekali, dunia pers adalah pabrik kata-kata.

Mulai bekerja di majalah Menjemaat (sejak 2014), aku mulai belajar memahami tulisan feature. Di media sebelumnya, aku lebih banyak membuat laporan berita flash news yang pendek. Media majalah punya wadah yang lebih banyak. Sehingga tulisan feature lebih sesuai untuk dimuat ke dalamnya.

Dengan menulis, seorang penulis berkesempatan menggali banyak pengetahuan. Banyak hal yang belum kuketahui sebelumnya tentang Gereja Katolik dapat kumengerti dengan membaca literatur dan diskusi. Meskipun perkara menulis bisa dengan menempatkan berbagai kata-kata, semua itu percuma jika si penulisnya tak memiliki pemahaman yang mendalam. Penulis membutuhkan waktu juga untuk membaca, berdiskusi dan berargumentasi sebelum menghasilkan sebuah karya tulis.

Seperti kata mutiara, pengalaman adalah guru terbaik. Temukanlah pengalaman untuk selalu menulis. Dengan menulis, kita akan didorong untuk membaca, berdiskusi dan berargumentasi. Tidak harus memulai di media besar, bisa saja dengan menulis di media Ralinggungi atau di media online milik Paroki. Internet kini telah menjadi ladang pewartaan dengan tulisan maupun karya komunikasi lainnya. Cukup satu mantra untuk mendapatkan keahlian tersebut: Ayo mulai!

 

(Ananta Bangun) // ditulis untuk majalah berbahasa Karo, RALINGGUNGI